Langsung ke konten utama

Salju di Leuven


Cerpen Bosman Batubara

(Kepada Maria Janakova)

Tidak lama waktu yang kita lalui. Tapi bukan berarti tidak banyak pula yang kita lakukan. Hanya dalam beberapa bulan kita berkenalan. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat kita seperti teman lama yang tiba-tiba bertemu secara tak sengaja di tempat yang tak pernah direncanakan.

Aku masih ingat, kamu menjerit histeria dan memelukku ketika pertama kali tahu bahwa aku dari Indonesia. Ya, Indonesia, kamu sangat mencintai negeri itu. Entah mengapa, banyak orang yang pernah ke Indonesia, akan jatuh cinta dengan negeri itu. Dan bukan cinta sembarang cinta, tetapi cinta mati yang sangat mendalam. ”I love Indonesia so much,” katamu.

Aku sendiri, ketika itu sedang berada dalam salah satu fase yang sangat genting dalam hidupku. Boleh kubilang ketika itu hidupku tak punya arah sama sekali. Benar bahwa aku baru saja memulai hidup yang baru di Leuven. Tetapi, bersamaan dengan datangnya hidup yang baru itu, aku juga kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupku. Kekasih yang sangat aku cintai pergi begitu saja meninggalkan luka yang mendalam. ”I’m in love dengan someone else,” demikian pesannya di Facebook. Singkat sekali, tetapi lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya dari versi dia. Meskipun dari versiku, aku tak pernah dapat mengerti tentang pesan singkat di Facebook itu.

Kepergiannya meninggalkan lubang dalam diriku. Ada ruang kosong, yang mungkin akan kosong untuk selamanya. Apa boleh buat. Aku tahu banyak lelaki berlari membawa luka dalam dirinya. Dan mungkin bagiku, aku harus berlari dengan lubang dalam diriku. Apa pun, hidup harus berjalan.

Masih segar dalam ingatanku pertemuan kita yang pertama di laundry sore itu. Di gedung De Waag, pojok hunian mahasiswa Katholieke Universiteit Leuven, Heverlee. Aku harus berterima kasih kepada detergen yang membuatku bingung. Karena tanpa kebingunganku dengan detergen itu, mungkin kita tidak akan pernah berkenalan. Aku benar-benar takut ketika itu, kalau-kalau aku salah memakai detergen, maka bisa saja semua pakaianku akan luntur dan berwarna putih. Dan, nasiblah yang menentukan hanya ada kita berdua di ruangan itu, hingga aku tak punya tempat bertanya selain kamu. Karena aku tak mungkin menanyakan itu pada kursi-kursi kosong di De Waag ataupun rak pajangan poster dan papan informasi di ruangan itu.

Dan sejak itu kita jadi sering bertemu. Diawali dengan masak tahu isi bersama. Karena beberapa hari sebelumnya kamu pernah berbicara soal tahu isi. Dalam ingatanku kamu sebenarnya seperti mengigau. Karena aku lupa detail obrolan kita pada waktu itu. Yang aku ingat hanyalah kamu bilang kalau kamu suka tahu isi dengan cabai rawit.

Aku tidak pernah memasak tahu isi sebelumnya. Tapi aku pernah melihat bagaimana mbok-mbok tukang gorengan di Jogja melakukannya. Dan tak ada susahnya meniru itu. Yang kita butuhkan hanyalah semangat dan keyakinan bahwa kita akan sanggup memasak tahu isi ini. Sambil berusaha terus sepelan mungkin melubangi tahu dengan pisau, aku masih sempat mengomentari bahwa sepertinya tahu yang kita beli dari Asia Market tidaklah seperti tahu di Indonesia. Kamu kelihatan bengong dan hanya mengangkat bahumu sedikit sambil meneruskan mengiris bawang. I like it. Komentarmu pendek ketika mau pulang sambil membawa beberapa tahu isi dan tempe goreng di dalam boks ke kamarmu.

Sejak itu kita semakin sering bersama. Sekadar minum bir. Nonton film di ZED CINEMA. Main bulu tangkis. Sekadar menyapa di Facebook. Atau saling mendengarkan keluhan masing-masing. Aku takkan pernah lupa ketika suatu malam kamu datang mengetok kamarku dengan wajah yang amburadul seperti lalu lintas Jakarta dan mengajakku keluar.

Sepanjang perjalanan ke Grote Markt, oh ya kita selalu jalan kaki dari Heverlee ke Grote Markt, kecuali pada kali pertama kita nongkrong di Oude Markt ketika aku memboncengmu pakai sepeda dari Oude Markt ke Heverlee pada malam menjelang subuh itu, kamu bercerita tentang tasmu yang hilang. Kartu-kartumu yang ada di dalamnya. Kartu mahasiswa, kartu kredit, kacamata, serta HP-mu dengan stiker gambar yang sangat kamu sayangi.

Beberapa hari kemudian kita mencoba mencarinya. Karena ada orang yang mengirim e-mail padamu dan mengatakan bahwa ia menemukan kacamata dan kartu pelajarmu, somewhere di Leuven. Kita ke sana, sebuah rumah di sekitar Brusselsestrat. Agak kaget pada awalnya. Karena kamu berjanji dengan seorang perempuan, tetapi yang menerima kita malam itu adalah seorang lelaki yang mengaku sebagai pacarnya. ”I don’t believe that man,” katamu begitu kita meninggalkan rumah itu. Agak aneh memang karena orang itu tidak menyebutkan di mana dia menemukan kacamata dan kartu pelajarmu. Dia bilang dia lupa karena ketika itu lagi mabuk. Apa boleh buat, kita sama-sama tidak percaya pada orang itu. Tetapi, tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kecurigaan padanya.

Entah berapa bar yang sudah kita singgahi di seputaran Oude Markt, aku sudah tidak ingat. Atau bar Universum di Tiensestrat. Aku suka suasana di sana. Senang karena tidak sepenuh bar-bar di seputaran Oude Markt, bebas merokok sepuasnya, dan tentu saja tertawa. Aku senang kalau kamu senang, katamu suatu ketika. Dan aku pun demikian. Tak masalah, meski aku yakin kalau ada orang yang mendengarkan kita, kadang-kadang pasti akan merasa janggal. Bagaimana tidak janggal, ketika aku tanya kamu bagaimana rasa bir gratis pada gelas besar yang kamu dapat dari bartender di The Rock Cafe sebagai hadiah ulang tahunmu itu, kamu menjawabnya dengan sendawa dan menyambungnya sesaat kemudian, ”That’s all my answer”. Ha-ha-ha… orang-orang di Eropa tidak suka dengan sendawa. Mereka menganggap itu tidak sopan. Tetapi, kita tertawa sambil salah satu telapak tangan kita beradu di udara.

Kamu suka sekali musik dan berdansa. Aku, sebenarnya tidak terlalu familiar dengan suasana itu. Tetapi, kamu begitu sabar. Menata gerakanku yang menurutku tidak selaras sama sekali. Atau, persisnya aku mengikuti iramamu saja. Aku bisa bilang begitu karena ketika kamu memegang tanganku, aku hanya membiarkanmu saja menariknya ke sana kemari.

I’m a cow,” kataku suatu ketika soal selera musik dan dansaku.

No, do not say that, you are not a cow,” balasmu

“”Yeah.., following another cow.

What? Ha-ha-ha….

Harus kuakui memang, untuk urusan berdansa dan bernyanyi, aku memang idiot dan hampir-hampir tak punya ide soal gerakan apa yang akan kulakukan. Mungkin aku harus ngambil kursus salsa semester depan. Sementara ini tidak masalah, semuanya berjalan lancar pada malam itu. Kita bergoyang sampai larut. Meskipun sebenarnya beberapa kali aku hanya duduk dengan birku dan merokok sambil tersenyum-senyum melihatmu yang bergoyang lepas mengikuti irama musik.

I’m a girl baby, I’m a girl baby,” katamu salah tingkah ketika aku memergokimu sedang berkaca di dinding bar sambil mengibas-ngibaskan rambutmu. Aha.., aku tambah tersenyum melihatmu begitu. Itu momen belum tentu datang seratus tahun sekali. Sayang sekali aku tak bisa melihat rona wajahmu ketika itu karena lampu bar yang remang-remang. Jadi aku cuma bisa menebak-nebak saja. Dan tentu saja aku takkan menceritakan seperti apa wajahmu dalam tebakanku. Yang jelas, malam itu aura perempuanmu benar-benar keluar. Jauh dari penampilanmu di hari-hari biasa yang sedikit tomboi.

Malam semakin larut. Dan kita merasa lapar. Seperti biasa, titik berikutnya adalah penjual makanan Turki yang buka 24 jam di dekat Grote Markt. Satu porsi kentang goreng dengan saus samurai yang agak pedas itu cukup. Biasanya kita makan lebih banyak diam. Tetapi, malam itu kamu terus mengoceh. Sementara aku tak banyak bicara. Mungkin karena aku lapar, atau juga mungkin karena aku memang serius makan.

Dari sana kita pindah ke kursi di lapangan Oude Markt. Aku pikir waktu itu sudah sekitar pukul 3 pagi. Sebatang rokok di kursi panjang. Begitu rapat kita duduk karena memang pagi semakin dingin. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin. Meski tak kencang, tapi bagiku itu sangat menyiksa. Dinginnya terasa sampai ke tulang.

Perjalanan pulang ke Heverlee penuh dengan tawa. Tidak ada hujan, tidak ada salju turun, tetapi kita berpelukan di bawah payung. Sepanjang jalan kita mengejek orang-orang mengapa mereka tidak pakai payung padahal ini hujan deras. Satu dua orang melihat dan mendengarkan teriakan kita, kemudian sambil tersenyum mereka berlalu. Beberapa orang yang kita teriaki pagi itu sama sekali tidak menoleh, mungkin mereka sudah sering melihat pemandangan seperti kita yang pakai payung di pagi buta tanpa hujan dan tanpa salju itu. Ini Leuven Maria. Ini Leuven Maria. Begitu kataku ketika kita melihat dua orang laki-laki hitam berdansa di tengah jalan mengikuti gerakan cahaya lampu bergerak yang datang dari salah satu puncak bangunan di sekitarnya. Barangkali kata-kata bermakna sama diucapkan diam-diam oleh orang-orang yang kita teriaki pagi itu. Tidak ada urusan. Kita tetap tertawa. Apalagi setelah kamu bilang bahwa kamu hampir percaya bahwa hujan sedang turun.

Mendekati Heverlee, tidak ada lagi orang di jalanan karena memang asrama milik Universitas tempat kita tinggal terpisah dari rumah-rumah warga Leuven. Tidak ada lagi yang bisa diteriaki. Dan kamu mulai bernyanyi, ”nananananaa… Come on baby, gimme a tittle of song please, I forget all of them now, ” katamu. Aku tidak menjawabnya, tetapi langsung memulai, ”It’s late in the evening; she’s wondering what clothes to wear,” dan di pagi Leuven yang dingin itu, mengalunlah ”Wonderful Tonight”.

Dan dari jendela kamarku, ketika aku menulis cerita ini, aku bisa melihat pohon-pohon yang ranting-rantingnya tertutupi salju. Di luar itu pasti dingin sekali. Tidak mungkin berjalan tanpa jaket di sana. Jaket memberikan kehangatan bagi tubuh-tubuh yang berjalan di bawah hujan salju yang turun lembut dari langit.

Aku merasakan dingin itu. Bukan karena salju atau angin di luar sana. Tetapi karena aku tahu kamu akan segera pulang ke Bratislava. Berakhir sudah masa satu semestermu di Leuven. Tidak akan ada lagi masak bersama atau nongkrong di Grote Markt. Tetapi seperti katamu, aku harus memercayaimu. Seperti katamu, kamu akan datang ke Leuven untuk minum bir dan menari bersamaku. Dan seperti katamu, aku harus mengunjungimu di Bratislava pada tanggal yang sudah kamu tentukan agar kita bisa menonton festival musik itu. Aku percaya kepadamu. Bagiku, kata-katamu seperti jaket di musim dingin.

Dari jendela, sekilas kulihat salju turun perlahan di luar sana.

Leuven, Desember 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi