Esai Gola Gong
Pernah sutu malam, saya melihat Taufiq Ismail muncul di TV. Membacakan sajak "Kerendahan Hati". Saya lupa TV mana. Tapi, tidak ada judul puisi dan nama penyairnya. Saya mendengarkan baik-baik. Lantas, dalam hati saya berkata, baris-baris puisinya pernah saya tuliskan juga. Tapi, saya tidak mengklaim, bahwa itu karya saya. Sering juga saya mendengar di diskusi-diskusi kecil, "Dia njiplak ide saya!" Atau, "Itu ide saya!"
Pernah saat di Bojonegro, saya menonton FTV di RCTI. Judulnya "Baduy Mencari Cinta" (Star Vision). Mirip sekali dengan sinetron serial saya "Si Aduy:Anak Kampung Jadi Sarjana". Tapi, saya tidek berani mengatakan, bahwa kreatornya menjiplak karya saya. Hanya saja yang saya lakukan, mencari tahu siapa penulis skenarionya. Sampai hari ini saya belum tahu. Andai tahu, tinggal saya periksa saja KTP-nya, lokasi rumahnya, sirkulasinya. Kalau si penulis rajin ke Serang atau bisa menangkap siaran Banten TV, patut saya tanyakan proses kreatifnya.
Saya pikir "Jadilah jalan setapak menuju mata air" (satu baris di puisi 'Kerendahan Hati') sudah milik publik. Lamun sy ka Baduy keur SMA (th 1980-an), jalan kaki di jalan setapak, otak mikir, hati merasakannya. Iqra, Iqra... Saat di Jakarta (1995) kata Sunardian Wirodono, "Dalam 1 detik, muncul 70 ide secara bersamaan." Jadi, ini alam silahkan diteliti oleh hati dan pikiran ...orang2 yg hendak mengabdikan diri jadi peracik kata... Sering saya ngomong ti zaman SMA eta (1982), “Kita (pemuda) harus jadi pelopor. Kita harus menerabas alang-alang”
Malah saya ingat, pernah menulis di buku harian, “Jadilah alangalang, karena jika dikumpulkan akan jdi weulit (atap rumbia) yg bisa melindungi kita dari terik matahari”. Tapi, saya tidak pernah menyusunnya jadi baris-baris puisi. Sy lahir dari puisi.Saya anak sastra. Jadi, bagi orang2 yang senang membaca, pasti akan banyak membuat quote-quote bagi dirinya sendiri. Sering setiap sy menghadiri seminar atau diskusi dan mendengar nara sumber berbicara. Lantas dalam hati saya bicara, “Itu kalimat pernah juga saya ucapkan.” Tapi, saya tidak pdernah mengaku “Itu punyaku. Menarik. “Ada arus yang searah di antara kita,” kata Syuhendri Datuk Siri Marajo, seniman Padang yang saat saya ngetik ini sedang duduk di kamarku, Hotl Sriwijaya, Veteran, Padang.
Setiap saya ngasih pelatihan, saya sering menghimbau "Kalau kamu menulis sesuatu, jadikanlah tulisanmu itu seperti jalan setapak menuju mata air. Memberi pencerahan." Saya mengutip ini dari Emak. Ini nasehat Emakku. Apa Emakku pembaca Malloch, ya...? Ceuk Emak teh, "Yeuuh, lamun maneh jadi penulis, tulisan maneh kudu mawa pencerahan. Siga eta tah, jalan setapak di hutan. Emak pernah ngutip "nasehat" ti tatar Sunda: Jadi jelma eta kudu nuntun. Kudu ngabaturan kanu sien, ulah nyengserikeun batur nu keur kana musibah, kudu mawa jelma nu kahausan ka mata air... (terjemahan bebasnya: Kata Emak, “Kalau kamu jadi penulis, tulisanmu harus membawa pencerahan. Seperti itu tuh, jalan setapak di hutan. Harus menemani yang takut, jangan mentertawakan teman yang sedang kena musibah, harus membawa teman yang kehausan ke mata air).
Kumaha, tah? Periben? Kan, saya disuruh iqra, iqra... jadi, semua manusia di bumi ini iqra secar bersamaan, setiap detik.
Nah, saudara-saudara, hati-hati dengan baris puisimu, jangan-jangan kamu menjiplak dari Allah SWT, dari Tuhan, karena kata adalah milik semesta. Apa sih yang baru di bawah matahari? (Lupa saya yang ngomong pertama).
Hidup puisi!
Tetap semangat
Gol A Gong
2 April 2011 (jauh dari rumah)
Kamar no. 17, pukul 06.00
Hotel sriwijaya, Vetaran, Padang
(niru Iwan Simatupang, menulis dari hotel ke hotel)
Komentar