esai Afrizal Malna
Hampir setiap hari saya hidup bersama tujuh ekor anjing. Manakala tidak ada orang lain, hampir sepenuhnya saya bersama mereka. Kami mengalami komunikasi sebagai hubungan konkret tanpa penyaring. Mereka bercanda dan saya bekerja. Kadang mereka menemani saya di sekitar ruang kerja saya. Komunikasi saya bersama mereka berlangsung hampir tanpa jarak karena memang tidak ada bahasa yang mewakili hubungan kami.
Ketika saya mengangkat piring, mereka tahu waktu makan sudah tiba. Dan mereka mulai berkumpul di dapur. Ketika saya memadamkan lampu, mereka tahu harus masuk rumah dan tidur malam. Ketika ada orang datang, mereka menyalak dan mulai mereka-reka apakah itu tamu saya atau bukan. Saya tidak tahu, apakah mereka juga menunggu kapan saya bisa menyalak seperti mereka. Ketika saya pulang, mereka akan mengerubungi saya, mengayun-ayunkan buntut mereka dan melompat-lompat untuk bisa menyentuh tubuh saya. Komunikasi kami berlangsung lewat tatapan mata, suara, atau jilatan lidah mereka; langsung tanpa abstraksi ataupun distraksi. Tubuh kami adalah bahasa itu sendiri walaupun belum tumbuh buntut pada tubuh saya.
Tubuh
Tubuh kami tidak menyimpan kode-kode kekuasaan atau identitas, yang biasanya ditanamkan melalui bahasa. Kekuasaan langsung diperlihatkan melalui taring, salakan, atau kencing mereka untuk menandai ruang teritori kekuasaan di antara mereka. Tubuh kami bukanlah abstraksi dari nilai-nilai yang menanamkan konflik untuk mengerti diri sendiri.
Mengaitkan sastra dengan bahasa merupakan mata rantai politik identitas yang tidak saya alami bersama dengan anjing-anjing saya. Politik identitas yang menempatkan bahasa masih sebagai pusat dari bagaimana manusia mengalami momen-momen kreatifnya. Pengaitan yang tidak pernah bisa menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan sastra berlangsung sebagai negosiasi baru antara sastrawan dan bahasa yang digunakannya.
Sebagai penyair, saya melihat bahasa Indonesia bukanlah identitas pertama saya. Bahasa Indonesia tidak lebih hanya sebagai bahasa yang terberi, saya gunakan sehari-hari, dan merupakan bahasa politik untuk nasionalisme kita. Awalnya saya tidak bisa membedakan apakah momen-momen kreatif, saya alami lewat bahasa atau lewat tubuh saya sendiri. Setelah saya kian dekat dengan tubuh saya lewat pekerjaan-pekerjaan yang langsung menggunakan tubuh, making love dan pengalaman mabuk, tubuh merupakan medan bahasa pertama saya untuk mengalami in-out-nya identitas dan kesadaran. Membiarkan tubuh saya diwakili oleh bahasa, sama dengan membiarkan proses depersonalisasi terhadap tubuh saya berlangsung terus-menerus.
Kesadaran ini, bahwa momen kreatif tidak saya alami semata lewat bahasa atau sebagai peristiwa bahasa, kian definitif saya rasakan lewat berkembangnya media digital, pembesaran dan penggandaan gaya hidup, ruang, dan waktu menjadi kian relatif. Identitas berlangsung lebih sebagai proses instan yang dimobilisasi lewat media. Orang mengatakan, ini kebudayaan dangkal, sompretlah. Tubuh jadi terbuka melakukan pembacaan atas kehadiran diri sendiri dan kehadiran yang-lain-yang-tak-terduga dan tak-bernama, dan sekaligus melakukan berbagai mutasi dalam keterbukaan ini. Mata dan telinga melakukan zoom-out-zoom-in, memainkan dinding- dinding visual dan auditif atas pikiran saya. Tubuh mengalami mistifikasi di luar bahasa.
Di tengah medan tubuh seperti itu, bahasa menjadi begitu rapuh. Pesan- pesan paradigmatik bahasa mudah diguncang hanya dengan memainkan titik dan koma, atau dengan melakukan koreografi lain atas penggunaan imbuhan terhadap kategori-kategori kata. Hubungan sastra dan bahasa tidak terletak pada bagaimana kita memperlakukannya sebagai kamus dan sebagai identitas. Melainkan hanya sebagai material penciptaan.
Politik identitas yang menggantung sastra di atas tiang gantungan bahasa tidak bisa lagi menjelaskan bagaimana tubuh melakukan mistifikasi terhadap berbagai gejala yang dialaminya. Bahasa membuat sastrawan terasing dengan tubuhnya sendiri, dan membiarkan bahasa sebagai pusat dari sarang nilai-nilai yang menguasainya.
Konstruksi
Ketika konstruksi sosial masih utuh menjaga bahasa sebagai bahasa komunitas—sebagaimana halnya dengan syair dan pantun—hubungan sastra dan bahasa memang organik. Rima, oleh sastra, diproduksi langsung sebagai kekuatan dari bahasa itu sendiri. Akan tetapi, kini semestinya terjadi koreografi yang unik dalam dunia sastra antara tubuh, bahasa, dan berbagai media elektronik di sekitar kita dalam mereproduksi rima-rima auditif ataupun visual. Dan menjelaskan kian retaknya komunitas sosial dari bahasa. Internalisasi sastrawan terhadap bahasa, sebenarnya sedang terguncang oleh tekanan eksternal dari media elektronik yang memiliki gramatika visual dan auditifnya sendiri. Berhadapan dengan bahasa, sama dengan berhadapan dengan ”kheos narasi” dalam ruang domestik bahasa.
Pemahaman di atas memang bisa dilihat sebagai agresi terhadap para penyair yang masih bergantung kepada kata. Maka, ketika bahasa bukan lagi segala-galanya untuk puisi, lalu kepada apakah identitas puisi harus bergantung? Persoalan seperti ini tidak terjadi pada sajak, karena sajak memang berhubungan organik dengan bahasa, karena sajak memainkan kerja koreografi bahasa yang inheren ada di dalam bahasa itu sendiri, terutama potensi bunyi pada bahasa. Karena itu, bisa dipahami pandangan Amir Hamzah yang melihat pantun dan syair sebagai tiang penyangga dan lantai sekaligus untuk keberadaan bahasa Melayu. Selama masyarakat tidak meninggalkan syair dan pantun, maka Melayu tidak akan runtuh, katanya (dalam HB Jassin, Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru, Jakarta: 1962).
Puisi, yang merupakan anak dari modernisme, hasil solusi sejarah sastra untuk keluar dari pertentangan antara sajak dan prosa, kian kesepian berhadapan dengan hiruk-pikuk berbagai narasi yang diproduksi oleh ”kebudayaan dangkal itu” (identitas sebagai proses instan). Puisi terkepung oleh kheos narasi yang berlangsung di sekitarnya. Agresi dari ”kebudayaan sompret” itu, seakan-akan tidak bisa dilawan lagi karena ia kian tertanam dalam masifikasi mekanisme penggandaannya.
Dalam kheos narasi itu, ada dua fenomena yang berlangsung dalam puisi-puisi masa kini. Pertama, para penyair yang melakukan ”brutalisasi bahasa” dalam puisi. Mereka yang menulis puisi dengan prosa (paralel dengan mereka yang menulis prosa dengan puisi. Fenomena yang berlangsung bersamaan dengan kheos narasi-narasi urban. Dan kedua, munculnya konservatisme baru untuk para penyair yang kembali menulis puisi di dalam sajak. Keduanya berusaha melakukan reinteriorisasi puisi. Kadang-kadang, kedua fenomena ini dilakukan bolak-balik oleh penyair, seperti yang dilakukan Nirwan Dewanto.
Fenomena pertama, muncul antara lain pada puisi-puisi Joko Pinurbo, Wendoko dan Mardi Luhung. Sementara, fenomena kedua, tampak merupakan mayoritas, terutama setelah terbitnya Koran Tempo yang memiliki rubrik puisi, dan dikelola oleh Nirwan Dewanto sendiri. Puisi-puisi Ook Nugroho, Ni Putu Rastiti, Hasan Al Bama, Hasan Aspahari, Anda S, Ahda Imran, beberapa puisi Hanna Fransisca dan Nirwan Dewanto sendiri lebih banyak memperlihatkan fenomena kedua itu. Fenomena yang memperlihatkan formalisme baru dalam puisi yang merampingkan bahasa, atau melakukan minalisasi bahasa.
Fenomena lain dari reinteriorisasi puisi masa kini berlangsung lewat penulisan dan pembacaan kembali mitologi seperti yang dilakukan Gunawan Maryanto atau Triyanto Triwikromo. Internalisasi narasi lokal seperti yang dilakukan Raudal Tanjung Banua. Fenomena yang ikut merayakan musim panjang lirisisme puisi Indonesia di tengah kian banyaknya muncul komunitas-komunitas sastra yang berbasiskan puisi; penerbitan buku puisi di Sumatera, Jawa, ataupun Kalimantan; dan hiruk-pikuk puisi di internet. Sri Andy Wahyudi justru menggunakan imaji anak-anak dalam puisi-puisinya, menganggap dunia orang dewasa sebagai dunia yang lucu dan tragis.
Terbitnya kumpulan puisi Ook Nugroho (Hantu Kata, 2010), saya kira bisa dibaca sebagai kheosnya hubungan puisi dengan bahasa, yang oleh Ook, kheos ini dijinakkan sebagai kheos puitik.
***
(Afrizal Malna, penyair)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/02/06/04320235/proses.bunuh.diri.dari.bahasa
Komentar