NB : pemirsa blog alienasi yang sungguh sangat sabar. ini lanjutan dari beberapa tayangan sekian waktu lalu. kali ini lagi-lagi saya mengupdate puisi Cak Muttaqin yang termuat di Kompas, kira-kira periode Maret 2010 (ato malah belum pernah termuat ya, saya lagi alpa soalnya). semoga dengan diksi-diksi nan seger dan rima cantik selayaknya gendang gendut tali kecapi, pembaca sekalian terhibur dan terungsiken dari duka lara. monggo dinikmati!
Penangkapan
Di ranting garing, gelap merambat bagai sayap codot Mendekap buah. Buah-buah membuka mata. Segerumbul Anggur terpekur dari tidur. Segantang kunang terlepas, bagai Bulir emas. Seekor jengkrik mengiris sepi. Sepi merenggang, Dan apel-apel pun berlubang. Daun delima berbisik pada Angin. Angin memainkan lagu lembutnya. Tomat, pepaya, Dan pisang yang mulai matang jadi tak tenang. Sebutir apel Mengintip bulan, betapa merah dan menggoda ia--o, sisa Sorga yang tetap terjaga. Sebiji bintang yang bergelantung Tegang di sana, lalu lepas ke bawah. Sementara, Aku yang Menyaksikan itu semua, berdoa, seperti berharap Keberuntungan menetas dari seberkas senja.
2009
Panduan
Dengan kesabaran, kita putar kaki pelan-pelan. Dua kaki Berkitaran, seperti laku matahari dan bulan. Kita bersepeda, Mengikuti rima jalan. Biar jalan bergeronjal dan berbenjol, Tak apa. Mari kayuh dengan tabah. Dengan kekhusukan yang Nyata. Tak boleh curang kaki sebelah. Karena akan melukai Kaki sebelahnya. Juga mengingkari kaki kita semua. Tak Perlu tergesa. Karena akan berat sendiri. Jadi dibutuhkan kaki Yang kompak, seperti pribahasa tentang ringan dan berat. Sabar adalah kunci. Nikmati saja pemandangan sekitar: buah-Buah mangga yang sedang bertapa, kebun kelapa yang Menanti air sorga, atau sedap kamboja yang setiap malam Sampai ke ranjang kita. Kayuh terus. Dan santai saja. Itu jurus Membunuh bosan. Juga demi perut yang gampang gendut. Tak perlu gupuh ke jalan pulang. Semua jalan adalah pilihan. Tugas kita hanyalah jangan sampai sepeda tabrakan.
2010
Perlawanan
Kupakai jaket panjang, bertabur kunang-kunang. Kupadu Kaos kutang bergambar codot terbang. Celanaku cingkrang Bermotif ganja jarang. Kukalungkan ranting mawar di leherku Jenjang. Kulubangi hidung dan bibir, agar umang-umang Sesekali bisa mampir. Kutampung tawon dan laron yang tak Punya pohon, di dadaku yang monoton. Kupasang walang Garing dan kepinding di dua kuping. Darah meninggi. Hati Dan paru mekar. Dan nafas pun terdengar kembar, seperti Babi lapar yang diseret sepanjang pasar.
2009
Pelepasan
Datang ya angin. Leburkan segala ingin. Datang ya bulan. Balur sekujurku dengan kelembutan. Datang ya matahari. Ajari aku memberi dan membagi. Datang ya air. Mahirkan Aku mengalir dan mendesir. Datang ya kembang. Ajak Kumbang. Kupu juga. Juga ulat dan telurnya. Biar pada Mekar kekuncup habbah. Datang ya buah. Bawa bijimu. Biar Tumbuh di perutku. Hingga tak sendiri daun hatiku. Datang Ya burung. Tetaskan jantung. Setelah itu kita terbang. Tinggalkan usus yang tak kunjung lurus. Menyusul sepasang Mata yang telah jadi kupu kurus. Menyusul telinga yang Menjelma lelawa halus. Menyusul nafasku ungu ke daur Debu. Menempel di pucuk-pucuk wuku, di pohon-pohon Waktu.
2009
Pagi
Aku ingin mengejarmu. Kau yang berjalan sedap dan mantap. Mencuri ilmu dan imanmu. Agar aku selalu muda. Semata mula. Sepertimu. Tak termangsa aus dan usia lalu.
Lngkahmu lembut. Teramat lembut bagi kakiku yang luput terpaut. Kau bangunkan aku dari dingin. Dan tubuhku jadi hijau. Hijau bersemu ungu oleh nafasmu. Kau panggil lamat matahari. Dan ia pun hangat terurai. Mencucup bening cintamu yang mengembung hening di dadaku. Lalu kau dan matahari bercakap. Sebagaimana kawan akrab. Angin pun datang. Dan burung-burung terdengar girang. Tapi kau berangsur menjauh. Dengan kaki yang sungguh gaib. Dengan arah yang teramut tertib. Hingga kami, aku, angin dan burung-burung sekali lagi kehilangan jejakmu. Ada yang terjatuh dariku. Sebidang tanah merasa basah. Dan debu diam dalam debarnya. Seperti kelopak langit, kuncup-kuncup wingit mulai terbuka. Menebar serbuk sari doa yang membuat bunga-bunga jadi buah. Yang membuat tangkainya ikhlas melepas merah. Dan kau, pagi, yang membangunkan itu semua, telah entah di mana. Kau seperti sebentuk rindu. Berjarak dariku. Tinggal seberkas panas. Yang mengaku sebagai sodaramu tua. Bercerita tentang senyum
dan kerling dalammu. Ungu. Bagai birahi seorang ibu. Membangunkan malam dan membuat aku hijau. Menunggu. Di pokok pohonku. Tempat telur dan waktu. Menantimu.
2010
Pada Penyadap
Kubiarkan batangku lencir meninggi. Agar angin leluasa menyuir daun- daunku. Agar aku bisa mencuri air surga untukmu.
Minumlah. Airku segar, lagi baik, lagi mampu menawar racun dan rabunmu. Potong tangkai tanganku. Belah juga batok kepalaku.
Sebagai buah pohon teguh, akan kutunjukkan betapa senja tak mampu meredam serabut cintaku. Hikmati daging deganku yang putih
dan lendir cengkirku yang bersih. Makanlah olehmu bila sudah. Dan biar kuteruskan kisah ini, sendiri
seperti kisah kintir yang melahirkan aku di kali-kali, sembari menyusun kenikmatan tanpa tepi, yang akan kauledakkan di rahim mimpi.
2010
Petani
Kami saling berbagi, aku dan sungai. Bunga dan rumput segar menjalar ke tidur kami. Kami saling mengerti dan tak ada maksud mengkhianati.
Seperti sulur nadi, sungai sering mengulur umur permai. Sungailah yang menjaga jagung, kacang dan padi bila hujan tertahan ke bumi.
Di lubuknya yang damai, kucuci daki dan benci. Agar bersih badan dan hati ini. Kugiring juga ternak untuk minum atau mandi.
Dan sungai slalu menyambut dengan riak gelak, yang memekarkan bunga semak. Di saat begini, kami sering tertawa walau tak sampai terbahak.
Tak pernah kami berbohong. Apalagi saling memotong. Tanpa banyak omong kami saling menolong. Kusingkirkan batu-batu di pelupuknya.
Ia beri ikan-ikan untuk mengisi sepi sawah. Kami tak ingin terpisah. Dan kami bahagia. Kami berjanji akan bertemu dalam tawa bidadari sorga.
2010
Semoga roda ini mencukupi putaran. Semoga kerbau ini tak gampang pikun dan lupa jalan. Semoga petani itu selalu dalam lindungan tuhan. Semoga singkong dan padi selamat sampai tujuan.
Sebagai harta petani, aku sungguh mencintai hasil bumi. Aku suka memboyong singkong. Apalagi jika cuaca cerah dan bau singkong begitu sedapnya. Aku bahagia membawa padi. Sebab pada padi kehidupan merangkum diri. Aku senang mengangkut pisang: buah kesabaran yang disayang tuhan. Aku juga tak keberatan memuat hewan buruan: celeng, cuwut, marmut, dan manuk bubut – yang kadang kali menyedapi tiga batu dapurmu. Sebagai harta petani, aku mencintai semua itu, seperti seorang ibu. Tapi sore ini
aku harus mengangkut mayatmu, petani yang selalu membimbing kerbau dengan kesabaran. Roda ini akan pecah sebelum kuburan. Dan tanpa kau, kerbau itu pasti mendadak pikun dan tak tahu jalan.
2010
A Muttaqin lahir di Gresik, tinggal Surabaya.
Penangkapan
Di ranting garing, gelap merambat bagai sayap codot Mendekap buah. Buah-buah membuka mata. Segerumbul Anggur terpekur dari tidur. Segantang kunang terlepas, bagai Bulir emas. Seekor jengkrik mengiris sepi. Sepi merenggang, Dan apel-apel pun berlubang. Daun delima berbisik pada Angin. Angin memainkan lagu lembutnya. Tomat, pepaya, Dan pisang yang mulai matang jadi tak tenang. Sebutir apel Mengintip bulan, betapa merah dan menggoda ia--o, sisa Sorga yang tetap terjaga. Sebiji bintang yang bergelantung Tegang di sana, lalu lepas ke bawah. Sementara, Aku yang Menyaksikan itu semua, berdoa, seperti berharap Keberuntungan menetas dari seberkas senja.
2009
Panduan
Dengan kesabaran, kita putar kaki pelan-pelan. Dua kaki Berkitaran, seperti laku matahari dan bulan. Kita bersepeda, Mengikuti rima jalan. Biar jalan bergeronjal dan berbenjol, Tak apa. Mari kayuh dengan tabah. Dengan kekhusukan yang Nyata. Tak boleh curang kaki sebelah. Karena akan melukai Kaki sebelahnya. Juga mengingkari kaki kita semua. Tak Perlu tergesa. Karena akan berat sendiri. Jadi dibutuhkan kaki Yang kompak, seperti pribahasa tentang ringan dan berat. Sabar adalah kunci. Nikmati saja pemandangan sekitar: buah-Buah mangga yang sedang bertapa, kebun kelapa yang Menanti air sorga, atau sedap kamboja yang setiap malam Sampai ke ranjang kita. Kayuh terus. Dan santai saja. Itu jurus Membunuh bosan. Juga demi perut yang gampang gendut. Tak perlu gupuh ke jalan pulang. Semua jalan adalah pilihan. Tugas kita hanyalah jangan sampai sepeda tabrakan.
2010
Perlawanan
Kupakai jaket panjang, bertabur kunang-kunang. Kupadu Kaos kutang bergambar codot terbang. Celanaku cingkrang Bermotif ganja jarang. Kukalungkan ranting mawar di leherku Jenjang. Kulubangi hidung dan bibir, agar umang-umang Sesekali bisa mampir. Kutampung tawon dan laron yang tak Punya pohon, di dadaku yang monoton. Kupasang walang Garing dan kepinding di dua kuping. Darah meninggi. Hati Dan paru mekar. Dan nafas pun terdengar kembar, seperti Babi lapar yang diseret sepanjang pasar.
2009
Pelepasan
Datang ya angin. Leburkan segala ingin. Datang ya bulan. Balur sekujurku dengan kelembutan. Datang ya matahari. Ajari aku memberi dan membagi. Datang ya air. Mahirkan Aku mengalir dan mendesir. Datang ya kembang. Ajak Kumbang. Kupu juga. Juga ulat dan telurnya. Biar pada Mekar kekuncup habbah. Datang ya buah. Bawa bijimu. Biar Tumbuh di perutku. Hingga tak sendiri daun hatiku. Datang Ya burung. Tetaskan jantung. Setelah itu kita terbang. Tinggalkan usus yang tak kunjung lurus. Menyusul sepasang Mata yang telah jadi kupu kurus. Menyusul telinga yang Menjelma lelawa halus. Menyusul nafasku ungu ke daur Debu. Menempel di pucuk-pucuk wuku, di pohon-pohon Waktu.
2009
Pagi
Aku ingin mengejarmu. Kau yang berjalan sedap dan mantap. Mencuri ilmu dan imanmu. Agar aku selalu muda. Semata mula. Sepertimu. Tak termangsa aus dan usia lalu.
Lngkahmu lembut. Teramat lembut bagi kakiku yang luput terpaut. Kau bangunkan aku dari dingin. Dan tubuhku jadi hijau. Hijau bersemu ungu oleh nafasmu. Kau panggil lamat matahari. Dan ia pun hangat terurai. Mencucup bening cintamu yang mengembung hening di dadaku. Lalu kau dan matahari bercakap. Sebagaimana kawan akrab. Angin pun datang. Dan burung-burung terdengar girang. Tapi kau berangsur menjauh. Dengan kaki yang sungguh gaib. Dengan arah yang teramut tertib. Hingga kami, aku, angin dan burung-burung sekali lagi kehilangan jejakmu. Ada yang terjatuh dariku. Sebidang tanah merasa basah. Dan debu diam dalam debarnya. Seperti kelopak langit, kuncup-kuncup wingit mulai terbuka. Menebar serbuk sari doa yang membuat bunga-bunga jadi buah. Yang membuat tangkainya ikhlas melepas merah. Dan kau, pagi, yang membangunkan itu semua, telah entah di mana. Kau seperti sebentuk rindu. Berjarak dariku. Tinggal seberkas panas. Yang mengaku sebagai sodaramu tua. Bercerita tentang senyum
dan kerling dalammu. Ungu. Bagai birahi seorang ibu. Membangunkan malam dan membuat aku hijau. Menunggu. Di pokok pohonku. Tempat telur dan waktu. Menantimu.
2010
Pada Penyadap
Kubiarkan batangku lencir meninggi. Agar angin leluasa menyuir daun- daunku. Agar aku bisa mencuri air surga untukmu.
Minumlah. Airku segar, lagi baik, lagi mampu menawar racun dan rabunmu. Potong tangkai tanganku. Belah juga batok kepalaku.
Sebagai buah pohon teguh, akan kutunjukkan betapa senja tak mampu meredam serabut cintaku. Hikmati daging deganku yang putih
dan lendir cengkirku yang bersih. Makanlah olehmu bila sudah. Dan biar kuteruskan kisah ini, sendiri
seperti kisah kintir yang melahirkan aku di kali-kali, sembari menyusun kenikmatan tanpa tepi, yang akan kauledakkan di rahim mimpi.
2010
Petani
Kami saling berbagi, aku dan sungai. Bunga dan rumput segar menjalar ke tidur kami. Kami saling mengerti dan tak ada maksud mengkhianati.
Seperti sulur nadi, sungai sering mengulur umur permai. Sungailah yang menjaga jagung, kacang dan padi bila hujan tertahan ke bumi.
Di lubuknya yang damai, kucuci daki dan benci. Agar bersih badan dan hati ini. Kugiring juga ternak untuk minum atau mandi.
Dan sungai slalu menyambut dengan riak gelak, yang memekarkan bunga semak. Di saat begini, kami sering tertawa walau tak sampai terbahak.
Tak pernah kami berbohong. Apalagi saling memotong. Tanpa banyak omong kami saling menolong. Kusingkirkan batu-batu di pelupuknya.
Ia beri ikan-ikan untuk mengisi sepi sawah. Kami tak ingin terpisah. Dan kami bahagia. Kami berjanji akan bertemu dalam tawa bidadari sorga.
2010
Semoga roda ini mencukupi putaran. Semoga kerbau ini tak gampang pikun dan lupa jalan. Semoga petani itu selalu dalam lindungan tuhan. Semoga singkong dan padi selamat sampai tujuan.
Sebagai harta petani, aku sungguh mencintai hasil bumi. Aku suka memboyong singkong. Apalagi jika cuaca cerah dan bau singkong begitu sedapnya. Aku bahagia membawa padi. Sebab pada padi kehidupan merangkum diri. Aku senang mengangkut pisang: buah kesabaran yang disayang tuhan. Aku juga tak keberatan memuat hewan buruan: celeng, cuwut, marmut, dan manuk bubut – yang kadang kali menyedapi tiga batu dapurmu. Sebagai harta petani, aku mencintai semua itu, seperti seorang ibu. Tapi sore ini
aku harus mengangkut mayatmu, petani yang selalu membimbing kerbau dengan kesabaran. Roda ini akan pecah sebelum kuburan. Dan tanpa kau, kerbau itu pasti mendadak pikun dan tak tahu jalan.
2010
A Muttaqin lahir di Gresik, tinggal Surabaya.
Komentar