Langsung ke konten utama

Prose Poem dari Nancy: MENGINTIP PUTRI BERMAIN BIOLA


MENGINTIP PUTRI BERMAIN BOLA


Ketika sedang melintas pada suatu jalan panjang menuju terang

Aku melihat sebuah rumah indah penuh bunga ungu meliukliuk

Dengan sukacita dan percik kegembiraan kudekati ungu merayurayu

Tak sadar selintas pandang melihat bayangan ke dalam rumah

Tertarik melihat apa aku berjingkat tanpa suara

Mengintip lewat jendela

Seorang putri sedang sendiri mengangkat sebuah biola dari tempatnya

Wajah yang tidak cantik dan tubuh yang tidak langsing

Meletakkan biola di antara dagu dan pundaknya

Memainkan satu lagu

Alunan yang halus dan bunyi dawai bergetar

Seperti getar hatiku yang datang tibatiba

Nadanada dilahap dengan jernih tanpa cela

Lagu sedih ataupun riang gembira

kulihat sang putri berubah rupa

Wajah berseriseri merona merah

Tubuh meliuk dengan indahnya

Tibatiba aku jatuh cinta padanya mungkin karena getar biola

Aku ingin berkenalan dengannya

Dan menyatakan cintaku saat itu juga

Namun dia belum selesai bermain

Aku menunggunya dengan sabar

Lagu semakin cepat dan semakin cepat hingga menggila

Aku melihat putri berputar seperti gasing

Suara biola seperti tiupan angin disekeliling

Aku takjub melihat apa yang terjadi

Putri menjadi peri dan biola menjadi tongkat sihir

Wajahku menjadi pucat seperti kapas

Cinta yang timbul tibatiba menguap meruap

Aku berjingkat ingin pergi dari sudut jendela

Namun tibatiba lenganku telah dicekal

“mau ke mana engkau, perjaka?”

“lepaskan hamba tuan putri yang baik, hamba seorang pengembara hanya melintas”

“siapa yang telah mendengar permainan biolaku dan melihatku berganti rupa….

Harus menjadi suamiku dan budakku”

“ampun tuan putri yang baik, hamba hanya musafir yang mencari tujuan hidup

sepanjang perjalanan hidup hamba hanya mencari sepotong kebaikan dan sepotong hikmat

hamba tidak akan menjadi suami siapapun apalagi menjadi budak”

“hohohohoho….namun tadi sekejab engkau sepertinya telah jatuh cinta padaku”

“hanya perasaan yang datang dan pergi, tuan putri, mohon maaf hamba hendak pergi”

peri mengulumngulum bibirnya hingga mengeluarkan ludah darah

lalu meraup ludah darah dalam tangan kirinya yang tercela

membasuhkannya ke kepalaku hingga ke wajahku sambil mengucap mantra

matahari begitu terang keemasan kupandang dari dekat

aku menyentuh sinarnya yang bergelombang dan percik api menghanguskan

aku mengagumi spotspot yang terlihat amat dekat bagai kawahkawah pencari mangsa

aku berhadapan dengan matahari

aku seorang musafir berjalan menuju terang

namun agaknya bukan terang seperti ini yang kuundang

ini terang palsu yang telah menipu

aku menoleh ke belakang

si peri telah berubah wujud menjadi naga

tongkat sihirnya menjadi kucing hitam

agaknya ludah darah tadi telah membawaku ke negeri sihir

aku mengucap satu nama yang menakutkan dan menggetarkan

aku mendengar jerit bagai lolongan menyakitkan

matahari meledak menjadi serpihan

kucing hitam berlari tak tentu tujuan

sang naga menutup kupingnya berteriak kesakitan

aku mengambil pedang meneriakkan satu nama yang menakutkan dan menggetarkan

langit menjadi gelap terang bergantian

sang naga meliuk begitu menakutkan

akhirnya hangus terbakar jilatan matahari palsu talah menjadi serpihan

aku berada pada jalan panjang menuju tujuan

aku telah mengalahkan setan dan godaan

aku berurap menanggalkan kenistaan

di dalam kesegaran jiwa yang diperbaharui kulanjutkan perjalanan.


Nancy Meinintha Brahmana

16.51

4 agustus 2010

Komentar

poemetpeinture mengatakan…
Terimakasih sudah memilih puisi saya..

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi