Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Guruh Dimas Nugroho

25 DESEMBER

Hari ini telah lahir pada jejak langit paling biru

Angkasa mengusap getir sepanjang bumi

melantunkan lagu sepenuh rindu

sajak-sajak pagi terangkai menjadi raut-raut mimpi

tentang Bethlehem dan lima pintu surga:

rekah cahaya bilur-bilur luka.

2010

SUATU SORE

Kepada Pelukis Herman Benk

Juntai-juntai pelangi di jambang lebatmu, sore itu kauijinkan aku memetiknya satu

Kusimpan dalam jejal berlaksa garis yang dulu pernah kau tanam merupa sajak berbaris:

Raut-raut gelisah terkurung dalam ruang, raut-raut gelisah mengalir dalam waktu,

raut-raut gelisah merupa pedang, menghunus ulu rindu

Di sore itu kuserahkan keningku, guratkan aksara-aksaramu

Aku ingin membaca kisah pembunuhan matahari, mendengarmu bernyanyi

tentang nada senja telah lama pergi

Aku masih ingat ketika sore itu kautunjukkan sesuatu padaku. Kau bertanya,

“lihatlah sosok dalam bingkai itu! Kau tahu apa itu?”

Lalu aku mengatai sebuah lukisan.

“Bukan, itu puisi, kawan. Kau dapat menyebutnya

sebagai sebuah komposisi musik atau tarian”

Aih, rupanya sore itu kau tulis catatan tentang pesta kita

dalam rima, warna, nada

Kau tulis pula catatan ketika kita bergoyang pada sebuah bidang

lebur misteri: mana pasti, mana mimpi

Di sore ini, ketika kubaca lagi catatanmu, tiba-tiba aku tercekat

pada rangkai sulam-sulam kisah tentang awan

Ini sore tak pernah suram, karenamu

di barat ia tak mampu tenggelam, kawan.

2011

KHIANAT BISU

Malam itu aku melihat aliran darahku

Mengairi tubuh mimpimu

Mengalir pula dalam rimba angan-anganmu:

Lukisan penyulam daun menjadi kelopak bunga

Malam itu memercik kesucian hitam

Tatkala kesunyian hinggap

Pada segenap gurindam temaram

sepi:

khianat bisu tersusupi seribu bujuk wajah pagi

Senja meleleh pada sebuah mata

Ia melebur tubuhmu dalam tanya, bisik hasrat sunyi,

“akankah malam-malam berikut kau kembali?

Sedang nafasku menggantung seorang diri”

Penggenap garis takdirku, taruhlah ragu.

Kujanjikan

Sebelum bulan mengintip malu,

disebalik kelam kutitipkan kelaminku.

2011

MELUKIS MEMOAR DAN MAYAT-MAYAT

Kita melukis dunia dan berbagai pelukan

Bumi serupa gasing

Di kening kita ia menari dua putaran

Banyak yang merasa asing, lihat,

mereka tenggelam di samudera peluh

satu-persatu mati terbunuh!

2011

UJUNG CAHAYA

Termaktub dalam malam

letup-letup hingar

Mengemas pijar sekuntum mawar

di sela batu-batu waktu

Aku melihat siar segenap layar melaju

Duh, rindu…

ada yang mekar di ujung cahaya itu!

2011


Sebagai sarana untuk komparasi, saya sajiken puisi-puisi teman dari Unair yang terkini. mungkin nanti bisa dicari benang merah perbedaan antara penyair Unair era sekarang dan eranya Indra Tjahyadi cs.


Editor.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi