Langsung ke konten utama

RIWAYAT TERBITNYA MAJALAH HORISON *)

GAGALNYA Gerakan 30 September PKI yang terkenal dengan julukan G-30-S/ PKI, pada tahun 1965, menghancurkan cita-cita dan ambisi Lekra. Setelah melalui keadaan politik yang tak menentu, dan serangkaian demonstrasi KAMI/ KAPPI, pada tanggal 12 Maret 1966—sehari setelah menerima pelimpahan wewenang dari Presiden Soekarno— Letjen Soeharto membubarkan PKI beserta segala ormas-ormasnya. Dengan Surat Perintah yang dikenal sebagai Super Semar itu, Soeharto juga menyatakan PKI sebagai partai terlarang di seluruh Indonesia. Praktis, sejak itu era kepemimpinan Soekarno berakhir. Dengan demikian lahirlah Orde Baru.

Di tengah menyongsong datangnya zaman yang menjanjikan zaman budaya baru itu, menjadi wajar, jika berbagai gagasan untuk menerbitkan majalah yang mampu mengekspresikan kemerdekaan berpikir dan berbicara itu datang berbaur-baur.[1] Gagasan-gagasan itu datang bersamaan dengan mulai timbulnya aksi-aksi Tritura demonstrasi mahasiswa sekitar tanggal 10 Januari hingga 11 Maret 1966.

Soe Hok Djien, seorang mahasiswa Fakultas Psikologi UI yang juga dikenal 12 sebagai seorang tokoh demonstran, diam-diam pada hari-hari di sekitar itu, tanpa banyak orang tahu, telah menemui Mochtar Lubis di Rumah Tahanan Salemba.

Mochtar adalah bekas Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, yang sedang ditahan Soekarno karena sikap korannya yang oposan. Kepada Mochtar, Hok Djien—kini dikenal dengan nama Arief Budiman—mula-mula bercerita tentang keadaan kesusastraan: antara lain tentang Manikebu yang dilarang pemerintah, sekaligus tentang HB Jassin dan Wiratmo Soekito yang dinon-aktifkan dari kepegawaiannya.

Tanpa disadari, pembicaraan kemudian melenceng pada kemungkinan menerbitkan sebuah majalah sastra yang baik. Majalah sastra terakhir yang pernah terbit adalah Sastra, dengan pengelola HB Jassin. Tapi majalah itu, berhenti terbit setahun sebelumnya akibat gencarnya serangan Lekra. Mochtar ternyata setuju. Bahkan begitu antusiasnya, ia berjanji pada Arief, jika sudah bebas nanti, akan berusaha menghubungi kawan-kawannya untuk mendapatkan dana.[2]

Setelah Mochtar Lubis dibebaskan—pada tanggal 17 Mei—, ia mengajak Arief berkeliling kota menemui beberapa teman pengusahanya. Kemudian setelah berhasil mengumpulkan dana sekadarnya dan memperoleh tumpangan kantor, mereka mulai membentuk sebuah dewan redaksi.[3] Yang menjadi anggota dewan, selain Mochtar dan Arief adalah HB Jassin, DS Moeljanto, Zaini, dan Taufiq Ismail. Majalah itu disepakati bernama Horison. Artinya, kaki langit yang jauh. Majalah ini memang diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran yang saat itu sempat terkotak-kotak.

"Horison mengajak manusia Indonesia untuk selalu menengok ke dan mencari horison baru, dalam arti agar kita dengan sadar menghapuskan pembatasan pemikiran, penelaahan dan kemungkinan-kemungkinan daya kreatif kita di segala bidang penghidupan bangsa".[4]

Horison terbit bulanan. Untuk itu, sebelumnya didirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Indonesia, selaku penerbit majalah sastra ini. Yayasan itu diketuai Mochtar Lubis dengan sekretaris Arief dan berdiri pada tanggal 31 Mei 1966 dengan Akta Notaris W. Silitonga, No. 54.

Dalam rapat Yayasan tanggal 3 Juni di rumah Mochtar di Jalan Bonang 17 dibentuk susunan pengasuh majalah terdiri dari: Mochtar Lubis sebagai Pemimpin Umum/Penanggung Jawab, dengan anggota HB Jassin, Zaini, DS Moeljanto, Taufik Ismail, dan Arief Budiman.[5]

Tentang kisah memperoleh SIT sebagai formalitas penerbitan, Arief bercerita,

"Sebuah kesulitan 'kecil' terjadi ketika meminta SIT untuk majalah yang' dinamai Horison ini. Dalam formulir dari PWI disebutkan bahwa Penanggungjazvab, yakni Mochtar Lubis harus berjanji akan setia kepada Manipol-Usdek, Bung Mochtar langsung menolak. Dia mencoret kata-kata tersebut. Kami, para sastrawan yang sudah begitu rindu akan kehadiran sebuah majalah sastra, berusaha membujuk Bung Mochtar supaya tidak melakukan hal tersebut. Bukankah ini hanya sekadar formalitas. Formulir ini adalah formulir lama yang akan segera diganti. Tapi Bung Mochtar tetap pada pendiriannya. "Kita mau mendirikan sebuah majalah kebudayaan. Karena itu kita harus merintis sebuah kebudayaan baru yang sehat. Tidak enak kalau kita mulai dengan menandatangani sesuatu yang tidak kita setujui", begitu kira-kira kata Bung Mochtar. Kami semua mati kutu menghadapi orang satu yang keras kepala ini".[6]

Arief kemudian ditugaskan untuk membawa formulir itu untuk ditandatangani Ketua PWI Mahbub Djunaidi. Mahbub ternyata mau menandatangani formulir yang sudah dicoret-coret oleh Mochtar.[7] Dengan demikian berarti Horison pun mendapatkan SIT bagi penerbitannya.

Untuk menyelenggarakan roda penerbitan sehari-hari, untuk sementara waktu kantor redaksi menempati rumah Mochtar Lubis, sedang kantor tatausaha bertempat di kantor redaksi Kompas Jalan Pintu Besar Selatan 86-88. Adapun majalah dicetak di Percetakan Angin, Jalan Blora 36, yang juga merupakan kantor redaksi majalah mingguan Pembina itu pun atas kebaikan AH Shahab, pemilik Pembina. Di sana, tutur DS Moeljanto, untuk ruang kerja redaksi disediakan tempat di loteng tingkat atas yang berhawa panas sekali.

Perjuangan belum selesai karena Horison belum punya Surat Izin Pembelian Kertas (SIPKI). Tapi berkat kegesitan Arief, cerita Moeljanto, Horison mendapat utangan kertas dari Direktur PT Pembangunan, Hazil Tanzil, sebanyak 60 rim.

Majalah Horison tahun 1966 (koleksi K Atmodjo)
Pada pertengahan Juli 1966, Horison nomor perdana terbit. Gambar sampulnya hanya selembar kertas koran yang dihiasi reproduksi hitam purih poster Sriwidodo, berdasarkan sajak Taufiq Ismail yang populer masa itu. "Karangan Bunga" yang fotonya dibuat DA Peransi. Pada halaman dalam, Mochtar menulis kata pengantar,

"Bersama ini kami perkenalkan kepada Saudara pembaca yang budiman, majalah kami Horison, sebuah majalah sastra yang memuat cerita-cerita pendek, sajak-sajak,esei, dan kritik, yang kami harap akan cukup bermutu untuk seterusnya dapat memikat perhatian dan kasih sayang Saudara pada majalah ini. ...

Majalah Horison kami lancarkan ke tengah masyarakat kita, di tengah-tengah suasana kebangkitan baru semangat untuk memperjuangkan dan menegakkan kembali semua nilai-nilai demokratis dan kemerdekaan, martabat manusia Indonesia. Dalam perjoangan untuk membina tradisi-tradisi demokratis, penghormatan pada pemerintahan berdasarkan hukum, penulisan hak-hak manusia dan membina masyarakat yang adil dan makmur, maka majalah Horison memilih bidang sastra sebagai arena perjuangannya".[8]

Nomor perdana itu juga diisi esei Wiratmo Soekito yang diangkat dari risalah "Perjoangan Kebudayaan Kita" (yang sebelumnya terbit di bawah tanah, setelah Manikebu dilarang) dengan judul "Konsepsi Kita Bukan Hanya Ideologi, Tapi Idea". Mochtar Lubis, Hamzad Rangkuti, Ras Siregar, dan Umar Kayam yang waktu itu menjadi Dirjen Radio, Televisi dan Film tak ketinggalan ikut meramaikan dengan cerpen-cerpennya—karangan-karangan itu sebagian besar merupakan sisa naskah yang belum sempat dimuat dari Sastra, karena kebetulan HB Jassin adalah bekas redaktur Sastra.

Bukan kebetulan, cerpen Umar Kayam yang dimuat berjudul "Chief Sitting Bull" yang bersuasanakan Amerika. Arief Budiman sementara itu menulis esei berjudul "Dimensi yang Hilang dalam Religi". Ada juga sebuah sajak berjudul "Doa Seorang Ibu" karya Berta Pantouw—sajak ini kemudian menimbulkan perkara karena ternyata hasil jiplakan dari karangan Douglas MacArthur yang dimuat Reader Digest, berjudul "A Soldier's Prayer for His Son". Lembaran Kebudayaan Merdeka edisi 6 Agustus menyebutkan bahwa penjiplakan itu sebagai "Skandal Sastra".[9]

Tiras nomor perdana Horison mungkin terasa fantastis untuk ukuran sekarang, dicetak sebanyak 15.000 eksemplar. Soal angka yang fantastik ini, DS Moeljanto mengatakan,

"Tapi ini kenyataan: karena memang majalah Horison sudah lama dinanti-nantikan penerbitannya oleh masyarakat, lebih-lebih oleh para penggemar kesusastraan ".[10]

Tapi memang banyak faktor yang bisa menjawab mengapa Horison pada waktu itu punya pembaca.

Soe Hok Djin alias Arief Budiman
Pertama, nama-nama para pengelolanya sudah tidak asing lagi bagi para pembaca surat kabar dan majalah pada masa itu. Mochtar Lubis yang dikenal sebagai wartawan dari koran yang dibrangus Soekarno pada hari-hari itu baru dua bulan menghirup udara kebebasan Orde Baru. Nama Jassin—bekas redaktur Sastra yang banyak diganyang Lekra—juga cukup menjadi jaminan. Adapun nama Arief—di mazed disebut Soe Hok Djien—populer sebagai tokoh demonstran mahasiswa. Sedang Goenawan Mohamad—yang waktu itu mahasiswa Psikologi UI tingkat II yang baru pulang dari memperdalam ilmu politik di College of Europe, Belgia—dikenal sebagai seorang penandatangan Manikebu. Sedangkan Taufiq Ismail bahkan di zaman mahasiswa bergolak itu, sempat menjadi idola karena puisi-puisinya "Tirani" dan "Benteng" merupakan semacam buku wajib. Gabungan dari sekawanan orang yang datang dari berbagai jurusan dan pikiran itu: wartawan, mahasiswa, penyair, sastrawan, dan budayawan itu mungkin merupakan selling point di zaman itu.

Kedua, mereka menjanjikan iklim yang lebih kendor. Terbukti, majalah ini, juga memiliki tradisi mengadakan diskusi setiap Jumat sore di kantornya. Dalam diskusi itu, yang hadir tak hanya para pengarang, tapi juga para cerdik pandai, politisi bahkan orang awam yang ingin bersuara tanpa rasa takut. Subagio Sastrowardojo yang waktu itu seorang mahasiswa yang sedang berlibur di Indonesia dari kuliahnya di AS terkesima ketika ikut-ikutan bergaul dengan mereka. la yang juga pernah bergaul dengan para sastrawan yang menulis di majalah Kisah, kemudian mengatakan, "meski dari segi intimitas sebagai ciri umum hidup seni dan sastra mereka sama, tapi generasi Horison sangat berbeda dengan generasi Kisah".

Pada zaman Kisah, menurut Subagio, ada gairah mengarang. Tempat berkumpul di kantor redaksi di Jalan Madura (sekarang Jalan Prof. Muhammad Yamin). Bercerita Subagio:

"Hampir setiap hari kita bisa jumpa penyair atau penulis cerita pendek ngobrol lewat jendela atau duduk-duduk dalam memperbaiki kalimat-kalimat pada karangannya yang terakhir hendak dimuat. Percakapan selalu berkisar pada pengalaman-pengalatnan berolah sastra".[11]

Dan kalau pertemuan diadakan di Jalan Madura, sorenya mereka biasanya berkerumun di rumah kritikus HB Jassin atau penyair Sitor Situmorang untuk menangkap pandangan serta penilaian sastra dari tokoh-tokoh yang banyak makan garam pengalaman dan pengetahuan.

"Hidup sastra betul-betul berlangsung dari subuh sampai malam hari. Udara Jakarta rupanya tidak terasa lagi panasnya, hanya hangat oleh semangat serta keakraban kerja semata".[12]

Subagio Sastrowardoyo dalam kaver buku karangan Wahyu Wibowo
Menurut Subagio Sastrowardojo, generasi Horison berbeda. Generasi Horison hanya mengesankan suasana kerja yang tenang dan adem. Sekali-kali memang timbul perdebatan yang asyik di pusat berkumpul di Cikini dulu dan di muka Gedung Komidi sekarang, tapi pertukaran pikiran itu bergerak di atas bidang teori, tentang hidup yang eksistensial atau tentang nilai lukisan di permukaan majalah, dan karena mengarah kepada penyelesaian yang abstrak, pembicaraan tidak disertai semangat keyakinan yang meluap. Selanjutnya, kata Subagio,

"Keademan suasana itu sebagian besar disebabkan oleh perhatian yang kini tidak membataskan diri pada sastra belaka. Goenawan Mohamad dan Arief Budiman,kedua tokoh utama di dalam Horison yang memberi watak khas pada majalah itu,esei-eseinya lebih banyak bersoalan dengan gejala sosial, psikologi, filsafat dan politik. Juga penyair Taufiq Ismail tidak ketinggalaa menulis tinjauan sosial-politik di berbagai negara tetahgga yang pernah dikunjungi. Pengarang yang mengkhususkan perhatiannya kepada sastra belaka, seperti penyair dan dramawan Arifin C Noer,kelahirannya di tengah kelompok pengarang Horison terasa seperti agak ketinggalan zaman."[13]

Tentang majalah Horison yang memuat segala hal tentang kebudayaan, dan tidak melulu cerita pendek dan puisi, penyair Sapardi Djoko Damono, mengomentari,

"Bagi saya jelas bahwa Horison mengambil bentuk yang sesuai dengan salah seorang pendiri dan anggota redaksinya yang masih muda (waktu majalah itu diterbitkan usianya sekitar 25 tahun), Arief Budiman. Arief adalah seorang budayawan yang tertarik kepada banyak hal dan hal itulah yang menyebabkan Horison tidak sama dengan Kisah dan Sastra, meskipun Jassin duduk dalam ketiga majalah tersebut. Saya kira Arief-lah yang telah memungkinkan tulisan-tulisan tentang masalah sosial dan kebudayaan berdampingan dengan puisi dan cerpen dalam sebuah 'majalah sastra'. Tentu saja dalam hal ini Arief telah mendapat persetujuan, dan barangkali dorongan dari para redaksi lain. Segera saja terasa Horison mengandung 'pemikiran'. Dan karena cara penilaian yang barangkali agak berbeda dengan Kisah dan Sastra (sebuah tulisan dinilai oleh lebih dari seorang anggota redaksi), maka muncullah beragam 'gaya' tulisan dalam majalah ini".[14]

Horison memang tercatat sebagai majalah baru di awal Orde Baru itu yang dikenal sangat toleran terhadap gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran inovatif, khususnya dalam kesusastraan dan kebudayaan, sesuatu yang ganjil di masa itu. Bahkan menarik, Horison yang notabene diasuh oleh para penandatangan Manikebu, ternyata tidak alergi terhadap naskah-naskah dari para pengarang yang dulu dikenal anti-Manikebu, apakah itu bekas Lekra atau bekas LKN. Arief Budiman dalam sebuah rapat yang membahas soal itu, berkata lantang,

"Saya adalah salah seorang yang akan memuat karangan dari siapa pun bagi suatu majalah kebudayaan, bila karangan itu dari segi literer memang baik".

Dan sambil mengutip apa yang juga pernah diucapkan oleh rekannya, Wiratmo Soekito, Arief menegaskan,

"Seorang intelektual adalah seorang yang bila ditindas tidak mengeluh dan bila berkuasa tidak menindas".[15]

Dalam perkembangan, kesusastraan Horison memang diakui memberi banyak sumbangannya. Pada tahun 1969, misalnya, Arief dan Goenawan mengetengahkan sebuah cara penghayatan karya sastra yang dikenal sebagai Metode Ganzheit. Gagasan ini lalu menerbitkan polemik hangat, karena dipertentangkan dengan metode yang ditawarkan oleh sekelompok pengajar di FSUI seperti MS Hutagalung dan JU Nasution.

Hingga tahun kesembilan, Horison tetap bertahan dengan semangat yang sama. Tetap akomodatif terhadap semua tulisan dari berbagai pikiran.

Sapardi yang waktu itu sudah menjadi redakturnya mencatat, para penulis Horison tidak terbatas dari kalangan sastrawan, tapi orang-orang seperti Mohamad Hatta, M.T. Zen, dan lain-lain juga termasuk para penulisnya yang rajin.[16] Inilah mungkin yang membedakan Horison dengan majalah-majalah sastra yang pernah terbit sebelumnya di tanah air.***

[1] DS Moeljanto, "Sepuluh Tahun Yang Lalu, Terbitlah Horison", Horison No. 7-8, 1976. Di situ disebutkan antara lain, antara bulan-bulan itu, sekelompok seniman yang biasa berkumpul di Balai Budaya, Jl. Gereja Theresia Jakarta—yang sebelumnya sudah menerbitkan buku kumpulan puisi stensilan— mulai memikirkan tentang kemungkinan menerbitkan sebuah majalah untuk mendorong semangat demonstrasi aksi-aksi mahasiswa. Para seniman itu antara lain, DS Moeljanto, Mustika, Mansur Samin, dan lain-lain.

[2] Arief Budiman, "Catatan Kecil, Delapan Belas Tahun Yang Lalu", Horison, No. 7, 1984.

[3] Ibid.

[4] Horison, Juli 1976.

[5] DS Moeljanto, "Sepuluh Tahun Yang Lalu, Terbitlah Horison", Horison, No. 7-8, 1976.

[6] Arief Budiman, op.cit.

[7] Ibid.

[8] Horison, No. 1, Juli 1966.

[9] DS Moeljanto, "Sepuluh Tahun Yang Lalu Terbitlah Horison", Horison, No. 7-8, 1976.

[10] Ibid.

[11] Subagio Sastrowardojo, Bakat Alam dan Intelektualisme, Pustaka Jaya, 1971.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Sapardi Djoko Damono, "Karena Hanya Sebuah Majalah Sastra", Kompas, 13 Agustus 1974.

[15] DS Moeljanto, "Sepuluh Tahun Yang Lalu, Terbitlah Horison", Horison, No. 7-8, 1976.

[16] Sapardi Djoko Damono, "Karena Hanya Sebuah Majalah Sastra", Kompas, 13 Agustus 1974.

*) Bagian dari Bab Majalah Sastra & Kebudayaan: Kemerdekaan Berangan-Angan, dari buku "SEJARAH MAJALAH DI INDONESIA ABAD 20", karya Kurniawan Junaedhie. Segera terbit tahun ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi