Langsung ke konten utama

Taufiq Ismail Pakai 'K' dan Tuduhan Plagiarisme Puisi


Jakarta Nama penyair angkatan 66 yang terkenal dengan kumpulan puisi 'Tirani dan Benteng' Taufiq Ismail mendadak ramai diperbincangkan di situs-situs jejaring sosial di internet. Berawal dari isu yang menyebutkan bahwa Taufiq mengancam akan menyerbu dan membubarkan diskusi buku tentang seniman Lekra di PDS HB Jassin, TIM. Namun, belakangan, perbincangan merembet ke isu plagiarisme.

Sebuah puisi berjudul 'Kerendahan Hati' yang disebut-sebut sebagai karya Taufiq Ismail dituduh sebagai karya jiplakan! Puisi itu dituduh sangat mirip dengan puisi berjudul 'Be the Best of Whatever You Are' karya penyair Amerika Serikat kelahiran tahun 1877 Douglas Malloch. Segera, isu plagiarisme itu menyebar, baik di Twitter maupun Facebook sejak Kamis (31/3/2011).

Sedangkan, isu bahwa Taufiq akan membawa massa menyerbu PDS HB Jassin itu berhembus sejak beberapa hari sebelum diskusi buku itu berlangsung, pada Jumat (25/3/2011). Diskusi buku itu untuk memperingati 100 hari meninggalnya penyair Asep Sambodja. Buku itu berjudul 'Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra'. Taufiq yang memang dikenal getol menentang ideologi komunisme kabarnya keberatan jika PDS HB Jassin dipakai untuk acara yang membahas "pengarang-pengarang Lekra".

Di Twitter, banyak orang menyayangkan "ancaman" Taufiq itu. Namun, ketika acara diskusi itu digelar, ternyata Taufiq tidak muncul. Perbincangan tentang Taufiq pun menghilang dari media sosial, hingga akhirnya muncul lagi dengan isu yang berbeda, yakni plagiarisme. Kali ini, tidak hanya di Twitter, kehebohan pun terjadi juga di Facebook. Salah satu yang paling ramai terjadi di akun Facebook Bramantyo Prijosusilo.

Diskusi yang terjadi di akun itu melibatkan sejumlah pelaku sastra, seperti novelis Soe Tjen Marching. Bahkan, diskusi berhasil 'mengundang' Fadli Zon, keponakan sekaligus editor buku kumpulan puisi Taufiq Ismail. Bramantyo sendiri juga seorang pegiat sastra dan pernah aktif di Bengkel Teater Rendra. Menurut Fadli Zon, tidak ada puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul 'Kerendahan Hati'.

Fadli adalah Ketua Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail berkarya pada 2008, dan mengeditori 4 jilid buku kumpulan karya Taufiq Ismail 'Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit'. "Buku pertama adalah buku puisi setebal 1076 halaman, berisi kumpulan puisi Taufiq Ismail dari tahun 1953-2008. Setelah saya periksa tak ada puisi 'Kerendahan Hati'," klarifikasinya.

Lebih jauh Fadli mengatakan, Taufiq Ismail memang menerjemahkan juga puisi 160 penyair Amerika yang dikumpulkan dalam 'Rerumputan Dedaunan' yang belum diterbitkan. Paling banyak puisi Walt Whitman. "Tapi puisi Malloch tak pernah diklaim puisi Taufiq IsmailI. Jika ada referensi mohon bisa ditunjukkan di buku mana Taufiq Ismail mengaku puisi itu adalah miliknya," pinta Fadli.

Fadli juga mengaku sudah menelepon langsung Taufiq Ismail untuk menanyakan hal itu. "Jawabannya, ia tak pernah mengklaim puisi 'Kerendahan Hati'. Ia juga sedang cari di file, sementara belum ada. Di kumpulan karya terjemahan 'Rerumputan Dedaunan' juga tak ada. Jadi Taufiq Ismail belum tahu puisinya yang mana. Ia mengatakan rasanya pernah membahas puisi itu atau menerjemahkan puisi itu dalam kegiatan Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab di sekolah-sekolah," paparnya.

Kemudian Fadli menambahkan, "Kalau itu puisi terbaiknya, tentu ada di buku yang saya terbitkan. Di internet, tak ada data yang jelas. Bahkan penulisan namanya pun salah, Taufik bukan Taufiq. Mungkin ada info atau sumber yang lebih tajam, yang menyatakan bahwa Taufiq Ismail memang menulis puisi itu? Kalau tidak ada, polemik ini menjadi pepesan kosong."

Memang, jika dilacak di mesin pencari tentang puisi berjudul 'Kerendahan Hati' itu, yang muncul adalah puisi dengan nama pengarang Taufik Ismail --pakai 'k', dan bukannya 'q'. Apakah si pengunggah puisi itu salah ketik? Atau, memang ada Taufiq Ismail yang lain, yang berbeda dalam ejaan nama?

Belakangan, setelah Fadli Zon menelepon, Taufiq Ismail sendiri datang ke perpustakaan Fadli. "Tadi Pak Taufiq Ismail datang ke perpustakaan saya, dan mengkonfirmasi langsung bahwa puisi itu bukan karya Taufiq Ismail. Jadi sudah cukup jelas."

Atas konfirmasi yang disampaikan Fadli Zon itu, Bramantyo sebagai 'tuan rumah' diskusi pun kemudian membuat pernyataan:

"Taufiq Ismail bilang kepada Fadli Zon bahwa puisi 'Kerendahan Hati' terjemahan karya Douglas Malloch bukan kerjaan dia. Saya minta maaf telah menjerumuskan Soe Tjen Marching, dan kawan-kawan soal ini. Taufiq Ismail, dalam hal ini, bukan plagiator."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi