Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Dody Kristianto di Koran Tempo 21 Oktober 2012



Pencak Walang
sungguh perilaku santun itu
menyimpan racun, menyimpan segala
yang akan meredupkan degup jantung
kala serangan pertama tiba
ia memang gemar datang tiba-tiba
kamu tentu akan terpesona dengan awalan
yang ia tunjukkan
sungguh tenang, begitu tenang
dan tak akan gegar
pada gertak para penghadang
ia yang kamu kira bercakar
sebenarnya hanya mengandalkan genggam
genggaman terkencang, genggaman
yang kamu pandang sederhana saja
namun ia dapat menyobek belulangmu
dan membuat tulangmu tampak di luaran
kamu yang tak waspada, tentu menduga
perilakunya remeh saja
siap-siap saja menerima sentakannya
di kepalamu
yang akan membuatmu rubuh
dan tak akan mampu kamu mengingat lagi
arak apa yang kamu tenggak pagi tadi
(2012)
Mengumpulkan Tenaga Dalam
Tentu tuntas jika jurus itu langsung
menyentuh jantung atau paru yang kamu lindungi.
Tapi, ia lebih memilih bersabar. Ia menyatukan
segala di sekitaran : kayu, api, air, tanah, logam,
semua yang tiba dari atas, bawah,
samping kiri, kanan.
Bahkan, ia tetap diam bila sepasukan berkuda
melaju bersama, mengarahkan apa yang mereka
genggam ke penjuru badan.
Ia bergeming.
Tapi ia tahu, sungguh tahu
kapan ia akan melangkah,
langkah-langkah serupa dalam kitab
yang ia simpan di ingatan.
Langkah seorang perenung, yang pasti
tak takluk pada sebatang tombak.
Ia tahu, bila tusukan hanya sekadar arah
yang layu bersama angin.
Ia mengerti bila sayatan tak lebih
dari lempeng besi yang lemah
di depan dada.
Sampai ia merasa, segala di sekitaran membaja,
menjadi satu gerak yang akan menghantam,
yang pasti keras, melebihi kekerasan baja
yang kamu tempa
(2012)
Menantang Sang Badra
pasti kau menyangka
pertarungan ini singkat
dan tak imbang
kau mengayun gobang
dengan baju baja
yang tak akan mempan
ditembus segala logam
sangat lantang menantang ia,
yang selalu tenang,
yang melangkahkan kaki
dengan tuntunan angin,
dengan bantuan segala bunyi
yang tak dapat kau ikuti
telah kau gelar jurus termahirmu,
siasat andalan, juga polah gobangmu
yang ingin mengupas kulitnya,
juga segala awalanmu
yang sudah menganggap ia tumpas
dalam sekali tebas
semoga saja kau tak salah
menata langkah
ia yang terlihat diam
sudah mengira
dengan ancangan apa
kau akan menyerang
dengan jurus tusukan
yang terbagi dalam tiga bayangan
atau semacam sabetan
yang menimbulkan
sepasang gelombang tipuan
kau tak mengira bukan
ia mengenali semua
dari entak kakimu
ia juga mengerti
dengan langkah apa
ia membikinmu jatuh
seketika kau merasakan bau tanah
dan membuat sepasang matamu
tak lagi dapat dibuka
ia benar mengerti titik lemahmu
sejak kau ucap sumbar pertama
dan telinganya dengan sabar
menangkap getar gertakmu
(2012)
Membangkitkan Pesilat Kadal
Kamu yang melepas langkah dari musim semi
yang lantang menantang jawara di tanah selatan
tunggulah tunggu. aku yang telah kamu taklukkan
sekian petang lalu akan menumpahkan dendam.
Aku, yang sudah berguru pada pesilat sepi
di pucuk gunung itu, menyimpan beragam siasat
dan hantaman yang tak pernah kamu rasa sebelumnya.
Lidah racunmu takkan sanggup menyengat aku lagi.
Telah kutempa beraneka ilmu kulit kebal,
mulai dari ajian badak hingga perihal belulang buaya.
Jika kamu gunakan tenung pamungkasmu, aih,
tak akan gentar, aku tak gemetar. Segala pukulan gaib
dan jurus tameng selubung tubuh aku pegang penuh.
Hingga tak gegar aku tamatkan bermacam sesumbar,
semua pendekar yang berlalu di depan pandang.
Termasuk engkau, yang menepi dan sembunyi
di padasan rawa-rawa kering 
(2012)
Tentang Tarung Terakhir
Yang berlalu bersama sajak
tentu tak cuma tombak
kapak dan segala yang tak bijak
akan turut beranjak.
Juga ia, sang jemawa yang mennyambut laga dengan pencak mahagalak. Aih, jawara selatan, yang tak mempan ditembus segala tajam, yang tak hangus dijilat lidah panas. Datang. Datanglah seliat dan segila peneguk arak.
Malam ini tarung penghabisan. Kita gelar semua jurus : gerak ancang, pukulan, tendangan, cabikan, hingga semua pitingan yang kau kulik dari hikayat kitab kerahasiaan.
Pukul di samping dan kau mengelak,
cakaranmu berbuah garis,
tapi tendanganku berakhir lebam
yang tak dapat kau sembunyikan.
Bila bulan itu tak lagi bundar di mata, segera akhirkan saja pertarungan. Langkah panjang tak sanggup lagi kita lakukan. Hunuskan, tembuskan segala pedang atau gelar saja sengat berbisa yang tak mungkin lagi diterawang mata.  
(2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI