Bermalam
kami bermalam
di sajakmu, tuan
hanya bermalam
dan sungguh
tak kunjung
kami temukan
diri tuan utuh
kecuali kepingan
sajak tuan
yang berpencar
berpendar
satu per satu
menuju tatap kami
dari sajak tuan
kami masuk
dalam tatapan tuan
lalu berlabuh, sebelum
akhirnya kami tenggelam
dalam diri kami, penuh
seperti pencarian
menemukan
masa kanak kami
yang tak pernah
kami reka dan terka
dari sajak tuan
kami membaca
malam paling sunyi
dari dalam sunyi
kami dengar nyanyi
paling meriah
sepanjang hidup kami
melebihi semua keramaian
yang kerap bertandang
membising di telinga kami
dari sajak tuan
pagi tiba lebih lama
selama kami kenang
masa bersua
dengan kenangan
paling purba
dan di sajak tuan
kami rasakan
laju darah kami
berdegup kencang
seolah ikan berloncatan
dari pepori kami
membelah dalam
ke jantung lautan
sebab kami bermalam
di sajak tuan
2010
Memandang
kami biasa memandang
hanya memandang
sebentuk awan
yang menanjak perlahan
sebentuk
yang mungkin terbuat
dari ingatan
atau sepasukan kenang
yang kami lambungkan
tinggi-tinggi
kami sungguh ingin
kenangan-kenangan itu
berpendar
menyatukan diri
bersama segala kenangan
di bumi
satu ketika kami ingin
kenangan itu
dapat kami pandang
sewaktu kami berdiri
di ambang petang.
lalu sebentuk awan
(kenangan kami)
akan menetes
sebagai hujan
mengantarkan kembali
kenangan
semirip anak-anak kami
yang rindu jalan pulang.
tetes itu tiba pada tubuh
sebagai pesan
agar kami ingat
ketelanjangan pertama
di mana sungai
dalam tubuh kami
mengalir kencang
menuju jantung paling tenang
menuju laut yang tak habis
kami perbincangkan.
di lain petang
awan-awan itu berbalik
memandang kami :
sebagai anak yang lupa
ketinggian
sebagai pintu yang tutup
untuk kepulangan
2010
Merindu
kami sudah tak ingat lagi
cara singkat memasukimu
sepasang kaki kami
mendadak lumpuh
bila mengingat
setapak jalan menuju dirimu
entah apa yang kau pikir kini:
mungkin kau setia
menunggu kami
melambai kami dari jauh
atau
tak lagi kau hendaki
kehadiran kami.
sungguh, tak dapat
kami terka yang kau simpan
di sebalik waktu :
mungkin potongan
sajak kami yang tertinggal
atau
sepetak tanah peraduan
tempat kelak tubuh kami
dikuburkan
bersama segala kenangan
ajari kami merindukanmu
mengetukimu
membukamu perlahan
hingga kami temukan
larik sajak kami
yang terpenggal
munajat yang tak sempat
dipanjatkan
juga wajah ibu kami
yang pelan membayang
2010
Dody Kristianto. Lahir di Surabaya, 3 April 1986. Lulus Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Giat di Komunitas Rabo Sore (KRS) serta memberdayakan Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI). Karya-karyanya telah terpublikasi pada beberapa media antara lain, Surabaya Post, Radar Surabaya, Jawa Pos, Batam Pos, Lampung Post, Jurnal Bogor, Jurnal The Sandour, Majalah GONG, Kidung DKJT, Buletin Tera, dll. Puisinya juga termuat dalam beberapa antologi antara lain, Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Duka Muara (KRS, 2008), Rumah Kabut (Dewan Kesenian Surabaya, 2009), Manifesto Illusionisme : Temu Sastrawan Jawa Timur (Disparbud Jatim, 2009) serta Pesta Penyair (DKJT, 2009). Saat ini tinggal di Sidoarjo.
Komentar