Langsung ke konten utama

Ada Racun dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufiq Ismail


NB : Pemirsa yang Budiman, kali ini ada rame-rame lagi di dunia sastra kita. Perihal (lagi-lagi) tuduhan Plagiatisme yang dialamatkan pada salah satu penyair besar dan kawakan di Indonesia, Taufiq Ismail. pada semula, saya menduga yang akan jadi rame-rame adalah kemarahan TI terhadap bedah buku (Alm.) Asep Samboja yang dicurigai mengarah pada upaya membangkitkan Lekra kembali. akan tetapi, tak dinyana ada seorang facebookers yang mengunggah Puisi Taufi(K) Ismail pada salah satu buku ajar Bahasa Indonesia dan puisi itu sangat mirip dengan puisi penyair Amerika Douglas McCllouch. tanpa banyak reaksi, saya sariken saja kroniknya di sini:


oleh Martin Aleida*

“HU AR Rini Endo. Saya baca di Internet undangan diskusi sastra di PDS HBJ (Jum 25/3, 15:30), judul atasnya memperingati 100 hari Asep Semboja, tapi judul berikutnya yg lebih penting “ttg pengarang2 Lekra.” Moderator Martin Aleida dg 2 pembicara. Saya terkejut. Ini keterlaluan. Kenapa PDS memberi kesempatan juga kpd ex Lekra memakai ruangannya utk propaganda ideologi bangkrut ini, yang dulu ber-tahun2 (1959-1965) memburukkan, mengejek, memaki HBJ, memecatnya sampai kehilangan sumber nafkah? Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini? Petugas PDS yg tentunya tahu rujukan sejarah ini seharusnya sensitif untuk menyuruh ex Lekra itu menyewa tempat lain saja, bukan di PDS. Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas (Taufiq Ismail).”

Pesan beracun, yang menghambur sejak Jumat dinihari, 25 Maret 2011, itu tidak hanya diterima oleh HU (Husseyn Umar), Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, AR (Ajip Rosidi), Ketua Dewan Pembina Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, serta Rini dan Endo masing-masing sebagai staf PDS HB Jassin. Racun itu menyebar cepat, sangat cepat, dan banyak. Wallahu alam, saya tak tahu berapa orang lagi yang menerima pesan itu. Saya kira, pastilah banyak! Karena, menjelang tengah malam pada hari Jumat, saya masih menerima SMS serupa yang diteruskan oleh Titiek, putri Pramoedya Ananta Toer. Kegemparan tidak hanya sampai di situ. Bagai serangan selepas subuh, pukul 05.45, pagar rumah saya bergetar. “Pak Ajip…” bisik istri saya begitu membalik setelah mengintai siapa gerangan yang bertamu sepagi itu.

Pagi itu pertemuan saya dengan Ajip dengan cepat mencapai puncak yang tidak diinginkan oleh siapa pun. Juga tidak oleh tokek yang sudah kehabisan mangsa. Ajip meminta saya untuk membatalkan diskusi mejabudaya, yang dituduh Taufiq Ismail sebagai diskusi mengenai pengarang Lekra. Dia meminta perhatian khusus dari saya, karena PDS sedang menghadapi masa konsolidasi setelah Gubernur Fauzi Bowo berjanji akan menambah dana untuk kelangsungan hidup pusat dokumentasi sastra itu. Untung masih pagi, saya bisa mengendalikan diri menghadapi orang yang datang membawa kekuasaan dengan pongahnya. Yang mendesak saya untuk membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan teman-teman. Saya hela nafas, dalam. Ucap saya: “Diskusi itu diselenggarakan oleh kelompok diskusi mejabudaya yang sudah berdiri sejak delapan tahun lalu. Diskusi akan membahas kumpulan tulisan Asep Sambodja dalam buku yang baru diterbitkan Ultimus, judulnya Asep Sambodja Menulis, sekaligus peringatan 100 hari meninggalnya penulis. Itu diskusi buku. Bukan diskusi Lekra. Kami juga mengirimkan undangan lewat SMS kepada Taufiq. Dia boleh datang untuk ikut membicarakan buku itu.”

Penjelasan saya itu dengan keras dibanting oleh Ajip dengan hardikan: “Saya sudah baca buku itu! Tak perlu penjelasan! Pokoknya harus dibatalkan! Pilihannya cuma dua, kalian membatalkan diri sendiri atau dibatalkan oleh Taufiq Ismail. Taufiq akan datang membawa pasukan!” Begitu meluapnya emosinya di pagi yang memang tidak sejuk itu, sehingga Ajip lupa mengatakan bahwa buku Asep itu dia terima dari saya dua hari yang lalu. Kutatap matanya beberapa detik, jangka waktu yang cukup memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengatakan sesuatu kepada dirinya sendiri yang beresonansi untuk menenangkan hati orang yang sedang dibakar amarah, apalagi amarah yang membabibuta.

Hati saya sesungguhnya sudah terketuk ketika Ajip mengatakan dalam suasana mengkonsolidasi diri, PDS memerlukan ketenangan, mencari kesempatan untuk merenung. Tetapi, ketika dia mengamangkan palu godam berapi yang diterimanya dari Taufiq Ismail bahwa mejabudaya harus bubar dengan acara Asep Sambodja-nya, darah saya mendidih. Saya tarik nafas dalam-dalam. “mejabudaya itu bukan saya punya, dia tidak punya hirarki, tak ada ketua, tak ada sekretaris, dia bergerak karena ada yang menginginkan kemajuan, kebetulan saya yang aktif. Nanti akan saya sampaikan kepada teman-teman pesan Bung Ajp ini. Keputusan ada pada mereka.” Penulis besar dari Tatar Sunda itu, yang cerita-cerita pendeknya sudah saya nikmati ketika saya baru duduk di SMP, tiba-tiba menyodorkan pantatnya ke depan, menenangkan hatinya dengan mereguk secangkir teh yang sejak dari tadi mengamati dirinya. Ajip bangkit, mengucapkan terima kasih, melafalkan salam. Kuikuti dia melewati serambi. Kubukakan pintu pagarku, dan dia pergi menyeret langkah kakinya yang kelihatan seberat pohon kelapa.

Begitulah. Saya segera mengontak teman-teman mejabudaya, memberi tahu mereka tentang Taufiq Ismail yang akan membawa laskar Munafiqin untuk membubarkan diskusi menghormati Asep Sambodja. Beberapa pegiat dan pemikir budaya juga saya kabarkan mengenai ancaman pembubaran diskusi buku itu. Membubarkan diri atau dibubarkan pasukan Taufiq Ismail. Tidak mengejutkan saya, ketika teman-teman mengatakan, “Biarkan dia yang membubarkan supaya publik tahu siapa yang biadab!”

Sebelum diskusi dimulai, secara kronologis saya ceritakan kepada sekitar 50 peserta diskusi tentang apa yang sedang terjadi. Diskusi yang diawali dengan pengantar yang dibawakan Okky Tirto, penyair-pemikir muda, dan penyair Sutikno W.S., mendapat tanggapan hangat dari hadirin. Adi Wicaksono, dan diperkuat oleh penulis-pemusik Vukar, mengatakan bahwa apa yang sudah dikerjakan oleh Asep Sambodja selayaknya diteruskan dan diperdalam oleh para peneliti sesudahnya, untuk melengkapi sejarah secara lebih luas, terutama sejarah kesusastraan Indonesia.

Diskusi berlangsung hangat walau pikiran sebagian teman terpecah. Mata, sebentar-sebentar melirik ke pintu masuk, siap untuk menghadapi gempuran kaum Munafiqin. Tegang juga rasanya dengan kuda-kuda yang terus terpacak seperti senapan yang terus terkokang, sementara musuh tak kelihatan batang hidungnya. Sebelum azan Magrib diskusi ditutup. Kuda-kuda mengurai ketegangannya. Taufiq Ismail yang ditunggu-tunggu tak muncul juga, aaaah… Ternyata cuma gertak sambal (ijo). Kasihan Ajip Rosidi yang meneruskannya sampai repot-repot melangkahi bendul rumah saya.

Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga Taufiq menyebutkan saya “pewaris ideologi ular berbisa”? Sekitar dua tahun lalu saya undang dia lewat SMS untuk menghadiri peluncuran kumpulan cerita pendek saya, Mati Baik-Baik, Kawan, dan dia datang, mengkritik salah satu cerita yang dia anggap lemah, serta bertukar pandangan dengan Agung Ayu yang menjadi pembicara utama dalam acara yang berlangsung di PDS HB Jassin itu. (Peluncuran buku itu tak ada hubungannya dengan mejabudaya.)

Saya masih ingat, ketika untuk pertama kali saya berkenalan dengan dia, semasa saya bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO, mungkin hanya sekedar basa-basi, Taufiq memuji salah satu cerita pendek saya yang dimuat Horison akhir 1960-an. Dia kelihatannya berubah setelah saya dua kali tampil bersama dia sebagai pembicara di dua seminar yang diselenggarakan di Universitas Indonesia tentang sastra dan G30S, di mana saya secara tedeng aling-aling mengkritik sikapnya yang menutup mata terhadap ratusan ribu atau bahkan jutaan manusia tak berdosa yang jadi korban setelah bencana politik itu. Dia berbicara dengan catatan yang dibuat begitu akurat, tentang Komunis yang membantai di mana-mana, tapi tidak sudi menyebutkan bahwa mereka yang dituduh Komunis dan simpatisannya yang justru di pelupuk matanya sendiri, dia anggap sebagai TIDAK ADA! BUKAN MANUSIA! Juga sikap saya yang antagonis dengan pendiriannya berhadap-hadapan dengan Lekra dan gerakan kebudayaan pertengahan 1960-an dalam apa yang dinamakan rekonsiliasi Lekra-Manifes Kebudayaan yang berlangsung di Teater Utan Kayu beberapa waktu yang lalu.

“… Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas.” Itu mungkin selarik dari puisi mutakhir Taufiq Ismail. Namun, kalau tidak dibaca dengan sebuah konstruksi sastrawi, maka kata-kata dalam pesan singkatnya itu tak-bisa-tidak dia bersifat perintah terhadap pimpinan dan staf PDS HB Jassin. Barangkali, kata-kata eks Lekra yang berhasil “buang air besar” di PDS, maksudnya adalah diskusi senirupa yang diselenggarakan oleh Bumi Tarung Fans Club yang berlangsung di PDS, 12 Maret 2011, yang coba digagalkan oleh Taufiq dengan membujuk Ajip sang budayawan, dan mengintimidasi Rini, staf pusat dokumentasi yang bermarkas di Taman Ismail Marzuki itu.

Suasana hati Taufiq Ismail ketika menulis SMS itu, kalau boleh saya tebak, adalah suasana kalang-kabut karena kebelet, tak bisa buang air besar. Gara-gara dia sendiri. Dia sudah tak bisa “memberaki” siswa-siswa sekolah menengah atas melalui program ”sastrawan bicara siswa bertanya”, karena pemberi dana, Ford Foundation, menyetop bantuan Rp 100 juta/tahun, lantaran dia menyuarakan suara pemerintah ketika bersaksi mengenai pornografi. “Counter part kita bukan pemerintah, tetapi grassroots. Anda tidak menyuarakan apa yang selayaknya Anda suarakan,” begitulah kira-kira kata-kata mati yang disampaikan Ford Foundation kepada Taufiq. Dan, kabarnya, seperti juga kalau dia membaca puisi, maka dia pun menangis!

Hikhikhik…[Dendang lagu Melayu menerabas dari rumah sebelah, meninabobo, katanya, ‘Buyung, anakku seorang, sudahi banjir air matamu di sini saja… langit tak bakal runtuh.’] Saya tidak melihat titik air matanya dengan mata kepala saya sendiri. Tapi, itulah kata-kata imajiner yang saya pungut beterbangan di jalan-jalan, juga di langit.

Untuk dia selalu saya doakan, kalau program itu bisa berkibar lagi. Siapa tahu, suatu ketika setelah pasukan sekutu berhasil menekuk Libya, Ford Foundation berkenan mengucurkan bantuan untuk program yang berguna untuk siswa-siswa sekolah menengah atas itu. Cuma harus diingat selama ini program itu sama sekali bertolak-belakang dengan pedagogi pendidikan, karena sastrawan yang disertakan hanyalah teman-teman sendiri. Sudah saatnya melepaskan diri dari kungkungan tempurung kepala dewek.

Saya ingin bertanya dari dokumentasi yang disimpan siapa ada catatan yang menyebutkan bahwa HB Jassin kehilangan nafkah gara-gara Lekra. Sejak kapan HB Jassin bekerja di bawah “pemerintahan” Lekra, sehingga kesalahannya harus diganjar pemecatan. Catatan dari mana yang mengatakan Lekra membawahi Lembaga Bahasa Nasional (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) di mana HB Jassin bekerja? Kawan, sekalipun sebuah khayalan, logika hendaknya terpateri kuat-kuat di sana.

“Bagaimana perasaan beliau bila melihat PDS warisannya secara bulus licik dimasuki dan diperalat pewaris ideologi ular berbisa ini?” gugat Taufiq Ismail. Saya ingin bertanya, sejak kapan Taufiq Ismail diberikan Pak Jassin kuasa penuh untuk menafsirkan perasaannya? Saya tidak dekat, dan berusaha tidak duduk persis di depan meja kerjanya, sejauh itu berkenaan dengan karya sastra. Saya, sebagai wartawan majalah TEMPO, pernah dua kali mewawancarai HB Jassin awal 1970-an, ketika kritikus ternama ini dalam proses menerjemahkan Al-Quran secara puitis. Sebagai basa-basi, sebelum memulai wawancara, saya katakan bahwa tiga cerita pendek saya dimuat Horison, yang dia pimpin. Dia tidak bertanya tentang latar belakang saya. Dia cuma senyum. Hamsad Rangkuti, yang bekerja di Horison di bawah pimpinan HB Jassin, mengenal saya, sebagai orang sekampung di Tanjung Balai, Kisaran. Saya tak tahu, dan tak perlu bertanya kepada Hamsad, apakah dia pernah menceritakan latar-belakang saya kepada Pak Jassin. Sama seperti saya, Hamsad percaya bahwa cerita pendek hidup dengan membawa kodratnya sendiri, dengan keyakinan bahwa setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata.

PDS HB Jassin dalam sorotan. Saya yang sejak pensiun sering mangkal di situ, menulis hampir seluruh cerita yang pernah saya terbitkan, termasuk satu novel. Endo Senggono, sebagai staf PDS, telah membuka ruang baca seluas 300 m2 sebesar-besarnya sebagai rumah para sastrawan dan pekerja seni di berbagai bidang: senirupa, film, musik, teater yang masih muda-muda untuk mangkal di situ, di luar jam kerja. Endo kelihatannya sadar sejarah, bahwa para seniman memerlukan tempat mampir, sebagaimana para seniman tahun 1950-an menemukan rumah di Pasar Senen. Dewan Kesenian Jakarta, dengan ruang tamu, dan sekat-sekat enam komite kesenian terlalu elit buat disinggahi.

Endo telah menjadikan PDS sebagai “pusat budaya,” rumah bagi anak-anak muda yang berbakat tetapi masih terlantar. Hati saya terenyuh ketika Ajip Rosidi mengatakan dia akan berupaya memutasikan Endo ke Dinas Kebudayaan dengan jalan membujuk sang kepala dinas. Karena Endo dianggap sesat. “Saya tak tahu apa motif Endo untuk memberikan kebebasan bagi semua orang untuk memanfaatkan PDS,” katanya.

Sepuluh tahun lalu Ajip menunjuk Endo untuk menggantikan Oyon Sofyan sebagai kepala pelaksana PDS, karena Oyon dianggap membangkang, menolak kebijakan Yayasan, karena menurut Oyon, Yayasan datang belakangan sesudah lahirnya pusat dokumentasi HB Jassin. Dalam kiprahnya selama sepuluh tahun, Endo tidak bebas dari kesalahan. Dan mustahil. Mungkin sebuah sistem disiplin sebuah kantor sudah terluka karena pintu yang sudah dia buka dengan hati yang jujur. Manusia terlihat kocar-kacir di situ. Namun, dia sudah membangun sebuah rumah buat mereka yang ingin berkembang. Membuka jalan. Membebaskan diri dari keterlantaran. Kita akan menulis dan melantunkan sebuah ode jika Endo, yang hanya bisa melangkah dengan bantuan ketiak penyangganya, dijatuhkan sampai terjerembab. ***

*Martin Aleida, penulis cerita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...