Langsung ke konten utama

Derabat


Cerpen Budi Darma

Di desa saya ada seorang pemburu bernama Matropik. Sebenarnya dia bukan penduduk asli. Dia pendatang entah dari mana, dan dia masuk karena di tempat-tempat lain dia sudah tidak mungkin berburu, dan semua sudah mati di tangan dia

Sekarang, di desa saya, dia sudah mulai gelisah. Segala macam binatang sudah hampir punah. Dan kami, penduduk asli, dalam hati mengharap ia agar dia segera enyah.

Memang, sebenarnya , semenjak dia datang, kami sudah membenci dia. Kami membenci dia bukan karena kami adalah orang-orang yang tidak baik, tapi karena dia selalu menciptakan suasana yang tidak enak. Perilaku dia sangat kejam Dalam berburu, dia tidak sekadar berusaha membunuh, namun menyiksa sebelum akhirnya membunuh. Maka, begitu banyak binatang telah menderita berkepanjangan, sebelum akirnya dia habiskan dengan kejam. Cara dia makan juga benar-benar rakus.

Bukan hanya itu. Dia juga suka mabuk-mabukan. Apabila dia sudah mabuk, maka dia menciptakan suasana yang benar-benar meresahkan dan memalukan. Dia sering meneriakkan kata-kata kotor, cabul dan menjijikkan. Dalam keadaan mabuk dia suka telanjang, lari kesana kemari, mengejar-ngejar apa saja. Terutama perempuan

Bukan hanya itu. Dengan sadar dan terang-terangan, dia berusaha keras untuk merusak anak-anak muda. Dia ajak mereka untuk ikut-ikutan minum, dia didik mereka untuk bertutur kata kotor, dan dia suntikkan kepada mereka jiwa tidak puas terhadap keadaan, dan juga, kalau perlu berkelahi dengan cara-cara curang

Karena didikan dia, maka banyak anak-anak muda mulai bertingkah-laku kurang aja. Mereka cenderung tidak menghormat siapa pun, tentu saja kecuali terhadap dia (Pemburu Matropik), suka melawan, dan bernafsu untuk selalu menang. Dan dengan uang pemberian dia, mereka ikut-ikutan mabuk. Sementara itu saya tahu benar sebelum dia datang, penduduk sama sekali tidak pernah mengenal minuman haram

Karena dia tidak selamanya memberi uang, mereka akhirnya cenderung untuk mencuri. Mula-mula mereka mencuri di rumah sendiri, lalu meloncat ke rumah-rumah tetangga. Dan akhirnya tentu saja akhirnya mereka menggerayangi desa-desa lain.

Memang selama ini, orang desa-desa lain tidak dapat membuktikan bahwa anal-anak muda dari desa saya mencuri, tetapi mereka dapat merasa siapa sebenarnya pencuri-pencuri yang menggerogoti harta mereka. Namun, mereka tidak dapat membuktikan tidak berarti tidak dapat membenci. Terhadap kebencian mereka, dengan sendirinya, kami hanya sanggup menyalahkan diri sendiri

sementara itu, hukum alam justru sering bertindak culas. Orang-orang jahat, oleh alam, justru diberi wibawa besar. Karena itulah, perang sering berkecamuk, orang-orang jujur sering menjadi korban, dan orang-orang yang semestinya digilas habis oleh alam justru dipuja-puja. Maka,barang siapa berani melawan pemburu Matropik, pasti kena sikat. Bahkan setelah dia berhasil mengganggu istri sekian banyak penduduk, dan memperkosa beberapa gadis, kami tetap tidak mempunyai pilihan lain kecuali diam

hukum alam, sementara itu, terus berlanjut. Makin diam dan makin menyerah kami., makin girang pemburu Matropik. Tindakan-tindakan dia semakin sewenang-wenang, dan kekejaman dia semakin menjadi-jadi. Dan makin dipujalah dia oleh anak-anak muda.

Sementara itu, saya setiap hari saya tetap melakukan pekerjaan saya. Setiap malam saya berangkat, membawa pedati. Memang saya adalah anak turun penarik pedati, satu-satunya di desa saya. Dan karena nenek moyang saya penarik pedati hukum turun-temurun juga menjadikan saya penarik pedati. Seluk beluk pedati, dengan demikian saya benar-benar tahu. Bagaimana membongkar dan memasang pedati, merawat kuda, dan menghadapi berbagai marabahaya di jalan, hukum turun-temurun telah menjadikan saya penarik pedati yang benar-benar andal.

Demikianlah, setiap malam saya berangkat. Dalam kegelapan, saya harus bergerak melalui jalan-jalan buruk untuk menuju ke pelabuhan ikan terdekat. Dan pelabuhan itu tidak dekat, tapi benar-benar jauh.

Sebelum fajar datang, saya sudah tiba di pasar ikan. Beberapa orang menghampiri saya, sambil menggotong keranjang, keranjang berisi ikan segar. Setelah semua keranjang tertata rapi dalam pedati, dan setelah semua perhitungan dan pembayaran beres, saya meloncat ke pedati, siap menuju kota terdekat. Dan kota terdekat tersebut sebetulnya juga tidak dekat. Begitu pedati berjalan pasti saya mengambil kendi terbuat dari besei peninggalan nenek-moyang, lalu minum. Kalau sudah mencapai jalkan sepi saya turun sebentar untuk membuka satu keranjang ikan segar, agar burung-burung sahabat saya nanti dapat mengambil beberapa ikan segar dengan mudah.

Demikian inilah pekerjaan saya sehari-hari, selama beberapa tahun terakir. Sebelumnya memang saya pernah bekerja ini dan itu, juga sebagai pengangkut barang dengan pedati. Semua pekerjaan saya lakukan dengan sukacita. Dan saya meninggalkan pekerjaan ini itu untuk kemudian menjadi pengangkut ikan segar tidak lain karena pilian saya sendiri, tanpa keluhan terhadap pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya.

Selama bekerja, bekerja apa pun, segala sesuatu selalu saya kerjakan sendiri. Saya memang tidak mempunyai apa-apa selain pedati dan segala macam perlengkapannya termasuk kuda. Dan saya memang tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibu saya sudah meninggal, demikian juga saudara-saudara saya. Entah mengapa, semua meninggal, semua saudara saya meninggal ketika mereka masih muda. Mungkin, karena tidak ada satu pun saudara perempuan saya yang berminat untuk menjadi istri penarik pedati, dan karena tidak ada satu pun saudara laki-laki saya yang berminat untuk menjadi penarik pedati.

Demikian inilah, sekali lagi, pekerjaan saya sehari-hari. Setelah pemburu Matropik datang, pekerjaan saya juga sama. Memang secara tidak langsung saya mendengar, dan kadang-kadang juga menyaksikan, tindakan-tindakan kurang ajar pemburu Matropik. Namun selama ini, saya tidak pernah terganggu secara langsung.

Yang mengganggu saya selama beberapa bulan terakhir ini, justru seekor burung. Bukan burung-burung yang telah sekian lama menjadi sahabat saya, tetapi seekor burung jahanam. Entah burung apa dia, saya tidak tahu. Dia sangat besar, sangat hitam, dan sangat cekatan. Matanya menyorotkan sinar jahat, nafsu mencuri, dan dorongan untuk merusak serta mencelakakan siapapun, karena siapa pun baginya adalah benar- benar musuh. Sebelum bertemu burung ini, saya tidak pernah membayangkan bahwa di dunia ada burung sehitam ini, sekuat ini, selincah ini dan sekeji ini.

Entah mengapa, begitu saya melihat burung ini untuk pertama kalinya, saya berteriak, ”Derabat!” Apa makna teriakan ini saya tidak tahu. Namun, burung ini kemudian melongok ke arah saya. Lalu meluncur dengan cepat, dan berusaha menyerang wajah saya. Untung, saya sudah siap dengan kelincahan tubuh untuk berkelit, dan dengan cemetiuntuk menghajar, kalau perlu.

Sebagai penarik pedati, tentu saja saya mengenal berbagai macam burung. Sudah begitu banyak tempat yang saya kunjungi, dan sudah begitu benyak jalan yang saya lalui. Di berbagai tempat dan di berbagai jalan, entah pagi, entah siang, atau pun malam, begitu banyak burung yang pernah saya jumpai. Perilaku mereka pun sudah benar-benar saya kenal. Bahkan tanpa melihat, dan hanya dengan mendengar kepak sayap mereka dari jauh, saya sudah tahu siapa mereka. Bau tubuh mereka pun, sudah saya kenal dengan baik. Hukum turun-menurun penarik pedati memang telah melengkapi saya dengan penciuman yang tajam pula.

Sementara itu, sebagai pengangkut ikan segar, apalagi sudah bertahun-tahun, saya hafal benar sekian banyak macam burung pemakan ikan segar. Bagaimana cara mereka berkelebat untuk kemudian menukik dan mengambil ikan segar dari pedati, saya tahu benar. Dan memang, saya bersahabat dengan mereka. Silahkan mereka mengambil ikan segar saya sebab saya tahu benar mereka sama sekali tidak serakah. Dari gerak-gerik mereka saya juga tahu bahwa mereka berusaha untuk mengucapkan terima kasih. Dan mereka juga memberi tanda-tanda bahwa mereka siap menolong saya, manakala saya menghadapi bahaya.

Berhadapan dengan Derabat atau semacam Derabat, sekali lagi, saya benar-benar belum pernah. Derabat selalu menyerobot ikan sebanyak-banyaknya. Andaikata semua ikan itu dia makan, atau katidakanlah, dibawa terbang jauh untuk diberikan kepada para kerabat, kalau dia punya, saya tidak berkeberatan. Namun ikan-ikan itu dia buang-buang di berbagai tempat di jalan yang saya lalui. Dan dia sanggup memilih ikan-ikan yang bagus dan besar

Jadi, mula-mula dia berkelebat gagah, kemudian menukik tajam. Dengan kecepatan yang sulit dibayangkan, dia ambil ikan yang paling bagus. Lalu, dia berkelebat menjauh, sekejap kemudian dia datang lagi, mencuri lagi. Demikianlah seterusnya, sampai berkali-kali. Lalu, dengan sikap sangat mengejek dia meninggalkan saya, untuk mendatangi saya lagi keeseokan harinya.

Sebenarnya hukum turun-temurun penarik pedati sudah mengajarkan saya untuk mempertahankan diri dan untuk mempertahankan harta benda, khususnya dalam perjalanan. Saya tahu bagaimana saya harus mempertahankan diri, dan bagaimana saya harus menggempur musuh, baik dengan tangan kosong maupun dengan cemeti, belati, gada, dan apa pun juga yang dapat saya pergunakan. Semua perlengkapan sudah saya siapkan dengan baik.

Namun, saya percaya, kekerasan adalah jalan terakhir. Saya yakin bahwa dengan kasih sayang, saya harus mampu membuat siapa pun, termasuk binatang-binatang kurang ajar, untuk menjadi sabat. Dan selama ini, hanya satu kali saya gagal. Sudah berpuluh-puluh kali saya dirampok dalam perjalanan. Semua perampok, kecuali satu, dapat saya buat yakin bahwa merampok sama sekali tidak baik. Saya ajak mereka bicara, saya jamu mereka dengan bekal makanan saya, dan saya kasih mereka uang dengan tulus. Akhirnya, mereka tidak pernah mengganggu saya. Beberapa di antara mereka, bahkan, pernah menolong saya pada saat saya menemui kesulitan.

Sekali lagi, hanya satu kali saya gagal, yaitu ketika saya berhadapan dengan perampok juling. Sudah berkali-kali saya berusaha untuk mengajak dia berbicara, tapi dia tetap ngotot melancarkan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Setelah benar-benar saya yakin bahwa dia memang suka menyakiti, memperkosa, dan membunuh, saya tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengirim dia ke neraka.

Dengan penuh penyesalan karena tidak mempunyai pilihan lain, saya lempar bangkai dia di tempat yang tidak mungkin dilacak oleh siapa pun kecuali oleh anak-turun penarik pedati yang benar-benar hormat kepada nenek moyang mereka, bangga akan pekerjaan mereka sebagai penarik pedati, cerdas, cerdik, terlatih, dan berpengalaman luas.

Berhadapan dengan Derabat, saya juga bersikap sabar. Akan saya anggap dia sebagai manusia jahil, dan akan saya dekati dia dengan jalan baik-baik. Tidak terlintas di pikiran saya bahwa saya akan menyakiti dia. Bahkan, setelah dia menyerang wajah saya, dan jelas mengincar mata saya untuk dicabut oleh cakar dia, saya masih terus bersabar. Saya memang berkelit dan menghantamkan cemeti bukan untuk melukai dia, tapi untuk memberi tahu agar dia jangan berbuat kurang ajar lagi.

Namun, pada suatu hari dia mulai menghilang. Selama beberapa hari dia tidak pernah tampak. Kemudian ketika muncul kembali, dia hanya berkelayapan di atas sana dengan sikap yang sangat manis. Karena dia sangat besar, tubuh dia juga melempar bayang-bayang yang amat besar dibanding dengan bayang-bayang burung-burung lain. Benar-benar menakjubkan.

Tapi karena dia bersikap manis, dengan sikap manis pula saya berteriak, ”Derabat, turunlah! Mengapa kamu tidak mengambil ikan? Silahkan!”

Dengan sikap sopan dia melesat, kemudian menghilang.

Selama beberapa hari, dia tidak tampak lagi.

Namun beberapa hari kemudian, saya merasa ada sebuah suasana yang benar-benar tidak enak. Tidak seperti biasa, langit sepi tanpa burung, semua sahabat saya tidak ada.

Barulah beberapa saat kemudian, ketika pedati saya sedang melesat dengan kencang, saya melihat pemandangan yang benar-benar mengharukan. Di tengah jalan, tampak bangkai seekor burung. Bahkan dari jauh pun saya sudah tahu bahwa bangkai itu tidak lain adalah burung sahabat saya. Setelah menguburkan bangkai sahabat saya, saya segera melanjutkan perjalanan. Kuda saya pacu lebih cepat, supaya tidak terlambat.

Ternyata, saya menemukan bangkai lain. Demikianlah, pada jarak-jarak tertentu, saya menemukan bangkai-bangkai burung. Dan semua itu adalah bangkai-bangkai sahabat saya.

Dari semua bangkai itu, saya tahu siapa yang telah berbuat begitu keji. Tidak lain dan tidak bukan, dialah derabat. Dia bunuh sahabat saya satu per satu, kemudian dia letakkan bangkai-bangkai sahabat saya di tempat-tempat tertentu yang akan saya lalui.

Setelah yakin tidak akan menemukan bangkai lagi, saya pacu kuda keras-keras. Saya tidak boleh terlambat menyerahkan ikan segar kepada saudagar ikan langganan saya. Dan setelah menyerahkan ikan dan meyelesaikan semua perhitungan, saya putuskan untuk tidak pulang.

Malam itu, setelah merawat kuda dan menyembunyikan pedati, saya menginap di sebuah hutan. Untuk menjaga diri ter hadapberbagai bahaya, saya tidur di sebuah pohon tinggi. Dan agar kuda saya tidak terganggu oleh apa pun, kuda itu itu saya perintah untuk tidur tidak jauh dari pohon. Kalau ada apa-apa, saya bisa segera meloncat ke bawah. Cemeti dan belati sudah saya siapkan dengan baik. Dan di tempat tersembunyi dalam pedati, sudah saya siapkan sebuah gada ampuh peninggalan nenek moyang.

Saya sempat bermimpi. Dalam mimpi saya melihat, bahwa Derabat tidak lain adalah Matropik, dan Matropik tidak lain adalah Derabat. Kalau saya berhasil melumpuhkan salah satu di antara mereka, berarti saya dapat melumpuhkan kedua mereka sekaligus.

Demikianlah, selama beberapa malam saya tidur di hutan-hutanyang berbeda. Saya berpindah-pindah dengan alasan yang saya sendiri tidak bisa tahu. Dan saya tidak pulang hanya hanya karena saya belum tertarik untuk pulang. Tapi kuda dan pedati saya tetap saya rawat dengan baik. Dan pekerjaan saya sebagai pengangkut ikan segar juga berjalan biasa-biasa saja.

Setelah beberapa hari tidak pulang, pada suatu malam saya merasa tidak enak. Tapi saya berjalan terus. Dan memang, ternyata tidak ada apa-apa.

Tapi, mungkin saya keliru. Mungkin pemburu Matropik sedang menciptakan kesengsaraan-kesengsaraan baru di desa saya. Andaikata benar, alangkah terkutuk saya. Seharusnya saya ada di sana, dan menjadikan pemburu Matropik penghuni kubur. Saya sadar bahwa ternyata selama ini saya bersikap diam, kendati kalau perlu seharusnya saya sanggup berhadap-hadapan dengan pemburu Matropik. Andaikata benar-benar terjadi, alangkah menarik.

Maka, saya putuskan untuk kembali, segera setelah pekerjaan saya selesai.

Demikianlah, segera setelah mengambil ikan segar di pelabuhan, seperti biasa saya menuju kota. Seperti biasa, jalan sepi. Namunm, tidak seperti biasa, di langit sama sekali tidak ada burung.

Ternyata, di sebuah ujung jalan ke kota, di sebelah sana tampak ada sebuah sosok berdiri sambil menenteng senapan. Dia menunggu pedati saya mendekat. Dan dia tidak lain adalah pemburu Matropik.

”Ke mana kamu minggat selama beberapa hari ini, penarik pedati anjing?” tanya pemburu Matropik

”Mengapa kamu bertanya, pemburu Matropik?”

”Karena kamu telah berbuat dosa, penarik pedati buduk”

”Apa maksud kamu, pemburu Matropik?”

”Setelah semua burung kamu bunuh, saya tidak mempunyai mangsa untuk saya buru”

”Saya tidak pernah membunuh burung, pemburu Matropik”

”Saya tidak perrrlu penjelasan kamu, penarik pedati anjing”

”Kalau begitu, pemburu Matropik, minggirlah kamu”

”Saya akan minggir, setelah saya puas menembak kepala kamu”

”Untuk apa, pemburu Matropik?”

”Kamu sudah lama ridak pulang, anjing buduk”

”Lalu?”

”Berarti, semua keuntungan kamu sedang kamu simpan dalam pedati”

”Dan kamu menginginkan semua penghasilan saya, pemburu Matropik?”

”Jangan banyak omong, anjing. Saya memerlukan kedua-duanya. Kepala kamu, lalu harta kamu”

”Bodoh benar kamu, pemburu Matropik. Kamu pemburu, tapi kamu tidak tahu. Saya hanya penarik pedati, tapi saya mencium bau sesuatu dan mendengar sesuatu”

bau inilah yang sebenarnya saya cari. Dan suara ini pulalah, yang sebetulnya juga sudah saya tunggu-tunggu. Tanpa mendongak ke sana-sini saya tahu bahwa sebetulnya Derabat sedang melayap di atas sana.

Benar, saya kemudian merndengar Derabat menukik ke bawah, namun pemburu Matropik sama sekali tidak sadar.

Seperti biasa, Derabat memang cerdik. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara kendati saya tetap mendengar suara dia menukik. Dan dia juga mengambil ancang-ancang dari tempat yang tepat sehingga tubuh dia tidak menampakkan bayangan di tanah.

Ketika pemburu Matropik sadar, sudah terlambat. Derabat sudah berkelebat menuju ke arah pemburu Matropik, dengan kecepatan yang benar-benar tinggi. Pemburu Matropik, dengan senririnya, sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat apa pun.

Demikianlah dengan gerak yang sangat jitu, Derabat menghajar wajah pemburu Matropik. Senapan melesat, dan saya ikut melesat. Senapan segera saya tangkap, saya buang pelurunya, kemudian saya hantamkan ke sebuah batu besar. Rusak.

Derabat segera melesat ke atas, tapi dengan kecepatan melebihi kilat dia merangsak, kembali menyerang pemburu Matropik. Tampak pemburu Matropik benar-benar kelabakan. Namun, sama sekali saya tidak mempunyai minat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi. Karena pemburu Matropik tidak lain adalah Derabat, dan Derabat tidak lain adalah pemburu Matropik, mereka pasti akan saling memusnahkan. Biarlah iblis bertempur melawan iblis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI