Langsung ke konten utama

menggagas pertemuan sastrawan jatim tiga puluh tahun ke bawah


Bermula dari sebuah SMS, hingga pertemuan panjang di warung kopi (Pasar Pacet, Mojokerto). SMS itu dikirim oleh Asif Hasanudin kepada Saya. Di mana SMS itu berisi ajakan untuk ngopi, dan saya membalasnya dengan mengatakan bahwa saya akan ke Pacet, ke tempat Dadang Ari Murtono.

Setelah beberapa jam akhirnya saya meluncur dari Mojosari (rumah saya) menuju rumah Dadang di Pacet. Sesampai di sana ternyata sudah ada Asif dengan Mardi Luhung. Setelah ngobrol beberapa saat, kami memutuskan untuk berangkat ke warung kopi. Beberapa menit kita di sana, datang seorang kawan, Eko (pelukis Pacet) ikut bergabung. Acara ngopi semakin asik dengan guyonan-guyonan khas dari Mardi dan Eko. Dalam acara ngopi itu sangat banyak yang dibicarakan, dari proses kreatif hingga ranah sastra nusantara.

Dalam perbincangan itu, ternyata membersit sebuah ide dari Mardi Luhung. Ide itu muncul karena beberapa agenda sastra di Jawa Timur hanya mampu menghadirkan orang-orang lama. Kemudian Mardi Luhung nyeletuk pada saya, Ia menyuruh saya menggagas "pertemuan sastrawan Jatim tiga puluh tahun ke bawah". Saya tak bisa memberi komentar atas tawaran Mardi itu, saya hanya bilang akan saya pikirkan.

Mardi terus mengeluarkan ide-ide siapa saja yang boleh ikut dan diundang, karena aktivitasnya di dunia sastra ataupun direkomendasikan. Kemudian saya menyelanya, "Dana dari mana bang?" dan seketika saja Mardi menjawab dengan entengnya, "Kau buat proposal acara, nanti aku yang menandatangani sebagai penggagasnya. Kemudian ajukan ke Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur." Tanpa berkata, saya hanya menghembuskan nafas.

Malam semakin larut, para penikmat kopi di warung itu silih berganti. Dan kami tetap gayeng dengan aktivitas ngobrol ngalor-ngidul ini. Namun kita tidak bisa mengatasi rasa lelah, sehingga memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang Mardi berucap, "Tak tunggu konsepnya, dan nanti kita ajukan ke DKJT."

Selanjutnya kami pulang menuju kediaman masing-masing, saya, Dadang, dan Eko pulang ke rumah masing-masing. Dan Mardi melanjutkan acara dengan Asif di Pacet.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi