Langsung ke konten utama

Puisi-puisiku muat di Horison edisi februari 2011


Bermalam

kami bermalam

di sajakmu, tuan

hanya bermalam

dan sungguh

tak kunjung

kami temukan

diri tuan utuh

kecuali kepingan

sajak tuan

yang berpencar

berpendar

satu per satu

menuju tatap kami

dari sajak tuan

kami masuk

dalam tatapan tuan

lalu berlabuh, sebelum

akhirnya kami tenggelam

dalam diri kami, penuh

seperti pencarian

menemukan

masa kanak kami

yang tak pernah

kami reka dan terka

dari sajak tuan

kami membaca

malam paling sunyi

dari dalam sunyi

kami dengar nyanyi

paling meriah

sepanjang hidup kami

melebihi semua keramaian

yang kerap bertandang

membising di telinga kami

dari sajak tuan

pagi tiba lebih lama

selama kami kenang

masa bersua

dengan kenangan

paling purba

dan di sajak tuan

kami rasakan

laju darah kami

berdegup kencang

seolah ikan berloncatan

dari pepori kami

membelah dalam

ke jantung lautan

sebab kami bermalam

di sajak tuan

2010

Memandang

kami biasa memandang

hanya memandang

sebentuk awan

yang menanjak perlahan

sebentuk

yang mungkin terbuat

dari ingatan

atau sepasukan kenang

yang kami lambungkan

tinggi-tinggi

kami sungguh ingin

kenangan-kenangan itu

berpendar

menyatukan diri

bersama segala kenangan

di bumi

satu ketika kami ingin

kenangan itu

dapat kami pandang

sewaktu kami berdiri

di ambang petang.

lalu sebentuk awan

(kenangan kami)

akan menetes

sebagai hujan

mengantarkan kembali

kenangan

semirip anak-anak kami

yang rindu jalan pulang.

tetes itu tiba pada tubuh

sebagai pesan

agar kami ingat

ketelanjangan pertama

di mana sungai

dalam tubuh kami

mengalir kencang

menuju jantung paling tenang

menuju laut yang tak habis

kami perbincangkan.

di lain petang

awan-awan itu berbalik

memandang kami :

sebagai anak yang lupa

ketinggian

sebagai pintu yang tutup

untuk kepulangan

2010

Merindu

kami sudah tak ingat lagi

cara singkat memasukimu

sepasang kaki kami

mendadak lumpuh

bila mengingat

setapak jalan menuju dirimu

entah apa yang kau pikir kini:

mungkin kau setia

menunggu kami

melambai kami dari jauh

atau

tak lagi kau hendaki

kehadiran kami.

sungguh, tak dapat

kami terka yang kau simpan

di sebalik waktu :

mungkin potongan

sajak kami yang tertinggal

atau

sepetak tanah peraduan

tempat kelak tubuh kami

dikuburkan

bersama segala kenangan

ajari kami merindukanmu

mengetukimu

membukamu perlahan

hingga kami temukan

larik sajak kami

yang terpenggal

munajat yang tak sempat

dipanjatkan

juga wajah ibu kami

yang pelan membayang

2010

Dody Kristianto. Lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) serta memberdayakan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Karya-karyanya telah terpublikasi pada beberapa media antara lain, Surabaya Post, Radar Surabaya, Jawa Pos, Batam Pos, Lampung Post, Jurnal Bogor, Jurnal The Sandour, Majalah GONG, Kidung DKJT, Buletin Tera, dll. Puisinya juga termuat dalam beberapa antologi antara lain, Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Duka Muara (KRS, 2008), Rumah Kabut (Dewan Kesenian Surabaya, 2009), Manifesto Illusionisme : Temu Sastrawan Jawa Timur (Disparbud Jatim, 2009) serta Pesta Penyair (DKJT, 2009). Saat ini tinggal di Sidoarjo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI