Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2011

Tradisi Telur Merah

Cerpen Sanie B Kuncoro Kau tak hendak menghitung. Namun, tahun-tahun yang melintas itu setiap kali mengucapkan salamnya kepadamu. Seolah pamit sembari menerakan jejak yang melekat di dinding ingatanmu. Nyaris sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan untuk menjalani rentang masa yang tak terkira itu? Kau sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di sudut-sudutnya. Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari. Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada tiap hari, tertebar di segala sudut? Kau tak tahu. Adalah melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah di dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar tidur setiap kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu. Kau sulam dengan telaten angan...

PDS HB Jassin agar Dikelola Profesional

JAKARTA, KOMPAS.com — Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin butuh penanganan lebih serius dan profesional. Diperlukan terobosan kreatif agar tempat penyimpanan puluhan ribu dokumen sastra itu lebih mandiri dalam hal finansial. Pemerintah juga diharap turut mendorong swasta untuk peduli. ”Perpustakaan dan dokumentasi butuh dana besar. Tempat semacam itu tak bisa menghasilkan uang, tetapi malah mengeluarkan dana terus-menerus. Itulah kenapa banyak perpustakaan dan pusat dokumentasi yang mati di negeri ini,” kata Seno Gumira Ajidarma, budayawan sekaligus penulis sastra, Kamis (24/3). Untuk menghidupkan PDS HB Jassin yang berkelanjutan, perlu perubahan revolusioner. Perpustakaan dan pusat dokumentasi semacam PDS HB Jassin bisa dikemas lebih gemerlap, dinamik, dan revolusioner. ”Kalau dulu pusat dokumentasi dan perpustakaan citranya tua, kumuh, dan merana, sekarang harus lebih modern,” kata Seno. Memang butuh biaya besar. Keterlibatan swasta diperlukan. Ia mencontoh...

Penjaga Rumah Para Penulis

Editor : Jodhi Yudono, Oleh : Fabiola Pontoh Hari sudah petang saat Endo Senggono, sosok yang bisa dikatakan sebagai ”katalog hidup” di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, berjalan tertatih-tatih. Sepasang kruk yang menopang tubuh lelaki itu bergerak seirama. Meski gurat lelah menghias wajahnya, Endo terus tersenyum. ”Mungkin karena faktor usia saya jadi cepat lelah. Padahal, saya belum terlalu tua ya,” ujarnya sambil menyelipkan rambut yang memutih di belakang telinga. Petang itu para pencinta sastra mengadakan pertemuan untuk merancang aksi penyelamatan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di bawah pengelolaan Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang terancam tutup karena minimnya dana hibah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perlahan dia berpegangan di tepi meja, lalu duduk dan menyandarkan kruknya. Endo memiliki keterikatan kuat dengan pusat dokumentasi sastra yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, itu. Sudah 2...

Kisah Tragis PDS HB Jassin

Artikel : Jodhi Yudono JAKARTA, KOMPAS.com — Gonjang-ganjing mengenai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin terus menggelinding. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang menetapkan pusat dokumentasi sastra Indonesia terbesar di seluruh dunia hanya mendapat anggaran Rp 50 juta per tahun telah menuai kegeraman di kalangan sastrawan dan ilmuwan yang peduli dengan warisan literasi yang tak ternilai harganya itu. Lantaran SK Gubernur DKI Jakarta itulah, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (PDS HB Jassin) bisa terancam tutup. Mafhumlah, dengan anggaran cuma Rp 50 juta per tahun, itu artinya tak mencukupi untuk membayar pegawai dan perawatan secara memadai. Dalam tulisannya di Kompasiana , penulis dan pemerhati sastra Linda Djalil menulis, "Uang memang bukan segalanya. Namun, bila upaya penyelamatan mahakarya Sastra Indonesia yang puluhan ribu jenis itu tidak memperoleh sokongan keuangan yang pantas, tentu ini membuat hati perih. Dan bangsa ini terasa diremehkan. SK (Surat Ke...

Saksikan Filmnya Segera!

dari produser film paling ternama di negeri ini, dengan bangga mempersembahken film paling panas di negeri ini! saksiken filmnya di layar-layar tancep kesayangan anda! segera tayang!

Dua Puisi Pablo Neruda / Terjemahan Njoto)

Kau harus dengarkan aku Aku bernyanyi mengembara diantara batang-batang anggur Eropa dan dalam angin, angin Asia. Yang terbaik dari sepanjang usia manusia dan dari kehidupan, dari kehalusan bumi, dan damai sejati kuhimpun dalma perantauan hidupku. Yang terbaik dari bumi yang satu dan dari bumi yang lain kupakukan pada bibirku dengan laguku: kebebasan angin, kedamaian ditaman anggur. Kadang-kadang manusia seperti bermusuh-musuhan tetapi malam itu selubung bagi semua dan cahya raja menggugah kita; cahya dunia Dan ketika sampai aku dirumah-rumah duduk mereka sekitar meja kembali mereka dari kerja dengan tangis atau tawa. Semua sama. Sekalian mata mencari jalan cahaya. Sekalian mulut menyanyi lagu musimsemi. Semua. Maka itu aku diantara batang-batang anggur dan dalam angin memilih yang terbaik pada manusia. Dan kau harus dengarkan aku. (Sumber: Harian Rakjat , 11 Desember 1954) Kepada Siqueiros, ketika berpisah Kutinggalkan dikau pada tjahja Djenuari, kau djantung kemerdekaan Kuba, Ingat. ...

Puisi-puisi Mas Marco Kartodikromo

Sama Rasa dan Sama Rata Sair inillah dari pendjara, Waktoe kami baroe dihoekoemnja, Di-Weltevreden tempat tinggalnja, Doea belas boelan poenja lama, Ini boekan sair Indie Weerbaar, Sair mana jang bisa mengantar, Dalam boei jang tidak sebentar, Membikin hatinja orang gentar, Kami bersair boekan krontjongan, Seperti si orang pelantjongan, Mondar mandir kebingoengan, Jaitoe pemoeda Semarangan, Doeloe kita soeka krontjongan, Tetapi sekarang soeka terbangan, Dalam S.I. Semarang jang aman, Bergerak keras ebeng-ebengan . Ini sair nama; "Sama rasa" "Dan Sama rata" itoelah njata, Tapi boekan sair bangsanja, Jang menghela kami dipendjara. Didalam pendjara tidak enak, Tertjere dengan istri dan anak, Koempoel maling dan perampok banjak, Seperti bangsanja si pengampak. Tapi dia djoega bangsa orang, Seperti manoesia jang memegang, Koeasa dan harta benda orang, Dengan berlakoe jang tidak terang. Ada perampoek aloer dan kasar, Djoega perampok ketjil dan besar, Bertopeng beschavin...

Dapatkan Segera Novel Best Seller Ini!

Mak Beranak di Limas Isa

Cerpen Guntur Alam Ada sebuah hikayat yang hendak aku terakan, tentang Bi Maryam istrinya Mang Isa. Perempuan yang telah melewati usia kepala empat, tetapi masih saja rajin beranak. Baiklah, untuk menuntaskan keingintahuan yang telah bersarang, kita buka saja cerita ini. Oya, sebelumnya kita buat kesepakatan: Untuk memudahkan aku bercerita, kita singkat saja nama Bi Maryam menjadi Bi Mar, tersebab lidahku agak sulit menyebut namanya bila kuucapkan secara panjang. Jadi ketika aku menyebutkan nama Bi Mar, kau pahamlah kalau yang kumaksud adalah Bi Maryam istrinya Mang Isa, lantaran sangat banyak Bi Mar di dusun Tanah Abang. Kita mulai cerita ini di suatu malam ingusan, ketika bulan tengah mati di kelam raya dan kesiuran angin penanda hujan telah bertiup sejak langit mulai temaram, tepatnya di bilik pengap Bi Mar dan Mang Isa, pada sebuah limas yang terpancang tak jauh dari bibir Sungai Lematang. Dan kisah ini dibuka oleh ucapan Kajut Mis, dukun beranak di dusunku, Tanah Ab...

Serial Unsolved Mysteries

Pemirsa yang budiman, berjumpa lagi dengan saya, operator blog yang sangat anda cintai ini. kali ini saya ingin mengupload video yang baru saja saya unduh dari Youtube. Video ini adalah salah satu episode dari serial Unsolved Mysteries yang membahas hantu cahaya (Ghost Light) di Amerika. Robert Stack masih menjadi host dari serial serem ini (saya baru tahu dari wikipedia jika Stack sudah meninggal pada tahun 2003 lalu dan serial ini dimulai kembali pada 2008 dengan host baru, Dennis Farina). saya sendiri menyaksikan serial ini secara langsung, kalau tidak salah, pada tahun 1993 dan ketika itu ditayangkan oleh, lagi-lagi seingat saya, TVRI Programa 2 Surabaya. tanpa banyak cingcong lagi, silahkan dinikmati.

*JURNAL SARBI EDISI KE 3 FEBRUARI 2011

- -KONTRIBUTOR-- KULIT MUKA ... 1. Rayi Christian Wicaksono a.k.a mumolabs, Jogja www.mumolabs.deviantart.com , wicaksonorc@gmail.com ILUSTRATOR 1. andi surya nusa, Sidoarjo. crimsonvania@yaho.co.id 2. Agustinus Adi Budojo, Bandung 3. Ryan a.k.a mightymonkey,Jogja. www.behance.net/mightymonkey 4. Pramudya Tony Mahendra, Jogja. tony.mahendra81@gmail.com. 5. MAXIE ELLIA KALANGI, Depok 6. Andhika Nugraha a.k.a Dika Toolkit, Jakarta www.toolkit04.deviantart.com . 7. Lixiviandro Indra Harinanda, Bogor 8. Sigit Susanto, Jakarta PENULIS 1. Umar Fauzi Ballah, Sampang 2. Arther Panther Olii, Gorontalo 3. Mochammad Asrori, Surabaya. roristory@gmail.com. 4. Fitri Yani, Lampung 5. Nurani Soyomukti 6. Dedy Tri Riyadi, Jakarta. www.toko-sepatu.blogspot.com 7. Pringadi Abdi Surya, Palembang. www.reinvandiritto.blogspot.com 8. Fitra Anugerah, Bekasi 9. Dian Prima, Malang *JURNAL SARBI dibuat dalam dua versi, versi cetak B/W dapat anda dapatkan dengan mengganti ongkos kirim saja. dan versi flash/elek...

Penjaga Kamar Mayat

Cerpen Dadang Ari Murtono Bahwa cinta itu tidak bisa dipisahkan kematian, aku percaya. Kisah tentang seorang penjaga kamar mayat yang membuat aku mempercayai hal itu. Sebelumnya, seperti kebanyakan orang, aku menganggap kalimat itu hanya sekadar bualan sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Bualan yang akan segera menguap bila kadar cintanya menurun. Bukankah telah teramat sering kita mendengar seseorang yang buru-buru menikah lagi bila pasangannya meninggal. Padahal sebelumnya mereka kerap berkata, “aku mencintaimu. Aku berjanji akan sehidup semati denganmu.” Dan ketika pasangannya benar-benar meninggal kemudian, mereka melupa-lupakan apa-apa yang pernah diucapnya. “Kita sehidup saja, tak perlu semati.” Namun penjaga kamar mayat di puskesmas kecamatanku memaksaku percaya bahwa cinta memang tak bisa dipisahkan kematian. Aku mengenalnya sebagai seorang lelaki yang murung. Wajahnya tirus dengan mata bulat besar. Di kedua pipinya, berdiam bekas-bekas jerawat yang dikopek ...