Langsung ke konten utama

Sebuah Puisi Didi Arsandi


ini adalah puisi seorang kawan penyair asal lampung, Didi Arsandi. Penyair ini memiliki kemampuan menulis puisi balada nan liris. puisi ini malah mengingatkan saya akan gaya ucap Khalil Gibran. silahkan dinikmati.

Merpati Abadi

di suatu hari yang gelap langitnya, deras anginnya, seorang bocah berjalan sendiri ke barat mencari matahari. tapi yang ia temukan seekor anak burung yang jatuh dari sarangnya. lantaran pohon itu sangat tinggi, bocah itu tak berani mengembalikannya dan memilih untuk membawanya pulang. “kunamai engkau Merpati,” ujar bocah itu, dan anak burung itu seperti mengangguk pasti

hanya riuh suara dedaun yang digoyang angin tanpa henti

di suatu hari yang biru langitnya, tenang awannya, Merpati bergegas hinggap di beranda mendengar siul lelaki yang dulu memungutnya, memberinya makan setiap hari, sebelum tenggelam matahari. “pergilah ke barat, carilah pohon yang paling tinggi batangnya, paling lebat daunnya. bila berjumpa angin, berkepaklah lebih kuat. sungguh, tak lagi ia mengenalimu sebagai anak burung yang takut padanya,” ujar lelaki itu, dan Merpati seperti mengangguk pasti

hanya saja, gerak matahari selalu lebih cepat dari kepak Merpati

di suatu hari yang remang langitnya, redup cakrawalanya, seorang lelaki tua berjalan sendiri ke barat mencari Merpati. tapi yang ia temukan seonggok bangkai burung yang tak ia kenali. barangkali burung itu mati dihempas angin, barangkali jatuh dari pohon atau barangkali tak ada yang tahu kapan burung itu mati dan mengapa mesti di sana. lantaran lelaki tua itu tak lagi kuat berdiri, dan angin begitu kencang berlari, ia pun memilih beristirah di bawah pohon, di sebelah bangkai burung yang baunya tajam menusuk hidung

“kunamai engkau Puisi,” ujarnya, dan burung itu seperti hidup kembali. dengan nama Puisi, burung itu abadi. dan lelaki tua itu mati tanpa ada yang memberinya nama.

2007

Komentar

Anonim mengatakan…
trims sudah posting di blog-mu. Kalau ingin main2 ke blog-ku, buka aja : www.sastra-indonesiaraya.blogspot.com

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi