MENGINTIP PUTRI BERMAIN BOLA
Ketika sedang melintas pada suatu jalan panjang menuju terang
Aku melihat sebuah rumah indah penuh bunga ungu meliukliuk
Dengan sukacita dan percik kegembiraan kudekati ungu merayurayu
Tak sadar selintas pandang melihat bayangan ke dalam rumah
Tertarik melihat apa aku berjingkat tanpa suara
Mengintip lewat jendela
Seorang putri sedang sendiri mengangkat sebuah biola dari tempatnya
Wajah yang tidak cantik dan tubuh yang tidak langsing
Meletakkan biola di antara dagu dan pundaknya
Memainkan satu lagu
Alunan yang halus dan bunyi dawai bergetar
Seperti getar hatiku yang datang tibatiba
Nadanada dilahap dengan jernih tanpa cela
Lagu sedih ataupun riang gembira
kulihat sang putri berubah rupa
Wajah berseriseri merona merah
Tubuh meliuk dengan indahnya
Tibatiba aku jatuh cinta padanya mungkin karena getar biola
Aku ingin berkenalan dengannya
Dan menyatakan cintaku saat itu juga
Namun dia belum selesai bermain
Aku menunggunya dengan sabar
Lagu semakin cepat dan semakin cepat hingga menggila
Aku melihat putri berputar seperti gasing
Suara biola seperti tiupan angin disekeliling
Aku takjub melihat apa yang terjadi
Putri menjadi peri dan biola menjadi tongkat sihir
Wajahku menjadi pucat seperti kapas
Cinta yang timbul tibatiba menguap meruap
Aku berjingkat ingin pergi dari sudut jendela
Namun tibatiba lenganku telah dicekal
“mau ke mana engkau, perjaka?”
“lepaskan hamba tuan putri yang baik, hamba seorang pengembara hanya melintas”
“siapa yang telah mendengar permainan biolaku dan melihatku berganti rupa….
Harus menjadi suamiku dan budakku”
“ampun tuan putri yang baik, hamba hanya musafir yang mencari tujuan hidup
sepanjang perjalanan hidup hamba hanya mencari sepotong kebaikan dan sepotong hikmat
hamba tidak akan menjadi suami siapapun apalagi menjadi budak”
“hohohohoho….namun tadi sekejab engkau sepertinya telah jatuh cinta padaku”
“hanya perasaan yang datang dan pergi, tuan putri, mohon maaf hamba hendak pergi”
peri mengulumngulum bibirnya hingga mengeluarkan ludah darah
lalu meraup ludah darah dalam tangan kirinya yang tercela
membasuhkannya ke kepalaku hingga ke wajahku sambil mengucap mantra
matahari begitu terang keemasan kupandang dari dekat
aku menyentuh sinarnya yang bergelombang dan percik api menghanguskan
aku mengagumi spotspot yang terlihat amat dekat bagai kawahkawah pencari mangsa
aku berhadapan dengan matahari
aku seorang musafir berjalan menuju terang
namun agaknya bukan terang seperti ini yang kuundang
ini terang palsu yang telah menipu
aku menoleh ke belakang
si peri telah berubah wujud menjadi naga
tongkat sihirnya menjadi kucing hitam
agaknya ludah darah tadi telah membawaku ke negeri sihir
aku mengucap satu nama yang menakutkan dan menggetarkan
aku mendengar jerit bagai lolongan menyakitkan
matahari meledak menjadi serpihan
kucing hitam berlari tak tentu tujuan
sang naga menutup kupingnya berteriak kesakitan
aku mengambil pedang meneriakkan satu nama yang menakutkan dan menggetarkan
langit menjadi gelap terang bergantian
sang naga meliuk begitu menakutkan
akhirnya hangus terbakar jilatan matahari palsu talah menjadi serpihan
aku berada pada jalan panjang menuju tujuan
aku telah mengalahkan setan dan godaan
aku berurap menanggalkan kenistaan
di dalam kesegaran jiwa yang diperbaharui kulanjutkan perjalanan.
Nancy Meinintha Brahmana
16.51
4 agustus 2010
Komentar