Jakarta Penyair Taufiq Ismail dituduh menjiplak karya Douglas Malloch, penyair asal Amerika Serikat. Penyair yang terkenal dengan kumpulan puisi 'Tirani dan Benteng' itu akhirnya memberikan jawaban mengenai tudingan tersebut.
Kejadian berawal pada sebuah perbincangan di akun Facebook milik Bramantyo Prijosusilo beberapa waktu lalu. Diskusi itu sampai melibatkan sejumlah pelaku sastra Indonesia.
Tak terima dituduh plagiat, Taufiq Ismail akhirnya memberikan jawaban. Dalam sebuah rilis yang diterima detikhot, Sabtu (2/4/2011) ia pun mengungkapkannya.
Inilah respons saya terhadap percakapan di atas, yang saya baca dari fail internet.
Puisi “Kerendahan Hati” disebutkan sebagai karya Taufiq Ismail, dituduhkan sebagai plagiat dari puisi “Be the Best of What You Are” karya Douglas Malloch.
Dalam tuduhan itu puisi “PK” tidak disebutkan dipublikasikan di mana dan kapan.
Karya puisi saya selama 55 tahun (1953-2008) telah diterbitkan lengkap (Ketua Panitya Fadli Zon), dengan judul Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit. Jilid 1. Karya prosa lengkap dimuat dalam MKB-MBK Jilid 2 dan 3.
Kumpulan MKB-MBK Jilid 1 itu, tebal 1.076 halaman, memuat 522 puisi. Untuk informasi Bramantyo, puisi berjudul “Kerendahan Hati” itu, yang dituduhkan sebagai karya plagiat, tidak ada di sana. Itu bukan puisi karya saya.
Sekarang mengenai puisi “BBWYA” karya D. Malloch yang dituduhkan sebagai sumber plagiat.
Pada tahun 1992 saya selesai menerjemahkan puisi Amerika Serikat, di Universitas Iowa, yang kumpulannya saya beri judul Rerumputan Dedaunan, meliputi kurun masa 1850an-1980-an. Antologi ini belum terbit. Kumpulan itu tebalnya 693 halaman, memuat karya 160 penyair. Nama David Malloch tidak terdapat di dalamnya.
Dia bisa saja penyair bagus, tapi dari begitu banyak penyair Amerika 1850an-1980an, Malloch tidak termasuk ke dalam 160 penyair yang saya pilih. Kalau dia lulus seleksi saya, karyanya tentu saya masukkan dalam antologi terjemahan RD itu.
Pertanyaan berikutnya sekarang: kenapa dituduhkan itu sebagai sumber plagiat?
Dalam 12 tahun terakhir ini, frekuensi kegiatan saya yang mempertemukan saya dengan sastrawan muda, guru, mahasiswa dan siswa tinggi sekali, melalui program pelatihan MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra), SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya), sanggar-sanggar sastra, komunitas ini-itu, dst. Dalam interaksi itu banyak karya sastra didiskusikan, termasuk terjemahan puisi. Mungkin sekali dalam salah satu kontak itu karya David Malloch dibicarakan, diterjemahkan peserta dan saya diminta memberi komentar. Itu yang paling mungkin. Dan jelas saya tidak membubuhkan nama saya untuk terjemahan itu, dan tidak mempublikasikannya. Arsipnya saja saya tidak menyimpannya. Kalau Malloch favorit saya, dia mestilah saya masukkan dalam antologi RD. Ini tidak.
Dalam hal ini tidak jelas siapa yang mencantum-cantumkan nama saya pada terjemahan puisi Malloch itu. Saya jadi teringat pada kasus lagu Tuhan, yang lirik dan lagunya digubah Sam Hardjakusumah, dinyanyikan Bimbo. Karena saya menulis sekitar 70 lebih lirik Bimbo, lirik lagu Tuhan itu sering sekali dikira dari saya. KCI malah pernah salah kirim honorarium lirik lagu itu kepada saya. Saya berulang kali menjelas-jelaskan ini kepada publik. Beda kasus saya dikelirukan dengan Sam Bimbo, adalah bahwa saya sampai mendapat honor yang mestinya dikirimkan kepada Sam, tapi dalam kasus saya dikelirukan dengan Malloch, saya dicaci-maki oleh facebookers yang salah tuduh..
Saya tidak terima dinista sedemikian. Saya akan membawa ini ke ranah hukum, dengan mengadukan Bramantyo Prijosusilo ke Kepolisian RI, agar dia diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam hal pencemaran nama baik.
Saya meminta bantuan pengacara sastrawan Suparwan Parikesit SH dan aktivis kampus Abrori SH, dengan saksi pelukis Hardi dan budayawan Fadli Zon.***
Taufiq Ismail, Rumah Puisi, 1 April, 2011.
Komentar