Surabaya (beritajatim.com) – Sebagai metropolitan, Surabaya belum hadir dalam citranya sebagai kota seni. Sebaliknya, Surabaya cenderung mengabaikan publik seni. Surabaya belum mampu memberikan sebuah pelayanan berstandar bagi masyarakat yang membutuhkan sentuhan dunia artistik.
Demikian diungkapkan oleh pemerhati seni, Imam Muhtarom, ketika berbincang dengan beritajatim.com, Sabtu (9/4/2011). “Berbeda dengan Yogyakarta, Jakarta, maupun Bandung. Di sana, masyarakat lebih mendapat pelayanan seni yang berstandar. Di Surabaya, infrastruktur itu belum ada. Bahkan, Surabaya cenderung mengabaikannya,” kata penulis buku prosa Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan ini.
Dipaparkannya, salah satu pelayanan terhadap publik seni ditandai dengan adanya kegiatan yang terjadwal secara ajek. “Misalkan sebulan sekali, ada pentas drama di Taman Budaya Jawa Timur atau di kompleks Balai Pemuda. Sehingga, masyarakat punya kepastian tempat dan tanggal untuk menikmati seni,” tutur Imam yang sempat lama menjadi editor buku di Jakarta.
Dia memberikan contoh pelayanan seni di Jakarta. Di kompleks Taman Ismail Marzuki, hampir tiap malam ada pementasan seni pertunjukkan. Begitupula dengan acara sastra maupun diskusi seni. “Ada pengelolaan yang terencana di TIM. Pertunjukkan ada, diskusi ada, dan wacana maupun hiburan bisa diperoleh di sana. Begitu juga di Yogyakarta maupun Bandung. Situasi itu tidak saya temui di Surabaya,” katanya.
Kota Surabaya, imbuh dosen di salah satu PTS ini, memang memiliki beberapa agenda seni yang lumayan besar. Semisal Festival Seni Surabaya, Pasar Seni Lukis, Surabaya Full Music, Biennale Jatim, dan lain-lain. Hanya saja, keberadaan even tersebut belum mampu menjawab kebutuhan pelayanan seni bagi publik.
Alasannya, even bersifat tahunan. Sehingga, banyak bulan-bulan kosong maupun minggu-minggu kosong tanpa acara seni. Seyogyanya, dalam setiap minggu, masyarakat bisa disuguhi kegiatan seni. “Dalam setiap minggu dan setiap bulan, masyarakat seharusnya diberi kesempatan untuk memilih acara seni. Sedang di sini, jangankan pilihan, acara seni yang bagus pun jarang-jarang,” katanya.
Lantas, siapakah yang layak disalahkan dari problem seni di Surabaya? “Ini tanggung jawab bersama. Namun, Pemerintah yang lebih punya tanggung jawab. Saya andaikan, tanggung jawab seniman lebih pada bagaimana memproduksi karya secara bagus. Kalau seniman dituntut memikirkan penyediaan infrastuktur dan pengelolaannya, fokus dia tentu bisa pecah. Selain pemerintah, dibutuhkan pula orang yang bisa memanajeri dunia seni,” paparnya.
Kerap kali, kata Imam, seni membutuhkan orang-orang yang tidak bergerak di produksi karya. Tetapi, orang yang konsen pada pengelolaan atau manajemen. “Saya punya seorang teman di Jakarta. Dia tidak punya basic seni. Meski begitu, dia memiliki semangat tinggi untuk mengelola kesenian. Toh akhirnya, dia berhasil. Saat ini, dia termasuk salah satu orang yang dipercaya untuk menjadi kurator di Galeri Nasional,” tuturnya.
Penggiat Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar ini menengarai, seni dipahami secara kurang tepat di Surabaya. Dunia seni dianggap tidak mendatangkan profit dan sulit menyedot perhatian masyarakat luas. Dengan pemahaman yang salah tersebut, ratusan perusahaan besar yang berada di Surabaya menjadi sia-sia. Tidak dimaksimalkan untuk kerjasama membangun kesenian.
“Di TIM, dalam sehari, perputaran uang mencapai puluhan juta rupiah. Dalam acara-acara tertentu, masyarakat rela membeli tiket seharga Rp 750 ribu. Misalnya pada pertunjukkan Laskar Pelangi. Itu artinya, jika dikelola secara profesional, seni juga menghasilkan uang besar,” paparnya.
Dia akhir pembicaraan, Imam berharap kehadiran gedung baru di kompleks Balai Pemuda bisa menandai pemberian layanan seni berstandar di Surabaya. “Jangan seperti gedung utama, acara paling sering bukan pentas seni, justru resepsi pengantin. UPTD jangan hanya kejar setoran, mereka harus memaksimalkan peran kurator,” tandasnya. [but]
Reporter : Ribut Wijoto
Komentar