Langsung ke konten utama

Tiga Aliran Puitika Jawa Timur

F Aziz Manna


Situasi kesusasteraan khususnya perpuisian di Jawa Timur saat ini sangatlah meriah. Bahkan bisa dikata menegangkan. Bagaimana tidak, hingga kini perbincangan sastra (puisi) di Jatim menukik ke arah paling vital.
Menajam pada visi dan ideologi puisi. Tapi secara garis besar,perbincangan yang kerap berujung pertikaian ini terkanalisasi dalam tiga aliran deras. 


Yakni,aliran para pemeluk teguh puisi gelap, aliran peyakin puisi terang, dan aliran alternatif penganjur suara-suara lain. Aliran terakhir ini lebih cenderung mengarah pada gerakan politik sastra. Meski begitu,mereka tetap melakukannya dengan tawaran estetika. Kanalisasi tiga aliran puitika Jatim ini merupakan kristalisasi dari gerakan sastra sebelumnya. Pada 1993, para sastrawan Jatim memelopori gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).

Gerakan ini seakan ingin membuka mata Indonesia bahwa kegiatan bersastra tidak melulu hadir di Jakarta. Setelah itu, berkecambahlah kantong-kantong sastra di Jatim. Berdasar pendataan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang dilakukan pada Maret 1998 tercatat sedikitnya 167 komunitas sastra Indonesia yang muncul di berbagai daerah dan 33 di antaranya terdapat di Jatim. Menariknya, data itu tidak menyebut tiga nama komunitas yang menghembuskan tiga aliran besar dalam perbincangan sastra terkini di Jatim seperti tersebutkan di atas. Ini berarti, pasca 1998 kian membiak pertumbuhan komunitas sastra di Jatim.

Berdasar pendataan terbaru yang dilakukan Balai Bahasa Jawa Timur pada 2010 terdeteksi sebanyak 114 komunitas sastra yang pernah muncul dan beraktivitas di Jatim.Komunitas ini hampir ada di tiap wilayah Jatim. Para praktisi dan pemerhati perpuisian Jawa Timur pasti mengetahui tiga kelompok aliran deras ini.Meski terkadang sebagian dari mereka tidak mengakuinya secara eksplisit. Aliran para pemeluk teguh puisi gelap dipelopori oleh sekelompok mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kelompok aliran puisi terang dimotori oleh kumpulan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Sedangkan kelompok aliran alternatif yang menawarkan suara-suara lain dipenuhi oleh beragam jenis kumpulan, mulai dari komunitas di luar kampus, aktivis, pemerhati seni, pegawai balai bahasa, hingga pedagang, dan pengangguran. Aliran puisi gelap merupakan kelompok yang cukup militan dan solid sampai saat ini. Mereka memulai gerakan puitikanya melalui Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) dan Teater Gardu Puisi Surabaya (Gapus) sejak era 1990-an. Hingga kini para personilnya masih berkreasi. Salah satu pemeluk teguh puisi gelap ialah Indra Tjahyadi.

Dalam manifesto puisi gelapnya,Indra meneriakkan kredo: puisi harus didorong ke arah pemaknaan yang paling ambigu,yakni dengan menggelapkan makna. Sebab itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kehancurannya sebab hidup di dunia kini yang telah dipenuhi kebanalan. Arif Bagus Prasetyo dalam catatan kuratorial ‘Forum Sastra Indonesia Hari Ini wilayah Jawa Timur‘ yang digelar komunitas Salihara Jakarta mengakui secara terbuka bahwa sampai hari ini di Jawa Timur belum muncul gerakan puitik yang semilitan dan seserius puisi gelap.

Mazhab puisi gelap mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar kepekatan dan kemabukan yang belum pernah terpampang dalam khasanah puisi dari berbagai provinsi lain.Sehingga, kehadiran puisi gelap layak dicatat sebagai kontribusi unik Jawa Timur dalam sejarah sastra Indonesia kontemporer. Aliran kedua yang mulai tumbuh di Jawa Timur ialah puisi terang. Kelompok ini muncul pada era 2000-an dimobilisasi oleh Komunitas Rabo Sore yang bermarkas di Unesa. Kelompok ini mendapatkan suntikan puitik dari penyair kawak dari Gresik, HU Mardi Luhung. Beberapa sosok yang mendiami kelompok ini ialah A Muttaqin, Umar Fauzi Ballah, Dody Kristianto, dan lainnya.

Kelompok ini menyuarakan gerakan puisi terang yang menyuarakan kehidupan manusia sehari-hari dengan bahasa yang komunikatif dan tidak atraktif. Model puitika kelompok ini dipasangkan sebagai ‘lawan‘ puisi gelap. Dalam obrolan mereka yang terekam melalui jejaring sosial,mereka menyepakati bentuk puisi Gokil sebagai identitas mereka.Gokil merupakan sebuah prokem anak gaul yang sering diartikan sebagai gila. Namun kegilaan yang dimunculkan dalam puisi kelompok ini bukanlah penjungkirbalikan logika. Puisi Gokil diterjemahkan dalam kredo mereka sebagai puisi gegojekan atawa begejekan. Sebuah jenis puisi tidak serius tapi serius.

Rahmat Giryadi, sastrawan dan dramawan lulusan Unesa menyebutnya sebagai puisi ‘seGo kiKil‘ (nasi kikil) dan puisi ‘soGOKane upIL‘ (alat pencungkil kotoran hidung). Sebutan Giryadi ini begitu pas untuk menamai gerakan puisi kelompok Unesa yang mengusung keseharian, ketidakseriusan yang serius. Dalam kredo puisi Gokil ini,posisi A Muttaqin ditempatkan paling atas sebagai ketua kelompok, menyusul Timur Budi Raja sebagai wakil ketuanya dan Dody sebagai penanggung jawabnya.

Aliran ketiga yang tumbuh di Jawa Timur merupakan kelompok ‘tengah‘ yang tidak mendukung puisi gelap pun puisi terang ‘Gokil‘.Aliran ketiga ini cenderung membawa suara-suara lain. Menawarkan alternatif bentuk puisi. Sayangnya, kelahiran aliran ketiga ini lebih bernuansa politis daripada puitis. Aliran suara lain ini dimotori oleh Wahyu Haryanto, AF Tuasikal, serta Puput Amiranti. Belakangan ini, aliran suara lain terus mengumpulkan kekuatan dengan menggandeng komunitas-komunitas sastra dan seni di beberapa wilayah di Jatim. Beberapa komunitas itu tersebar di Mojokerto, Lamongan, Jombang, Malang, Madura, dan Surabaya.

Aliran alternatif ini menginginkan adanya revolusi generasi penyair Jawa Timur. Mereka menolak penyairpenyair terdahulu dan menawarkan generasi-generasi mutakhir. Meski,generasi mutakhir yang ditawarkan belum memiliki karier panjang. Beberapa penyair alternatif yang coba ditawarkan seperti Abimardha Kurniawan, Fahmi Fakih, Dadang Ari Murtono, Amal Sejati dan lainnya.

Dalam kredo berjudul ‘Regenerasi Penyair Jawa Timur‘, Puput Amiranti menyatakan, apa yang terjadi jika generasi-generasi yang terdahulu tetap berada pada posisi kepemimpinan di atas,sesungguhnya yang mereka lakukan bukanlah memberikan arah baru atau memberi petunjuk yang lebih baik di masa mendatang melainkan kenikmatan- kenikmatan memorabilia kejayaan mereka dulu yang pernah melegenda namun sekarang tinggal rangkaian cerita yang kerap diulang-ulang.

Puput pun menyuarakan lahirnya generasi muda sastra yang berusaha berdiri di atas pemikiran sendiri tanpa dibayang- bayangi penyair-penyair terdahulu.Aliran alternatif ini meyakini,penyair-penyair muda yang lepas dari penyair-penyair sebelumnya memiliki potensi estetik yang besar dan layak diberi tempat. Ketiga aliran ini merupakan penghuni sah dari peta perpuisian Jawa Timur. Namun yang perlu diingat, sebagai sebuah provinsi para penyair (meminjam isilah kritikus Ribut Wijoto), Jawa Timur haruslah bisa menyemaikan lebih banyak lagi aliran puisi.

Saya meyakini,selama kelompok sastra ini bisa berdialog kreatif tanpa saling membunuh, beberapa tahun ke depan akan bermunculan lagi aliran-aliran baru puisi Jawa Timur. Semoga.

F Aziz Manna, Penyair, anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). 


NB : Esai ini tayang pada Harian Sindo regional Jatim pada 12 Maret 2012. Ini esai sempet jadi guyonan pada awal tahun 2012. Karenanya, saya menganggep ini esai yang lucu sekaligus lugu. beruntunglah, cocot si Aziz gagap ini bisa dibersihken dan dibungkem oleh esai kawan saya Arfan Fathoni yang muat di Radar Surabaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI