Langsung ke konten utama

KETIKA INDONESIA MEMASUKI ABAD BARU*)


MESIN cetak masuk ke Hindia Belanda untuk pertama kali pada abad ke-17 dibawa VOC. Dan penerbitan pers yang pertama adalah Bataviasche Nouvelles yang terbit pada Agustus 1744, di masa Gubernur Jenderal van Imhoff.[1] Sejak itu, di tanah Hindia Belanda telah terbit sejumlah penerbitan pers yang dikelola orang Belanda.[2] Tentang isi penerbitan Belanda itu, seorang pengamat, melukiskan,

"..pada mulanya pers terbit sebagai bagian usaha orang Belanda dan kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan industri minyak. Isinya belumlah mencerminkan persoalan-persoalan politik masa itu, karena memang sejak semula pemerintah Hindia Belanda mengatur berita-berita yang tidak berbahaya bagi pemerintah sendiri. Pers Belanda sendiri sejak semula merupakan 'pers resmi', karena isinya yang harus disetujui pemerintah. Baru kemudian ada penerbitan pers yang dapat digolongkan dalam kelompok 'pers tidak resmi'. "[3]

Pada akhir abad ke-19 itu pula, mulai tampak adanya penerbitan pers yang bercorak dan berdasar suatu program politik. Karangan-karangan yang disajikan, bersikap kritis terhadap politik kolonial Belanda di Hindia Belanda. Salah satu majalah yang berpolitik itu adalah, Bondsblad, yang terbit sejak 1897. Sebagai pembawa suara Indische Bond, perkumpulan kaum Indo-Belanda, majalah itu dikenal memperjuangkan Hindia Belanda sebagai tanah airnya, dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik bagi mereka.[4]

Pada awal abad 20, penerbitan pers yang dilakukan orang Tionghoa mulai muncul, ketika terbit Li Po, di Sukabumi, pada tanggal 12 Januari 1901. Penerbitan itu pun diikuti oleh sejumlah penerbitan pers sejenis, seperti Kabar Perniagaan,Siang Po, Sin Po dan Iain-lain.[5]

Serentak dengan itu, tradisi penerbitan pers di Indonesia yang dikemudikan oleh kaum bumiputra juga dimulai.[6] Antara lain, pada tahun 1855, di Surakarta, terbit Bromomartani, yang menggunakan bahasa Jawa.[7] Dan pada tahun 1860 di Semarang terbit Slompret Melajoe menggunakan bahasa Melayu.[8]

Tentang ciri-ciri penerbitan pers yang dikelola kaum bumiputra pada masa pergantian abad itu, Abdurrachman Surjomihardjo, sejarawan, menulis,

"Awal sejarah pers di Indonesia mempunyai ciri-ciri yang khusus, berhubung dengan keadaan masyarakat, kebudayaan dan politik. Sejak pertumbuhannya pers di Indonesia mencerminkan struktur masyarakat majemuk, dengan adanya golongan poenduduk yang terpisah satu sama lain: golongan penduduk Belanda, Tionghoa, Arab dan India. Penduduk Indonesia sendiri pada zaman kolonial berada dalam batas-batas hidup kesukuan. Dengan itu maka bahasa yang dipakai pun berbeda dan pers dipakai sebagai media pemberitaan dan pendapat yang berbeda pula, dan tidak jarang merupakan suara pendukung berbagai ideologi. "[9]

Namun penerbitan pers itu umumnya kalah secara material dibanding dengan penerbitan pers milik Belanda dan Tionghoa. Pada umumnya, tiras penerbitan pribumi sedikit. Dan suratkabar-suratkabar itu tak mampu berlangganan kantor berita Belanda Aneta. Sebagian besar malah mengutip berita lama dari suratkabar Eropa.[10]

Edward C Smith mencoba menjelaskan penyebabnya, "Perkembangan pers Indonesia terbelakang oleh saingan pers Belanda dan Cina, karena kurangnya tenaga kerja yang cakap, karena kurangnya uang, karena sedikitnya penduduk pribumi yang bisa baca-tulisdan karena tekanan di bawah pemerintah jajahan Belanda."[11] Namun menurut Smith, kekuatan penerbitan pers Indonesia pada masa itu adalah karena didorong oleh perasaan nasionalime Indonesia yang muncul pada waktu itu.[12]

Tribuana Said juga mengakui, bahwa meski dari segi material, kalah disbanding pers Belanda dan Cina, namun pers pribumi, unggul dalam segi ideal. Katanya, "Wartawan pergerakan Indonesia yang berperan sejak awal kebangkitan nasional memenuhi dua syarat pokok. Pertama, memperjuangkan cita rasa kebangsaan dengan motivasi dasar menegakkan kemerdekaan guna mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera. Dan kedua, mengusahakan pengadaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pers dalam kerangka perjuangan kebangsaan tersebut. "[13]

Majalah Sebagai Corong Organisasi

Memasuki abad XX, politik etis yang sebelumnya banyak diperdebatkan di akhir abad sebelumnya, mulai menemukan bentuknya. Menjelang permulaan abad baru itu di Jawa saja sudah berdiri sejumlah sekolah di kota-kota kabupaten. Ciri khas sekolah-sekolah itu—tidak seperti sebelumnya yang hanya terbuka bagi kalangan keluarga pamong praja—juga terbuka bagi rakyat umum. Tamatannya bisa melanjutkan ke Sekolah Pamong Praja (Hoofden School), Sekolah Guru dan bahkan ke Sekolah Dokter Jawa, asal terlebih dulu bersekolah rendah Belanda dan datang dari kalangan priyayi.[14]

Mereka yang paling banyak mencari keuntungan dari politik etis ini tentu saja golongan priyayi rendahan. Bila sebelumnya golongan ini terhadang untuk mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi karena faktor keturunan, maka kini mereka memperoleh kesempatan untuk mengatasi kedudukan sosial orangtua mereka, asal saja mereka telah mendapat pendidikan barat yang cukup.[15]

Dengan demikian untuk pertamakalinya terjadi di negeri ini, muncul sekelompok kecil cendekiawan muda yang memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yang akan datang.[16]

Kemunculan elite baru ini diduga juga banyak mendapat inspirasi dari perkembangan gerakan nasionalis di beberapa negara Asia pada waktu itu: yang pada hakekatnya mengisyaratkan sebuah zaman baru dengan tekanan yang diarahkan terhadap dominasi Eropa.[17]

Tanda-tanda pertama dari kepekaan elite baru itu terhadap perubahan akan datangnya zaman baru itu, menurut Abdurrachman Surjomihardjo, dapat dilihat dengan lahirnya organisasi bercorak politik yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1912) dan Indische Partij (1912).[18] Dan lahirnya organisasi yang didorong oleh gagasan kemerdekaan itu, ternyata menimbulkan kesadaran baru di kalangan para pemimpinnya akan kebutuhan untuk menyebarkan suara mereka secara lebih luas. Dan pers dianggap sebagai kebutuhan untuk menampung maksud tersebut.[19]

Saat itu penduduk di Hindia Belanda berjumlah sekitar 50 juta kepala. Di antaranya 35.017.204 jiwa berdiam di Pulau Jawa dan Madura, sementara Sumatera dihuni 5.800.000 sedang sisanya tersebar di kepulauan lain.[20] Dengan kondisi demografi seperti itu, wajar jika organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan itu, membutuhkan media massa sebagai corong untuk menyuarakan program-program organisasi. Dengan maksud itu, pada tahun 1904, Boedi Oetomo menerbitkan majalah Retno Doemilah dalam bahasa Melayu-Jawa dan Soeara Goeroe.

Tiga tahun kemudian, di Bandung, pada tahun 1907, terbit majalah MedanPrijaji, yang dipimpin oleh RM Tirtoadisoerjo [21] dan majalah Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Namun sebelumnya, menurut H. Soebagio DM, ia telah menerbitkan majalah bernama Soenda Berita.[22]

Medan Prijaji menerangkan tujuannya:

"...ja'ni swara bagai sekalijan RadjaZ, Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegeri, Lid2 Gemeente dan Swestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprent lainnja." Sedang Soeloeh Keadilan menyatakan diri sebagai, "boelanan tentang hoekoem dan pengadilan dan hoekoem sjara' oentoek Djaksal, Lid Landraad, Hakim Raad Agama, Boepati & Raad District, Prijaji, Saudagar2."

Pada akhir tahun 1910, Douwes Dekker[23] menerbitkan majalah dwimingguan Het Tijdschrift.

Di dalam majalah itu, secara gamblang, Dekker mengutarakan gagasannya yang bisa digolongkan sangat radikal. la, antara lain, berpendapat, hanya melalui kesatuan aksi melawan koloniallah akan dapat mengubah sistem yang telah ada. Memimpin negara akan dapat bertahan lama bila didasarkan keadilan. Antitesis yang pokok di dalam suatu masyarakat kolonial ialah adanya, "yang menjajah" dan "si terjajah", adanya kelompok "yang berkuasa" dan "yang dirampas kekuasaannya." la juga sekaligus membentangkan angan- angannya mengenai berdirinya sebuah partai politik di daerah jajahan yang diarahkan untuk tercapainya kemerdekaan.[24]

Pada tahun 1913, giliran Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan majalah De Indier dan RM Soewardi Soerjaningrat menerbitkan majalah Hindia Poetra. Kedua majalah ini, menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.[25]

Pada tahun-tahun itu juga, penerbitan majalah wanita[26] mulai marak seiring dengan munculnya elit di kalangan wanita bumi putera yang ditunjukkan dengan berdirinya sejumlah organisasi politik.[27] Hanya berbeda dengan kaum pria yang bersuara lebih radikal, melalui majalah-majalah itu kaum wanita Indonesia berjuang secara agak lebih damai.[28] Ini karena isi majalah-majalah mereka, pada umumnya 'hanya' mencerminkan keadaan pada waktu itu. Misalnya opini-opini mengenai monogami, poligami, perkawinan di bawah umur, perkawinan campuran dan lain sebagainya.

Bersamaan dengan maraknya gerakan kebangsaan itu, penerbitan pers Islam juga tumbuh dengan dengan subur.

Deliar Noer mengakui, selama babak permulaan gerakan kebangsaan perkataan Islam bahkan sering diartikan sama dengan nasionalisme dan perkataan Indonesia, digunakan untuk sebutan bagi Muslim.[29]

Hal ini juga disadari oleh Snouck Hurgronye, seorang penganjur Politik Etis, yang berpendapat bahwa perlawanan-perlawanan bangsa Indonesia dalam menentang Belanda, terutama yang distimulir oleh Islam, hanya mungkin diselesaikan secara berhasil bila mereka—terutama kaum elite, bangsawan dan priyayi,—dapat ditarik ke dalam orbit kebudayaan dan sistem nilai Barat. Dengan itu, diharapkan mereka lupa terhadap akar budaya sebelumnya, yang pada akhirnya menciptakan hubungan mesra antara Negeri Belanda dan jajahannya. Dalam anggapan Hurgronye, jika hal ini berjalan lancar, maka kolonialisme bisa berlangsung terus secara aman, karena gangguan-gangguan fanatik dari masyarakat sudah bisa dijinakkan.[30]

Untuk itu, Hurgronye ingin melancarkan apa yang disebutnya. sebagai Politik Islam Belanda. Dengan asumsi, Islam sudah sulit diharapkan untuk mampu bangkit kembali. Menurutnya, kemajuan zaman sulit diharapkan dari Islam.[31]

Namun sebagaimana kaum penganjur politik etis keliru di dalam pemberian pendikan di kalangan kaum bumi putra, sekali ini pun mereka telah meleset membuat perhitungan. Gerakan pembaharu (reformis) Islam di Indonesia justru tumbuh subur pada awal abad ini.

Pada awal abad itu pula, di tanah air telah terbit sebuah organisasi Islam. Dan sejak itu pula penerbitan majalah yang bernafaskan Islam, terbit dengan suburnya.[32]

Menurut daftar yang dibuat oleh B. Schrieke, seorang penasehat pemerintah urusan bumiputra, sampai tahun 1920, telah terbit sebanyak 107 suratkabar dan majalah yang bisa digolongkan sebagai penerbitan pers nasional, liberal, radikal dan komunistis, sementara ada juga yang bercorak netral, politik, dan perdagangan. Nama-namanya pun menarik perhatian, banyak yang memakai kata "Sinar", "Jong", "Kebangoenan" dan "Baroe".

Dari jumlah itu, 16 terbit di Weltevreden-Batavia, 10 terbit di Semarang dan Padang, 9 di Yogyakarta, 7 di Solo, 5 masing-masing di Semarang, Surabaya dan Medan.[33].***


[1] Suratkabar ini berhenti terbit Juni 1746.

[2] Tentang penerbitan pers pada masa itu baca: Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta, 1988 atau H. Soebagio IN, Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977.

[3] Abdurrachman Surjomihardjo (Redaktur), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Deppen RI, Leknas, LIPI, Jakarta, 1980.

[4] Ibid

[5] Tentang ini baca tulisan Leo Suryadinata, "Pers Melayu Tionghoa", Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Deppen RI, Leknas, LIPI, Jakarta, 1980.

[6] Tribuana Said mengatakan bahwa penerbitan pers di akhir abad ke-19 dan awal abad berikutnya merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya. Baca: Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Masagung, Jakarta, 1988.

[7] Majalah ini hanya bertahan selama tiga tahun

[8] Tentang nama-nama penerbitan lain pada masa itu, baca: Abdurrachman Surjomihardjo (Redaktur), op.cit., dan H. Soebagio IN, op.cit.

[9] Abdurrachman Surjomihardjo (Redaktur), ibid.

[10] Edward C. Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta, 1983.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Tribuana Said, op.cit.

[14] Sutedjo Bradjanegara, Sejarah Pendidikan Indonesia, nama penerbit tak jelas, Jakarta, 1956.

[15] Abdurrachman Suryomihardjo, Pembinaan Bangsa dan Naskah Historiografi, Jakarta.

[16] George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1952.

[17] Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, Grafiti Pers, 1983.

[18] Lahirnya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, dianggap sebagai awal kebangkitan nasional, yang merangsang ide-ide pergerakan modern untuk mencapai kemerdekaan. Baca: Abdurrachman Suryomihardjo,

op.cit.

[19] Edward C. Smith, op.cit.

[20] Data ini dikutip dari Sudarjo Tjokrosisworo, Perintis Persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional, tanggal dan tahun penerbitan tidak jelas.

[21] Majalah ini sejak tahun 1910, berubah menjadi harian. Medan Prijaji, dianggap perintis pers nasional pertama.

[22] H. Soebagio IN, Sejarah Pers Indonesia, Dewan Pers, 1977.

[23] Douwes Dekker, sebelumnya menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad, koran berbahasa Belanda yang terbit pada tahun 1907 dan Locomotief, koran berbahasa Belanda yang terbit di Semarang sejak 1851.

[24] Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit.

[25] Mengenai penggunaan bahasa Belanda pada penerbitan masa itu, hanyalah karena majalah itu ditujukan kepada golongan masyarakat yang berpendidikan.

[26] Baca bagian lain dari buku ini yang membahas penerbitan majalah wanita.

[27] Pada tahun 1912, di Yogyakarta, berdiri organisasi wanita bersifat sosial bernama Aisyah yang didirikan oleh Ny. Ahmad Dahlan. Sejak itu, dalam dua dekade berikutnya, di Jawa telah tumbuh subur organisasi-organisasi sejenis, antara lain Putri Merdeka (1913), Usaha Isteri (1916), Kemadjoean Isteri (1926) dan Iain-lain.

[28] Hidayat Mukmin, Beberapa Aspek Perjuangan Wanita di Indonesia.

[29] Victor Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam, Sinar Harapan, Jakarta, 1982.

[30] Alfian, Cendekiawan dan Ulama Dalam, Masyarakat Aceh: Pengamatan Permulaan, Prisma, No. 11, November 1976.

[31] Victor Tanja, op.cit.

[32] Baca bagian buku ini yang membahas penerbitan majalah keagamaan.

[33] Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Deppen RI, Leknas, LIPI, Jakarta, 1980.

*) Dikutip dari naskah buku SEJARAH MAJALAH DI INDONESIA ABAD 20, karangan Kurniawan Junaedhie. Segera terbit tahun ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI