Penulis : Susy Ivaty, Editor : Robert Adhi Kusumaputra
SURABAYA, KOMPAS.com — Kesenian ludruk kini makin terpuruk. Ludruk masih populer di kalangan orang tua, namun tidak di kalangan anak muda dan remaja. Pengemasan ludruk yang kurang meningkat dan cenderung monoton menurunkan tingkat apresiasi penggemarnya. Ludruk pun kehilangan keludrukannya.
Hal itu mengemuka dalam acara diskusi dan pelatihan ludruk dengan tema Peningkatan Profesionalisme Seniman Ludruk di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali, Surabaya, Kamis (24/2/2011). Acara pendidikan dan pelatihan seniman ludruk ini masih berlangsung hingga Jumat, dan ditutup dengan pementasan pada Sabtu siang di Taman Budaya Jatim.
Pendidikan dan pelatihan ini menampilkan pembicara antara lain Ags Arya Dipayana, Djujuk Prabowo, serta Kepala Taman Budaya Jatim, Sinarto. Seniman ludruk mengaku sangat mengapresiasi acara ini, apalagi jika ada tindak lanjut untuk tetap hidupnya ludruk di Tanah Air, khususnya di Jatim.
Menurut Aji (panggilan Ags Arya Dipayana), ludruk saat ini kehilangan keludrukannya. "Ludruk ini awalnya bertumpu pada kecerdasan pemain2nya, wawasan yang memadai, serta kepekaannya pada realitas sosial. Setelah mentradisi, ludruk kehilangan seniman yang seperti itu. Fungsi sebagai kontrol sosial seharusnya tetap dipertahankan," katanya.
Sementara menurut Djujuk, seniman ini perlu asupan gizi, seperti zaman dulu. "Keludrukan saat ini luntur. Tidak punya pamor. Kropos. Orang-orang yang peduli ludruk tidak hanya menyenangi saja, tetapi harus meresapi dan mempratikkan" katanya.
Djujuk mengibaratkan ludruk ini seperti pakaian. "Ludruk harus dipelihara, dieman, lalu dipakai," sambungnya.
Sumarsono, seniman ludruk dari Malang, mengatakan, mulai senang ludruk sejak kecil. Tahun 2000 mulai masuk grup ludruk, dan ikut berbagai pelatihan tentang profesionalisme ludruk. Agung, seniman ludruk dari Surabaya berujar, ia mengkhawatirkan regenerasi kesenian ludruk.
"Ludruk remaja dibina dinas pendidikan. Tapi setelah itu terus bagaimana kelanjutannya," katanya. Jamil, seniman ludruk dari Malang menyatakan, saat ini yang memegang peranan adalah juragan ludruk. Seniman hanya tukang. "Juragan kadang memaksakan keinginan karena memang dia yang punya uang dan kuasa. Juragan ikut mengurusi isi cerita panggung. Kami ini pun digaji di bawah upah minimum regional," tuturnya.
NB : harus menjadi perhatian bersama
Komentar