Langsung ke konten utama

Puisi Andrew Valentinus P.


ini adalah salah satu puisi Andrew Valentinus Purwanto, murid bimbel saya sewaktu saya masih tinggal di kota Jember. puisinya bagus-bagus. saya menyimpan beberapa karyanya. Atex, panggilan karibnya, kini berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. semoga ia masih meneruskan dan mengembangkan terus bakatnya di bidang kepenulisan sembari berkuliah tentunya. saya tayangkan salah satu puisi Atex pada kesempatan malam ini.

SURAT

Damai untukmu.

Kawan,

Apa kabar?

Lama kita tak bertemu.

Masihkah kau mengingatku

Setelah sekian waktu berlalu?

Entah kapan kali terakhir

Aku bertanya kabar padamu.

Entah kapan surat ini sampai.

Jika mungkin kau membaca sendiri,

Maka aku masih tegar berdiri.

Jika mungkin seseorang membaca untukmu,

Maka aku sama sepertimu.

Jika mungkin surat ini dibakar untukmu,

Maka percayalah kita akan bertemu.

Waktu terasa begitu kejam.

Ia berputar dengan cepatnya.

Seolah kita tak diberi kesempatan bernafas

Dan ternyata kita bukan lagi anak-anak.

Ingatkah dulu saat kita tak saling kenal,

Masih menangis dalam pelukan.

Memahami dan belajar perlahan

Hingga kita dapat berjalan.

Waktu terasa begitu kejam.

Ia berputar dengan cepatnya.

Seolah kita tak diberi kesempatan bernafas

Dan ternyata kita telah tumbuh dewasa.

Ingatkah saat kita bersama,

Menjalani hari-hari bagai tarian.

Menangis dan tertawa.

Saling berbagi rasa.

Waktu terasa begitu kejam.

Ia berputar dengan cepatnya.

Seolah kita tak diberi kesempatan bernafas

Dan ternyata kita telah menempuh jalan kita sendiri.

Tak terasa kita telah tua.

Bukan lagi seorang anak.

Bahkan mungkin kita lupa,

Seperti apakah masa kanak-kanak itu?

Mungkin kita juga akan lupa,

Bahwa kita pernah mengenal.

Jika memang demikian,

Biarlah kita berusaha mengenang

Dalam ingatan-ingatan bintang.

Kawan,

Izinkan aku berdoa,

Semoga kau bahagia

Baik karena hidupmu

dan karena mengenalku.

Kawan,

Izinkan aku berharap,

Semoga kita dapat bertemu

Di suatu waktu

Meski kita tak pernah tahu.

Kawan,

Aku telah habis kata.

Bukan karena aku tak ingin lagi bercerita

Tapi karena tak mampu menahan rasa

Bahwa aku ingin bersama.

Sampai jumpa,

Kawan.

Jember, 14 Februari 2011

Komentar

Valentinus mengatakan…
walah..ada yang dimasukkan ke sini ternyata..hahaha..makasih pak~
masih terus nulis kok dan berusaha untuk terus jadi lebih baik.. :D

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi