Langsung ke konten utama

Multikulturalisme : Basquiat yang Mendobrak Andy Warhol

esai Faisal Kamandobat
Kita buka perbincangan multikulturalisme dengan menyebut nama yang tak asing lagi: Jean Michel Basquiat. Mungkin tak ada yang menyangka dia akan menjadi legenda seni rupa. Basquiat lahir dari keluarga negro-Amerika yang berantakan dan tumbuh di lingkungan yang sama. Kasarnya, ia tak memenuhi syarat sukses menurut ukuran borjuis kulit putih: lahir dari keturunan baik-baik, menempuh pendidikan dengan nilai bagus, dan lulus dari universitas yang diperhitungkan.
Akan tetapi, Basquiat lahir ketika perbudakan dan rasisme diolok-olok, nilai konservatif kelas menengah mulai ditinggal perubahan sosial yang gegap, dan sikap akademisme kaku jadi bulan-bulanan kompleksitas sosial. Kemunculan Basquiat dibentuk konteks itu, dengan lukisan-lukisan khas ekspresi kaum negro: coretan grafiti, ikon-ikon acak serupa ragam hias primitif, figur-figur anatomi mahapincang, dan warna yang bikin pusing pelukis realis jempolan.
Tema-temanya pun tepat dengan bentuk visualnya: candu, blues, jazz, puisi-puisi liar dengan huruf sama liarnya, serta berbagai ikon tradisi kulit hitam.Ukuran estetika seni rupa modern khas Eropa yang menempatkan individu genius penemu konsep universal lewat permainan garis, bidang dan warna, tentu risi dengan ekspresi seniman seperti Basquiat yang tak mengikuti tahap pembelajaran seni modern. Siapa dan di mana pun—tanpa melewati tahap-tahap itu—jangan harap masuk sejarah seni modern.
Namun, setiap kultur punya tradisi pengetahuan dan seninya sendiri (Negro, Hispanik, Kreol, Anglo-Saxon, dan seterusnya). Memaksakan klaim universal seni modern tak ubahnya mereduksi bentuk topeng Afrika berdasarkan prinsip geometri Euclid. Dan lukisan-lukisan Basquiat adalah “bentuk lain” di tengah universalitas modernisme yang tunggal itu, beriringan dengan gerakan antirasisme, feminisme, dan seterusnya.
 
Ekonomi nilai
Membaca Basquiat dari rasisme, meski tak terhindarkan, terasa sentimentil dan kuno (meski rasisme terang-terangan masih jadi bagian sah ketaksadaran kolektif zaman sekarang.) Lebih luas dan aktual membawa Basquiat ke ruang urban, di mana estetika seni modern khas Eropa dengan gaya scientific-nya mulai digeser estetika representasi yang muncul di ruang publik kapitalisme pasar. Pada babak ini, aktor utamanya bukan Basquiat, melainkan si feminin Andy Warhol.
Menghadapi para pelukis Eropa berkarakter filsuf-ilmuwan, Warhol melakukan diplomasi artistik elegan dengan tidak mengikuti logika kompetitornya. Baginya, melukis bukan olah intelektual abstrak serupa matematika atau fisika yang mencari konsep dasar geometri semesta dan realitas, melainkan upaya memotret perubahan sosial historis.

Lukisan Basquiat
Lukisan Basquiat

Beda dengan Matisse yang berkeras mencapai garis esensial, atau Picasso yang mendistorsi geometri formal, atau De Chirio yang menangkap (sambil mengkritik) dimensi fisis-matematis manusia lewat lukisannya, pula Dali dan Ernst yang menelanjangi realitas lewat surealisme, Warhol berusaha membedah kondisi manusia kapitalistik. Bagi Warhol, bukan matematika atau fisika, filsafat atau ideologi yang mengubah manusia dan dunia, melainkan modal.
Toh, tanpa modal, fisika, matematika, filsafat, atau ideologi (juga seni rupa!) tak menghasilkan teknologi, sistem nilai, dan jenis budaya yang masif dan populer. Warhol melukis Kennedy dan Marilyn Monroe yang jadi ikon dunia berkat media, Coca- cola yang mengubah pola minum sekian persen umat manusia, sepatu dan tas yang maknanya melampaui fungsinya. Pula Jackie Kennedy yang dengan gaya glamour-konsumtifnya mengubah karakter aristokrat-puritan para politisi Gedung Putih.

Marylin, Andy Warhol
Lukisan Warhol, Marilyn Monroe

Temuan Warhol segera dirayakan kelas menengah Amerika. Bertahun-tahun negeri ini tak mampu menghadapi Eropa dengan kepala tegak. Kultur, sejarah, dan seni mereka dianggap sekadar catatan kaki benua itu.Berkat Warhol, Amerika tak lagi grogi menghadapi negeri-negeri Eropa kontinental, khususnya yang menjadi laboratorium aktif seni rupa modern, seperti Perancis, Belanda, dan Italia.Peran negaraSeni khas Amerika lahir dari realitas khas negerinya, di mana kapitalisme membentuk relasi imigran dari berbagai bangsa. Bukan agama dan etnik yang memengaruhi ikatan sosial khas Amerika, melainkan kapitalisme.

Perbedaan budaya digeser dari antarsuku, bangsa, dan agama, ke perbedaan selera produk konsumsi. Paradigma pluralisme tak memadai lagi karena itu lahirlah multikulturalisme.
Dan multikulturalisme memang cocok pada masyarakat kapitalisme lanjut, di mana seluruh aspek kehidupan telah tereduksi pada nilai modal (beda dengan kapitalisme industri di mana seluruh aspek kehidupan belum terekonomisasi).
Dalam kapitalisme lanjut, peran lembaga sosial tak sekuat lembaga finansial. Pengaruh pakar pemasaran, iklan dan bintang film lebih nyata dibandingkan dengan menteri pertahanan, politisi, apalagi birokrat. Multikulturalisme memahami budaya sebagai pilihan konsumsi individu (seperti musik, film, olahraga, dan mode) serta bukan konstruksi “genetik” sosial historis (seperti ras, bahasa, agama dan etnik).
Namun, multikulturalisme menyimpan dilema. Kemunculan Basquiat dengan lukisan-lukisan grafitinya yang “mencoret” ikon- ikon budaya pasar Warhol menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalisme lanjut, kendati seluruh aspek kehidupan telah tereduksi menjadi nilai modal, tidak semua kelompok sosial mendapat akses finansial yang sama, persis seperti dialami kaum negro Amerika.
Basquiat menelanjangi visi estetik Andy Warhol dan sekelompok ilmuwan sosial yang demi menjaga ketertiban di lingkungan urban melahirkan jenis seni dan teori sosial mengenai kelompok yang diuntungkan sambil mendiamkan atau menyisihkan mereka yang tertindas dan dirugikan.
Yang menyelesaikan persoalan ini tidak cukup dengan hanya memberi ruang representasi sosial kepada yang dirugikan (subaltern), tetapi juga memberi akses finansial yang memadai. Dalam hal ini, peran negara (khususnya ekonomi) diperlukan sejauh pada batas yang wajar. Tanpa itu, setidaknya ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, suasana tertib “multikultural” hanya permukaan belaka, tidak menyentuh substansi sesungguhnya. Kedua, kapitalisme lanjut akan mengalami krisis karena jika seluruh ruang telah dijejali lembaga-lembaga finansial, krisis sosial akan terbungkam.
Padahal, kapitalisme membutuhkan kontrol sosial jika tak ingin bangkrut seperti anaknya yang heroik: komunisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...