Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Dody Kristianto, Majalah Horison Maret 2012

 
Padri
 
kamilah yang gemar membaca doa-doa di larut petang sebab kami percaya, sebagian dari kami tersimpan dan menyimpan diri di lubuk kata. sewaktu-waktu, malam akan memanggil kami, mungkin sebagian dari kami, untuk menjadi lentera di celah sunyi ini, di hati dalam yang tak pernah kami raih

kami senantiasa menghapal kata-katanya, meraba makna satudua kalimat yang biasa kami baca. sebab kami tahu kata, kalimat itu perlahan menjauhkan kami dari sepi, dari hantu yang terlampau sering jadi bayang-bayang kami, dari ingatan yang bersembunyi di kiri kanan kami. sebab menjelang pagi, kata-kata yang kami anggap sebagai doa itu kami dengar pelan-pelan menghilang. kata-kata itu berubah rahasia paling diam

2011

Penunggu Lilin
 
Yang berdiam di depan kami. Terima kasih. Sudah kau temani saat-saat terakhir kami. Saat-saat ketika kuncup sudah kedip mataapi kami dan telah tampak segala terang di depan kami. Terang yang membuka pintu surga di hadapan kami.

Kau iringi hidup sementara kami dengan syair-syair suci. Syair yang kau panjatkan pada leluhurmu. Pada arwah-arwah yang sesungguhnya tak pernah berkunjung padamu. Tapi kau selalu menunggu mereka sewaktu-waktu. Mungkin sewaktu-waktu mereka kembali ke bumi tapi bukan karena rindu namamu.

Terima kasih.

Kini terimalah cinta terakhir kami : wujud luluh kami yang tak lagi tinggi hati

2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI