Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Dody Kristianto di Kompas, 12 Agustus 2012

Di Depan Petarung Tanggung

Tahan. Redam ancangan dan jurusmu menjelang sabetan pertama itu tiba. Jangan lupa menyimpan satu pitingan secepat kerjap yang membuat para jawara

terbangun dari tidurnya.  Kuda-kudamu tentu matang sungguh. Kau yang telah menjalani pertarungan tanpa jeda dengan pesilat berjurus munyuk dan pendekar bertoya buluk.

Telah kau jalani

Hingga kau mengerti benar arti menerima pukulan atau bagaimana menjamu tendangan yang bertandang telak di tepi wajahmu.  Kau yang belajar

tentang sakitnya kalah. Tentu bukan ancaman,  sekumpulan cecunguk dungu yang mengumbar kelewang dan sesumbar menyeru namamu.   

(2012)

Mengamati Tiga Jurus

kau yang belia, pendaras kitab yang setia
tidak sia-sia jika jawara tua itu
menghardik namamu dengan lantang
sembari menunjukkan tiga ancangan
menghajar

agar kau yang muda senantiasa berjaga
dan menerka mana jurus yang kelak
dapat kau ikat dalam raga

dia guru dan seteru yang sempurna
persiapkan dirimu
sebab kau akan tahu
bagaimana cakaran elang
kehilangan koyakannya
atau ketenangan siasat ular
tak berdaya di depan kekangannya
berjagalah, buat tatapanmu siaga
dan menerka kuda-kuda apa
yang  ia tunjukkan

mungkin ancangan ekor naga
gerak gelebat gesit liat
yang tak mudah dibebat
meski tombak terpanjang
mengancam di hadapan
ia sungguh tak dapat diredam
dan diredakan
gerak yang sungguh tangguh
yang dipungkasi dengan sekian
rangkai tinju

bisa juga, ia membimbingmu
dengan kekukuhan tapak beruang
geraknya yang lambat, yang amat
mengingat langkah dengan cermat
percayalah, segala pukulan tak berdaya 
di depan tubuh mahakuat,
dengan urat-uratnya yang tegap
yang sanggup melumpuhkan 
tindakan segerombolan penyerang

tak akan lengkap jika tak kau tangkap
satu jurus pamungkas : tingkah lihai kera
yang tangkas dan sukar ditebak
kau tak akan tahu dengan cara apa
tiba-tiba dia mengelak
kemudian tanpa duga melakukan hentak
kau tak akan mengira, sebab inilah siasat
yang mahir menyimpan segala gamparan,
tendangan, atau pitingan
kala cecunguk yang sesumbar 
mencoba menyerang, menusukmu
dengan sebilah kelewang

(2012)

Kunyuk Melempar Buah

yang tentu matang
bersama kuda-kuda
adalah segala tenaga
yang berlintasan
di sekitar

yang tak diurai mata
yang telah dipecah
dan siap dihempaskan
di depan jemawa
yang menantang

kau yang mengenal
segala ikhwal pencak
dari kembara gila itu
juga satu siasatnya
yang dapat melumpuhkan
para penyerbu dari langkah
sekian jauh

tentu ia tuntunkan padamu
putaran untuk menjinakkan
angin
ia ajarkan perihal memuntir
gerak tiba-tiba itu
lantas amati bagaimana
sepasang kaki melangkah
lincah
memijak dan mengentak
tanah

agar yang di bawah
mengirim dayanya
daya yang memberi
sebuah kekukuhan
pada lesatan pukulan
yang akan diarahkan
ke semua arah

(2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI