Langsung ke konten utama

KISAH MAJALAH "KISAH" DAN "LANGIT MAKIN MENDUNG"*)

Majalah Kisah (Koleksi K Atmodjo)
PADA tahun 1967, HB Jassin yang waktu itu sudah menjadi redaktur Horison, kembali menerbitkan Sastra. Dengan demikian di Indonesia, selain Horison saat itu beredar dua majalah sastra sekaligus. Sastra gaya baru ini terbit bulanan dan menamakan diri sebagai "bimbingan pengertian dan apresiasi". HB Jassin menjadi pemimpin redaksinya sedang orang bernama Darsyaf Rachman menjadi pemimpin umumnya. Penerbit majalah itu, PT Mitra Indonesia. Adapun kantor redaksinya berlokasi di Jalan Kramat Sentiong Jakarta.

Seperti galibnya majalah Sastra gaya lama, majalah Sastra gaya baru ini pun setiap terbit menampilkan sejumlah cerita pendek, puisi dan esei. Namun dalam perkembangannya, nasib majalah ini tak terlampau bagus. Pada tahun 1969, Sastra berhenti terbit, menyusul perkara yang menimpa HB Jassin. Pasalnya, dalam edisi Agustus 1968, majalah itu telah memuat cerita pendek berjudul "Langit Makin Mendung" karya Ki Panji Kusmin[1] yang dianggap menghina perasaan umat Islam karena "melukiskan suatu penghinaan terhadap abstraksi dari ketuhanan serta kemuliaan Nabi Muhammad".

Cerita itu mengisahkan ketika situasi Indonesia porak poranda di zaman Nasakom. Diceritakan, Rasullullah gelisah di sorga dan minta izin pada Tuhan untuk turun ke bumi meninjau umat-Nya. Izin diberikan, dan melayanglah turun Rasullullah bersama malaikat Jibril. Mereka melihat keadaan Indonesia yang kacau balau, yakni praktik-praktik kejelekan di zaman pra-Gestapu.

Jusuf Abdulllah Puar, seorang sastrawan misalnya, menuding,

"Cerpen itu tidak diragukan lagi telah menghina Nabi Muhammad SAW, telah melecehkan dan mencemoohkan dengan penuh tendensi, sinisme terhadap junjungan 500 juta kaum Muslimin". [2]

Kaver buku HB Jassin
Akibat dimuatnya cerpen tadi, Kejaksaan Tinggi Medan, Sumatra Utara, melarang peredaran Sastra dan melakukan perintah penyitaan terhadap majalah itu di wilayahnya.[3] Bahkan ada yang mengkait-kaitkan nama Ki Panji Kusmin sebagai kependekan dari "Kibarkan Panji Komunisme Internasional".

Atas pelarangan itu, sejumlah pengarang dan seniman membuat pernyataan protes dan menganggap pelarangan itu sebagai pukulan dan ancaman terhadap kemerdekaan mencipta. Di antara penandatangan itu terdapat Trisno Sumardjo dan Dirjen RTF Umar Kayam. Sejumlah reaksi dari pengarang, yang umumnya membela Jassin, juga dimuat di sejumlah media massa. Bur Rasuanto, misalnya menulis,

"Dan ia bukan mengritik umat Islam, Tuhan atau Nabi Muhammad, ia mengritik orang-orang yang katanya penganut-penganut Islam, dan ia mengritik Indonesia, mengritik berbagai kejadian blunder di tanah air ini, ia mengritik sebagaimana juga sem.ua kita mengritik berbagai hal yang kita rasakan tidak wajar, ia mengritik sebagaimana juga koran-koran dan pojok-pojok koran mengeritik, ia bahkari sedang mengeritik keputusan Kejaksaan Tinggi Medan yang telah melarang beredar majalah yang memuat tulisan ini sendiri. Ia tidak menghina...."[4]

HB Jassin mencoba menjelaskan,

"Bagi saya pengarangnya mencoba mengatakan, bagaimana seandainya para Nabi menyaksikan kebobrokan yang ada di sekitar kita. la menggambarkan suatu ide, bukan Tuhan dan bukan nabi sendiri. Kembali pada soal cerita Ki Panji Kusmin saya anggap tuduhan menghina agama Islam tidak bisa dikatakan secara mutlak. Pengertian penghinaan itu relatif sekali. Bagi saya, 'Langit Makin Mendung' tidak menghina agama".[5]

Beberapa hari kemudian, orang bernama Ki Panji Kusmin menulis surat terbuka menyatakan pencabutannya atas karangannya itu sekaligus memohon maaf di Harian Kami.

"Sebenarnya sekali-kali bukan maksud saya untuk menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi SAW, sorga dan Iain-lain, di samping menertawakan kebodohan di masa regime Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam".[6]

Betapa pun usaha Jassin untuk menjelaskan persoalan bahwa cerpen itu tidak menghina agama, tetap sia-sia. Bahkan ada yang menduga –melihat kegigihan H.B. Jassin dalam membela Ki Pandji Kusmin– Ki Pandji Kusmin merupakan nama samaran H.B. Jassin sendiri. [7] Jassin kemudian diseret ke pengadilan serta dijatuhi hukuman percobaan satu tahun.[8]

Pada tahun 1969, Sastra mati untuk kedua kalinya.***

[1] http://kangpanut.wordpress.com/2007/11/20/langit-makin-mendung/

[2] Operasi Minggu , 20 Oktober 1968

[3] Antara, 8 Oktober 1968

[4] Angkatan Bersenjata, 20 Oktober 1968

[5] Harian Kami, 24 Oktober 1968.

[6] Harian Kami , 26 Oktober 1968

[7] Pada tahun 1970, Usamah Redaktur Pelaksana Majalah Ekspres, berhasil mewawancarai pengarang aslinya. Pengarang misterius itu ternyata mengaku bernama asli Soedihartono yang menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional dan selama 6 tahun menjalani wajib dinas di Jakarta.

[8] Untuk mengetahui lebih jauh tentang peristiwa ini baca buku HB Jassin, "Heboh Sastra 1968 dan Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan Kebebasan Mencipta Berhadapan dengan Undang-undang dan Agama."

*) Secuplik dari "Bab: Majalah Sastra dan Kebudayaan: Kemerdekaan Berangan-Angan", dikutip dari naskah buku "SEJARAH MAJALAH DI INDONESI ABAD 20", karya Kurniawan Junaedhie. Segera beredar tahun ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

Togog

Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan. Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togok. Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersia...