Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dheny Jatmiko

HUJAN I

planet-planet runtuh
dan daun melayang jatuh
ketika hujan terlabuh

mulut malam memekik
dengan seribu serdadu
ketika hujan terluka

di mana langit
di mana tanah
ketika hujan darah

Surabaya, Januari 2003

HUJAN II

seperti petir
kau hadir
daun membeku
melebihi abu
dan bulan
kau patahkan
menjadi hujan

Surabaya, Januari 2003

HUJAN III

bapak,
malaikat-malaikat
merangkum darah
darah kemungilanku
dengan tusukan
dan kutukku
melebihi dendam ikan
di antara hujan

Surabaya, Januari 2003

HUJAN IV

di atas bukit
kudatangi kau,
kukenali kau
sebagai lelasatan lelawa
di tangkai matahari

setelah hujan
tanah-tanah retak
kulihat dari jendela
anak kecil kuyup
menenteng kepala bapaknya

Surabaya, Januari 2003

HUJAN V

kulihat
potret-potret terbakar
di bukit marmar

dan langit
mengelupas
menjadi patung di udara.

Srabaya, Januari 2003.


SETIAP KUTUSUK BULAN

setiap kau tusuk bulan,
perawan
tenggelam
ke dasar langit
dengan pekik tajam.

setiap kau tusuk bulan
angin
menghantui
dengan gerimis
yang amis
yang hayati.

Surabaya, Januari 2003.

MALAM PENGANTIN

bulan mengenang;
burung-burung
pasung daun
dan hujan.

bulan membayang;
burung-burung
pasung daun
dan hujan.

Surabaya, Januari 2003.

MALAM TAHUN BARU

kau lihat kabut
dan angin berotasi
serupa hantu,
hitam
sayap burung-burung
mengibaskan bayang
bayang bulan

Surabaya, Januari 2003.

MALAM I

serupa hujan kilat
abad sekarat
ruh menjelma kupu-kupu
kupu-kupu berkelebat
kugaris musim

serupa reruntuh kepala
bulan berloncatan
cahaya melangka
kabut membalut
diam kucengkram

serupa hujan kilat
serupa reruntuh kepala
malam bermata parang

Surabaya, Januari 2003.

MALAM II

bulan menembus parade hutan
udara memahat hujan batu
malam memasung cahaya lelawa

lelaki menyihir di tepi sungai

Surabaya, Januari 2003

SERUPA KIAMAT

seperti kiamat, kekasihku,
kuingin bulan-bulan lepas dari orbitnya
mengendap dan mengental
di payudaramu. lalu malaikat-malaikat mengatup
ketika kulumat bibirmu, dan kita lelerkan
anak-anak kita di tanah yang terkepung air
dengan pekik pembebasan. kita tanggalkan
baju artefak musim berlumpur
sebagai batu
dan kita pahami segala gerak dan sunyi.

di ingatanku yang berdarah-darah
kubuka bajumu
malam ini
lewat potret
potret kenangan musim semi
di warna zaman yang tak terlukis
serupa kiamat, kekasihku!

Surabaya, Desember 2002.

BIODATA PENULIS

Dheny Jatmiko, lahir di tulungagung, 11 Februari 1982. Mulai belajar dan aktif menulis setelah menjadi anggota Teater Gapus Surabaya. Menyelesaikan studinya di Jurusan Sastra Indonesia Unair dan sekarang tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Sastra Indonesia UGM. Sekarang aktif dalam Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Karya-karya puisinya pernah dimuat Koran Tempo, Kompas, Kompas Jatim, Bangka Pos, Jawa Pos, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Koran Sindo, Jurnal Aksara, Surabaya Post, Surabaya News, Radar Surabaya, Majalah Bende, Majalah Aksara (sekarang Imajio), Majalah Kidung, Waspada, Majalah Budaya Sagang, SK Priangan, Padang Ekspress, Riau Pos, dan beberapa media online.
Kini tinggal di Jl. Jaya Baya 05 Bandung, Tulungagung, Jatim.

NB : Puisi-puisi ini saya baca kala masih kelas II SMA. Tepatnya dari Harian Jawa Pos medio Februari 2003

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI