Oleh Arfan Fathoni*
MENYIMAK esai F Aziz Manna yang berjudul “Tiga
Aliran Puitika Jawa Timur” sangat terasa sekali bahwa para kritikus (atau
pengamat?) sastra kita masih gemar dengan kanalisasi dan dikotomi, membagi-bagi
masyarakat menjadi beberapa blok. Di satu sisi, hal ini dapat memudahkan kita
dalam mengidentifikasi, lebih-lebih meneliti secara mendalam sebuah kelompok
dan estetika yang diusung suatu kelompok. Namun, di sisi lain, pendikotomian
itu tak pelak akan menimbulkan pola-pola pemikiran bahwa hubungan dalam sastra
ternyata kurang lebih sama dengan hubungan gangster. Di mana, seseorang harus
bergabung dengan seseorang yang lain untuk menghadapi kelompok lain.
Aziz membagi aliran puitika Jawa Timur dalam tiga kelompok besar
: aliran para pemilik teguh puisi gelap, aliran para peyakin puisi terang, dan
aliran alternatif penganjur suara-suara lain yang dipelopori oleh W Haryanto.
Pembagian ini sendiri sudah mengesankan hal yang berbau Surabaya-sentris.
Artinya, pembagian ala Aziz juga menunjukkan bahwa dua kelompok besar yang
“eksis” berada di Surabaya. Sementara kelompok lain yang berada di luar
Surabaya, condong diremehkan dan harus rela ditaruh dalam satu aliran yang
diembel-embeli sebagai “alternatif”.
Aliran puisi gelap sendiri adalah aliran yang dipelopori
sebagian besar eksponen Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) dan
Teater Gardu Puisi (Gapus). Oleh Arif B Prasetyo, aliran ini dikatakan
memberikan kontribusi pada sastra Indonesia kontemporer. Aliran puisi gelap
konon mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar kepekatan dan kemabukan
yang belum pernah terpampang dalam khasanah puisi dari berbagai provinsi lain.
Dalam kesempatan lain, salah satu anggota dari aliran ini, Indra
Tjahyadi, pernah mengungkapkan manifesto puisi gelap di mana tugas penyair
adalah menyelamatkan manusia dari kejatuhan mengerikan ke jurang kebanalan
dunia. Untuk itulah, puisi harus didorong ke arah pemaknaan yang paling ambigu,
yakni dengan menggelapkan makna.
Tugas penyair dari dulu memang selalu ambigu. Di satu sisi, ia
memfungsikan dirinya sebagai perombak peradaban atau meminjam bahasa Octavio
Paz, membawa suara lain. Di sisi yang lain, penyair tak lebih hanya sebagai
pengkhayal, sekumpulan (dan ini yang sangat parah) pengangguran yang bahkan
untuk menyelamatkan dirinya saja harus berharap pada kebaikan orang lain.
Melihat kondisi terkini, sangat mungkin sebagian besar pelaku sastra di
Indonesia dapat kita masukkan ke dalam golongan terakhir.
Entah, ketika Aziz menulis esai tersebut apakah ia dalam keadaan
sadar. Bahwa ia adalah salah satu bagian dari Forum Studi Sastra dan Seni Luar
Pagar (FS3LP) yang mengusung puisi gelap memang benar. Akan tetapi, dalam
Festival Seni Surabaya 2010, bukankah Ribut Wijoto selaku PO Sastra menulis
bahwa puisi-puisi Aziz sudah melampaui tradisi puisi gelap (dalam bahasa Ribut
adalah post-puisi gelap). Secara estetika pun, puisi-puisi Aziz menolak
mengekspos panorama kegelapan jiwa yang dikatakan oleh Arif B Prasetyo sebagai
landasan puisi gelap.
Lantas, bukankah Mashuri, salah tokoh gerakan puisi gelap, juga
sudah mulai meninggalkan kegelapan puisi ala Luar Pagar ini? Dan Indra Tjahyadi
yang menjadi pengusung “Manifesto Puisi Gelap” kini lebih banyak
mengeksploitasi sisi dukalara, kesedihan, dan mendung perasaan seorang manusia.
Dalam ulasan Arif B Prasetyo, kecenderungan ini mengakibatkan puisi Indra
menjadi semakin terang. Ribut Wijoto, sebagai juru bicara gerakan puisi gelap,
ternyata juga menulis puisi yang tak dapat dibilang gelap. Lantas apakah masih
kontekstual jika para tokoh di atas dilabeli sebagai pengusung puisi gelap?
Sangat disayangkan, Aziz mungkin agak abai membaca perkembangan
generasi penyair terkini yang tumbuh di lingkungan Unair Surabaya. Sebagai
tempat kelahiran dan penggagas puisi gelap, mazhab ini mulai luntur dari dalam.
Bacalah penyair-penyair muda dari Unair semacam Ayu Kartika Dewi, Abimardha
Kurniawan, Asril Novian Alifi, Sonny Alfansa, sampai Mamik Bo Wijaya.
Puisi-puisi mereka juga mengangkat hal remeh temeh yang dikatakan Aziz banyak
digarap oleh penyair dari Komunitas Rabo Sore.
Pemberian label terang pada penyair-penyair yang bernaung di
dalam Komunitas Rabo Sore (atau Unesa pada umumnya) juga tidak sepenuhnya
tepat. Pada perjalanan awal kepenyairannya, Dody Kristianto menolak konsep
puisi komunikatif dan terlarut dalam penggelapan makna sebagaimana
dieksploitasi oleh para penyair Luar Pagar. Puisi-puisi Dody yang terpublikasi
dalam antologi tunggalnya Lagu Kelam Rembulan (SARBI, 2012) setidaknya
menunjukkan itikad tersebut. Selain itu, puisi-puisi yang ditulis oleh Heru
Susanto dan GS Wijaya dari Forum SARBI (yang notabene juga berkuliah dan berproses
di Unesa) juga menunjukkan kecenderungan bergelap-gelap ria. Akan tetapi,
sangat disayangkan bahwa ketiga penyair Forum SARBI ini tidak mau
memproklamasikan dirinya sebagai penyelamat umat manusia dari kejatuhannya.
Maka, dalam satu kota sangat mungkin terdapat lebih dari satu
estetika. Dan sebenarnya sangat disayangkan, Aziz memotret perkembangan ini
berdasarkan data di atas meja. Aziz kurang memiliki ketekunan sebagaimana yang
dilakukan oleh W Haryanto yang selama ini, turun langsung ke bawah dan
mengadakan diskusi dengan komunitas-komunitas yang hidup di daerah.
Apa yang ditulis oleh Aziz tentu sangat berisiko jika diletakkan
sebagai panduan terkini untuk membaca gelagat sastra Jawa Timur. Ya, tiga
aliran yang dibaca oleh Aziz ini hanya sebatas data-data di atas meja dan
kurang elok jika harus dilabeli sebagai dunia puisi Jawa Timur dalam konteks
yang utuh.(*)
*)
Fungsionaris Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).
Komentar