Langsung ke konten utama

Perihal Musim Ketiga Rabo Sore

Dody Kristianto

Semacam Pertanggungjawaban
Pertama, saya akan selalu mengelak dan menolak sebutan kurator yang dialamatkan pada saya, yang menyeleksi puisi-puisi dan cerpen dalam kumpulan ini. Tersebab, memang bukan kapasitas diri saya dan saya menganggap tugas saya hanya sebagai penyeleksi puisi yang akan ditampilkan dalam buku ini. Tugas kuratorial harus memiliki satu konsep mengenai isi buku atau garis besar yang akan ditampilkan kepada khalayak luas.
Sementara, saya masih ingin berbicara sebagai penikmat, sekadar penikmat, dengan konsep yang tentu sangat subjektif. Konsep yang saya yakini dalam membaca puisi dan cerpen. Maka saya hanya berposisi sekadar sebagai pembaca yang diberi kewenangan lebih untuk menentukan puisi-puisi yang akan dimuat dalam buku kumpulan puisi Rabo Sore ini.
Kedua, buku yang akan saya seleksi materinya ini adalah buku kumpulan puisi dan cerpen Komunitas Rabo Sore, komunitas muda namun dengan sejumlah pencapaian yang dapat diperhitungkan pada ranah sastra lokal maupun nasional. Pernyataan ini tentu dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan dengan  pemuatan karya para anggotanya pada media-media yang dipandang sebagai kanon sastra baik lingkup lokal atau pun nasional. Pemuatan karya para anggota Komunitas Rabo Sore tentu menunjukkan kualitas yang tidak semenjana. Setidaknya, karya para anggota Komunitas Rabo Sore, khususnya puisi, dipandang memberi penyegaran pada ranah kesastraan, terlebih mendobrak kondisi beku perpuisian di Surabaya.  
Ketiga, saya bekerja dalam kondisi yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Dibatasi oleh ruang sebab akhir-akhir ini saya memang sangat jarang, atau malah tidak pernah, mengunjungi diskusi rutin Rabo Sore. Hal ini menyebabkan saya mungkin tidak mengenal sebagian besar penyair dan cerpenis yang akan ditampilkan dalam antologi ini, bacaan-bacaan apa saja yang pernah mereka baca, serta bagaimana proses mereka dalam berkarya.
Setidaknya, saya mencoba beradaptasi dengan mereka melalui interaksi yang rutin atas teks-teks mereka yang selanjutnya saya baca dan salami. Selanjutnya, hal positif yang bisa dipetik dengan jarangnya saya berinteraksi dengan teman-teman Rabo Sore adalah objektivitas dan amatan saya terhadap karya dapat dijaga (meski hal ini tidak mutlak dan akan selalu dapat diperdebatkan).
Saya juga dibatasi oleh waktu yang sangat sempit dan menghimpit. Dari sekian banyak karya, saya harus dapat menentukan dengan cepat karya-karya mana yang layak, tentu menurut subjektivitas dan selera pribadi saya selaku penyeleksi, untuk dihadirkan dalam buku kumpulan puisi dan cerpen Komunitas Rabo Sore.
Para penyair dan cerpenis yang teksnya datang pada saya juga dalam kondisi beragam. Ada yang (semoga) telah mapan dalam hal pilihan pengucapan atau gaya bertuturnya dan mereka yang masih baru bertungkus lumus membaca dan menulis sastra, entah puisi atau cerpen. Puisi dan cerpen yang dikirim pada saya jumlahnya juga tak sama. Seorang penyair ada yang mengirim sampai lima belas puisi, namun ada juga yang mengirim hanya tiga puisi. Begitu pula cerpen,  seorang cerpenis ada yang mengirim sampai lima cerpen. Pengirim hanya satu cerpen saja ternyata masih tetap ada.
Akhirnya sesuai dengan kesepakatan antara saya dan teman-teman lain yang turut bekerja sebagai konseptor dalam pembuatan buku ini, maka diperlakukan ketentuan bahwa batas minimal pemuatan di buku ini adalah tiga puisi dan maksimal lima puisi. Dan pengiriman puisi tersebut sebenarnya belum cukup. Ada juga beberapa puisi yang saya ambil dari dokumentasi yang saya miliki. Hal ini untuk menutupi kekurangan jumlah puisi yang dikirim dalam jumlah minim. Selain itu, ada beberapa karya dalam dokumentasi pribadi saya yang saya nilai layak untuk ditampilkan sebab pengucapannya, mungkin, lebih baik dari karya yang dikirim via email. Sementara, bagi cerpen diberlakukan satu cerpenis satu cerpen yang dimuat. Tidak menutup kemungkinan seorang penulis bisa mengirim materi puisi dan cerpen secara bersamaan dan akhirnya dua materi itu akhirnya termuat. Sebuah kesegaran ketika buku kumpulan puisi dan cerpen masih sering dipisah dan jarang yang disandingkan dalam posisi setara sejajar.
Dengan demikian, tuntas sudah tugas saya sebagai penyeleksi puisi dan cerpen untuk buku ketiga keluaran Komunitas Rabo Sore.

Merekam Rentang
Buku kumpulan puisi ketiga Komunitas Rabo Sore ini memiliki perbedaan dengan dua kumpulan sebelumnya : Album Tanah Logam dan Duka Muara. Dikatakan berbeda sebab bentuk yang lahir kali ini tampaknya ditakdirkan tak sama. Ingat, dua buku terdahulu hanya sekadar memuat puisi, sementara buku ketiga ini memadupadankan antara puisi dan cerpen. Pun buku ini nampang lebih padat dan terasa kolosal.
Para penyair dan cerpenis dalam buku ketiga Komunitas Rabo Sore adalah mereka yang berproses tidak dalam satu waktu alias lintas generasi. Para penyair dalam antologi Album Tanah Logam : A Muttaqin, Alek Subairi, dan Didik Wahyudi berproses dalam satu waktu. Begitu juga dengan Arif Rahman, Akhmad Fathoni, Ashif Hasanuddin, Dody Kristianto, Ilham Persada Syarif, M Sijjib, serta Umar Fauzi Ballah yang menghuni Duka Muara. Mereka sering diasah oleh pertemuan-pertemuan rutin ala Rabo Sore.
Buku ini dihuni oleh dua belas penyair, lintas generasi dan empat cerpenis berbakat. Nama-nama semacam Irna Tantira, Jennita Diah, Riaz Nihlah K, Juniar Wulan, Ahmed Miftahul Haque, Cindy Febrinda Sari, Widhiarti berpadu dengan nama-nama kawakan semacam Endro Wahyudi, Yusuf AH, Tsalis Aziz Alfarisi, Salamet Wahedi, Nasrulloh Habibi, atau AM Waraulia. Hal ini tentu membuktikan jika regenerasi sebenarnya tengah berjalan dalam ruang lingkup Komunitas Rabo Sore. Runtuh sudah sebuah mitos yang berkaitan dengan kesejarahan kampus Unesa sebagai habitat tumbuh-kembang KRS terhadap pergaulan kesusastraan di luar.  Ya, kampus sastra ini acap dipandang dan dihakimi regenerasi sastranya kurang ajeg di masa silam.
Setelah regenerasi dapat berjalan? Nampaknya masih ada satu hal yang masih menggelitik untuk dicermati. Ketahanan dan kekuatan untuk bersaing tidak hanya dengan sesama mereka yang berada di dalam KRS namun juga perpacuan dengan komunitas lain. Seperti teori yang berkali-kali ditahbiskan oleh Charles Darwin : seleksi alam. Para penyair dan cerpenis dalam antologi ini akan berhadapan dengan seleksi alam, baik dari dalam diri si penulis maupun terhadap pengaruh dari luar yang acapkali lebih sering menjadi alasan bagi seseorang untuk undur diri dari dunia kepenyairan.
Setidaknya dalam sebuah buku antologi semacam ini, akan ada satu dua penyair dan cerpenis yang terus melejit menapakkan kaki dan mendapatkan tempatnya dalam kancah sejarah kesusastraan Indonesia, sedangkan yang lain akan jalan di tempat, atau mundur secara perlahan sebab nafas yang dimiliki memang tak panjang untuk menghadapi keras dan terjalnya persaingan di dunia sastra mutakhir Indonesia.
Seperti yang pernah didengungkan oleh Nirwan Dewanto dalam acara sastra FSS 2007, bahwa ia, lebih tepatnya mengacu pada penyair, yang bertahan adalah “ia yang membunuh penyair, tepatnya lembaga kepenyairan, serta menyebarkan khazanah puisi yang layak diselami tanpa batas”, bukan sekadar “gejolak yang gampang mati, selaan kecil terhadap sejarah sastra hingga ia kehabisan tenaga.”
Menengok kembali , pertama, pada puisi dalam buku ini, saya cukup bahagia sebab karya-karya dalam buku ini cukup beragam. Hal ini mengingatkan saya akan pengantar Mardi Luhung dalam antologi Album Tanah Logam, yakni “dalam berproses, meski dalam satu komunitas yang kerap bersinggungan, mereka punya jalur dan pijakannya sendiri.” Tinggal bagaimana kelak para penyair dalam buku ini mau konsisten pada jalurnya atau malah secara naïf mengikuti arus besar perpuisian yang sedang menggelimangi kesusastraan Indonesia terkini.
Terus terang, dunia kepenyairan, sekali lagi dalam kata-kata Nirwan, tidak lebih dari dunia kepengerajinan bahasa. Ya, puisi memang hasil kerja kepengerajinan bahasa. Sebagaimana pernah diretas oleh Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, atau Afrizal Malna yang secara ekstrem berani membuat dan menentukan jalannya sendiri dalam menghadapi bahasa.

Sekutip Kecenderungan : Teruntuk Puisi
Kiranya menarik menyikapi paparan yang pernah ditulis oleh Hasif Amini dalam membuka kumpulan Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), bahwa tradisi lirik dalam perpuisian Indonesia modern tetap bertahan dan berjalan, seolah tak lapuk dan tak lekang oleh musim yang berganti-ganti. Dalam lingkup lebih kecil, lingkup KRS, hal ini seolah dibenarkan dengan muncul dan dipredikatinya A Muttaqin sebagai penyair muda berbakat besar dengan kemampuan menulis lirik simbolis yang peka, lincah, segar dan memikat (Arif B Prasetyo, Rumah Pasir, 2008). Menengok generasi yang lebih muda, nama Umar Fauzi Ballah dan Ashif Hasanuddin juga muncul dengan pengucapan liris untuk meneguhkan eksistensinya di tengah ruang kepenyairan di Jawa Timur.
Sejumlah penyair dalam buku ini juga mencoba mengakrabi pengucapan liris, seperti puisi Jennita Diah yang mencoba dengan ucap lirik yang bersahaja. Meminjam bahasa Hasif Amini, puisi Jennita mencoba membaurkan antara subjek dan sekitar : Waktuku habis untukmu / Mestinya aku lahir sebagai danau / Yang menampung semua air matamu // Atau menjadi lautan / Cukup luas perahumu berlayar / Sedangkan aku // Hanya sulur air yang menunggu / Kembang kemuning beserta lembayung / Jatuh, mewarnaiku (Waktuku Habis Untukmu). Berbeda dengan kecenderungan yang diperlihatkan Muttaqin, simbolisme liris ala Jennita terasa lebih lambat dan ada semacam kesadaran memanunggalkan personalitas aku ke dalam simbol-simbol alam untuk menciptakan lecutan imaji yang segar. Cara yang beberapa tahun terakhir ditempuh kebanyakan penyair Indonesia terkini.
Alam rupanya masih menjadi bidang garapan yang sangat subur bagi sebagian besar penyair Indonesia. Apakah karena memang kultur kehidupan alam agraris yang melingkupi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga termanifestasikan dalam puisi? Puisi-puisi Elisa masih menggumuli alam sebagai bahan pijakan. Jangan Tanya mengapa anggrek-anggrek itu telah layu sebagian / Sebagian lagi masih mekar  tak sepadan / Membuai angin yang meliurkan aroma kematian / Pada lumbung bambu tempatku menyimpan sedikit getaran (Jangan Bertanya Lagi) sampai Ibu selalu memintaku untuk menanam jati pada musim kemarau / Agar rumahku teduh / Seteduh bumi memercikkan hujan disiang hari (Pesan dari Ibu). Personalitas pada alam juga tak kurang menggayuti puisi Ahmed. Namun dengan semacam melankolia tak berujung seperti dalam khazanah puisi-puisi Indonesia di bawah tahun 30-an semacam : daun mulai tak kerasan di ujung ranting / bergoyang lalu berucap salam / melambai sejenak lalu mampir / di beranda sungai; mengiba akan akhir yang indah // namun air terlalu bijaksana untuk menolong, / ia tambatkan daun di sisi limbah plastik manusia / bergelantungan dari ujung fajar hingga akhir senja (Hikayat Daun). Dengan melankoli ala Pujangga Baru, semoga puisi-puisi Ahmed tidak terjerembab dalam melodrama yang panjang.
Bersajak tentang alam pun tampak dalam puisi-puisi Tantira. Akan tetapi, Tantira mencoba bernafas panjang, meski di sana-sini imaji yang ditampilkan juga terlihat kedodoran : Semilir hijau rumput mengarahkan butiran-butiran rindu yang / terkeringkan. Sempat pula alis ini mengkerut menanyakan / kenyanaan yang berkali-kali terungkap, kegagalan kesekian kali. atau Rasakanlah begitu banyak reruntuhan sekam menarik kulitmu / dalam kukunya menyibakkan sedikit goresan tentang cerita / kegagalan burung sawah memangsa sarinya, menandakan / kemerahan pada kulitmu. Ingatlah luka itu pernah kau goreskan (Kan Kutinggalkan kau di sini dalam hiruk pikuk musim panen). Selain bermain-main dengan alam, puisi Tantira juga berbicara dan meracau mengenai masalah sosial. Semacam protes tapi dengan bahasa yang lebih santun daripada spanduk atau poster : menelusuri gerbong berbekal sapu lidi / bersaing  dengan segerombol / bukan untuk mimpi yang semalam / terjalin dengan liur / atau cita-cita yang telah tersusun / dengan seragam rapimu / tapi nilai kenyang buatku dan pemuda itu / berbeda denganmu (Kisahku Tak Panjang,). Jika terus membaca dan membuka diri terhadap khazanah puisi terkini, baik lokal maupun internasional, bukan tak mungkin Tantira akan menjadi penyair dengan nafas panjang dan masih akan terdengar sampai lima tahun ke depan.
Mencoba membaurkan fantasi, racauan, dan teriakan untuk menyikapi keadaan sosial sepertinya menjadi pilihan bagi Endro Wahyudi. Hanya saja, Endro memang ingin berteriak dengan sopan, tanpa harus menyinggung siapa yang harus ia teriaki. Puisi endro bisa jadi mungkin lebih menyerupai esai yang menyaru sebagai puisi, semisal : “ayah, di beranda tadi, saat matahari membelalakan warna cahaya keemasan. Aku melihat, / cengkerama dan pergumulan mereka dalam tubuhku. Terasa seperti ibu menyiramkan makna / cintanya dihatiku. Apakah semua itu ayah?” dan “ayah bolehkah aku meminum sari cinta dari mereka. Bukan aku dahaga. Tapi ku / menginginkannya. Ada yang aku harapkan: membawa cinta mereka, pada teman-teman mainku / di sekolah.kan kukabarkan selalu sebagai doa. Bukan doa-doa yang membeku seperti batu.atau / doadoa keras yang beringas.” (Monolog Cinta dari Anakku). Membaca larik yeng demikian, mau tidak mau menautkan ingatan kita pada era peralihan politik di mana batu dan tindakan keras menjadi sangat efektif untuk menyampaikan sesuatu.
Sentimentalisme ala masa remaja nampaknya menjadi hal yang tak terhindarkan dalam antologi ini. Masa remaja yang begitu singkat menciptakan bahasanya sendiri, bahasa melankolis picisan yang menggambarkan keinginan dan harapan akan sesuatu. Inilah masa ambang. Dan puisi Nisa bisa menggambarkan hal itu : Lelaki kecil berwajah tampan / Senyummu sangat kuhafal / meskipun / Tak ku tahu namamu / Tapi aku selalu setia / menjadi bayangmu (Lelaki Kecil). Juga puisi AM Waraulia : malam akan tetap kelam / noktah terus memerah / kisah akan selalu diasah // namun, malam akhirnya tenggelam / hingga kau kan terlelap / dalam (Ini Puisi Untuk Kekasihmu) dan puisi Riaz : senang / melihatmu merindukanku / senang / kaumenungguku / senang/ kautangisi tangisanku (Kau). Adakah yang salah jika puisi-puisi melankolis semacam itu ditulis? Tentu tidak. Hanya saja masa remaja adalah masa ambang yang pasti akan berlalu dan puisi-puisi semacam ini pasti akan mudah terlewati begitu saja tanpa benar-benar sempat mewariskan jejak panjang.
            Kembali pada mantra menjadi cara yang coba dilakukan oleh Yusuf AH untuk mencapai kesegaran bahasa. Meski tidak seekstrem yang dilakukan oleh Sutardji, Yusuf menembaki imaji-imaji liar yang berseliweran dan membingkainya dalam khazanah mantra. Puisinya juga masih mengagungkan kelirisan dan realitas dunia agraris. Aku tumbuh dari pelir anjing, pelir kambing, pelir monyet, pelir / musang, pelir tikus yang menabuh suara pelog hingga ke pelosok / gelagah. Lalu Mar mati / Kakang kawah / Adi ari-ari / Darah dan / Pusar // Ku bakar dupa seribu aroma melepuh angsana / Ku pilin seribu angsoka menceruk raksa / Ku angon sejuta domba meneluh mantra / Ku anyam sekepal rindu menyilet labu (Astaka Carang). Puisi-puisi Yusuf juga menawarkan kerumitan dan kekhusukan suasana magis nan sufistis yang mendayu-dayu, walau beberapa kali ia terjebak dalam kabut dan kegelapan bahasa : Oi, anak-anak gerimis bernyanyilah dengan tambormu, petiklah / gitarmu, tiuplah serulingmu. Antarkan kami ke negeri labu. // Oi, anak-anak gerimis teteskanlah liur rindumu, basahilah punggung- / punggung kami dengan airmatamu, kecuplah mulut-mulut kami / dengan mulutmu. Sejukkan kami dengan // nyanyian-nyanyian peri. Masuklah ke bilik rongga rindu kami / agar tak lagi ada mimpi yang selalu mengiri rona melati / di puri kasturi. (Pengembara Lumut).
            Bertutur dengan gaya lugas menjadi pilihan bagi puisi-puisi Wulan. Bisa jadi puisi Wulan ingin bertutur dengan tatapan mata yang sangat lugu semacam : Begini ni jika semua lelaki dikatakan lata oleh para wanita / pemuja pria. Semua dianggap sama derajatnya. Bisa untuk / gelitikan, pajangan, bahkan iuran arisan (Lelaki Rumpun Kelu). Di sisi lain, puisi Wulan juga merayakan kerumitan dunia keseharian nan jauh di sini. Subjek-subjek dalam puisi Wulan serupa pendongeng yang bercerita mengenai kekacauan dengan bahasa yang sangat pelan : Kini aku berani berkata, “Inilah aku, yang mulai tumbuh / dengan segala cium bumiku, dengan kesederhanaan, / dengan keikhlasan di atas negeri yang selalu dibantai sana-sini. / Namun aku tetap ingin menjadi penguhuni, di sini”. (Jenjam). Ketika kali awal membaca puisi-puisi Wulan, ada semacam harapan jika penyair ini memiliki kemampuan untuk hidup lebih panjang dalam ranah kepenyairan.
            Bermain-main dengan bahasa tampaknya menjadi keasyikan tersendiri bagi Aziz. Kendatipun masih disertai kesembronoan di sana-sini, Aziz menyadari jika puisi memang tak lebih dari permainan bahasa. Sekali lagi, Aziz bermain-main dengan bahasa meski main-main ala Aziz belumlah sampai pada tingkat kepengerajinan. Apabila Aziz berani membuka khazanah dan menjelajah sampai kutub-kutub terdalam, bukan tak mungkin kelak pengucapan puisi Aziz dapat melebihi : Jantung bumi bergetar ketika / si jantan menepuk pelananya / ke perut bumi (Tukang Kusir) atau Butir-butir langit / mengusap empedu // Sedingin sunyi / melukis tentang / kisah di bibir pantai (Pesan untuk Bulan).
            Terakhir, dunia politik, kekacauan, dan orang-orang tertindas ala Habibi mencoba teguh sebagai seorang pemprotes yang tak puas akan keadaan di sekitar. Sebagaimana orang kecil yang tak berdaya, Habibi cukup berpuas diri hanya dengan meledek atau sebagai pencerita yang sama sekali tidak memberi solusi maupun jalan keluar. Dan Habibi hanya Berlindung di rumah retak / tinggal sejenak di pijak / menetap resah, turun dari hingga / detak nadir mulai bergejolak. (Rumah Retak) atau tersudut di kota biru / matanya tak sebatas pandang lepas / kemerdekaan dan nyanyiannya // melayang // di medan pertempuran (Pelataran Sabil). Puisi-puisinya memang sekadar menadarusi kondisi timpang dan tidak ingin terjebak sebagai hero atau peneriak lantang ala Rendra dan Wiji Thukul.

Merayakan Kependekan Ruang : Cerpen
Membicarakan buku ini tentu tak lengkap jika tidak menyentuh empat buah cerita pendek yang turut terpampang di dalamnya. Mengapa? Buku ini adalah satu kumpulan dan meski pemuatan cerpen dan puisi dalam satu buku sekaligus sangat jarang dilakukan dan terasa aneh adanya, tetapi sesungguhnya beberapa buku sudah mulai mengakrabi format semacam ini. Ya, selain lebih menghemat ruang, tampilan semacam ini juga menyegarkan pandangan pembaca. Sesudah berlelah-lelah tenggelam dalam rentetan metafora dan gerumbulan karnaval imaji, pembaca diajak bertamasya menafakuri segala sesuatu yang terasa sangat dekat : dunia yang hanya dipisahkan beberapa millimeter dari kita.
Buku ini menyertakan empat cerpen karya empat cerpenis berbakat dari Komunitas Rabo Sore.  Sebuah hal yang benar-benar baik untuk perjalanan KRS ke depan, mengingat komunitas ini lebih dikenal sebagai “sarang” penyair. Semoga kelak ke depan, jumlah cerpenis dalam KRS akan meningkat, tak hanya seikat semacam ini.
Membaca cerpen tampaknya kita tidak akan beranjak dari pertentangan menggauli realitas sehari-hari dan pergulatan untuk menaklukkannya. Kependekan cerita dan keterbatasan ruang (terutama jika kita pertautkan dengan mainstream percerpenan saat ini, sastra Koran) menuntut cerpenis untuk meringkus dunia terkadang, dalam bahasa Nirwan Dewanto, memaksakan akhir yang serba kebetulan.
Dan nampaknya, para cerpenis dalam buku ini masih mencintai pemaksaan semacam ini. Tanpa harus berniat menggugat apa yang sudah dilakukan oleh para cerpenis, sebuah cerita akan lebih menarik apabila tokoh-tokoh dalam cerpen itu bermain dengan sendirinya dan mengakhiri cerita dengan wajar.
Satu hal lagi bila kita membaca empat cerpen dalam kumpulan ini, realitas nampaknya menjadi dasar mutlak yang diamini oleh para cerpenis. Cerita-cerita dalam buku ini, sesungguhnya, berpijak dari kenyataan sehari-hari dan mencoba melakukan semacam main-main terhadap realitas yang mereka lihat dan hadapi. Apabila dalam kenyataan mereka tidak mampu memberikan sesuatu, cerpen memberikan ruang bagi mereka untuk mengubah dunia sekaligus memenangkan hal yang muskil mereka menangkan.
Eksplorasi jalan cerita yang ditampilkan juga dalam tataran yang biasa-biasa saja. Tidak ada pengolahan unsur-unsur pembangun prosa secara ekstrem. Kita tidak akan menemukan hal-hal fantastis seperti halnya kita membaca cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang terkini. Kita tidak akan menjumpai bentukan-bentukan yang mencengangkan ala Benny Arnas atau detil ganjil semacam Agus Noor. Akan tetapi tak mengapa. Bermain-main dengan realisme masih menjadi sebuah kebajikan tersendiri. Hal ini tentu sesuai dengan kodrat bahwa sastra (baca cerpen) tidak tercipta dari kekosongan.
Mari kita beranjak menengok satu per satu cerpen dalam buku ini. Kita mulai dari cerpen Cindy FS. Sebuah cerita yang sebenarnya biasa, perihal keluarga yang terus ditimpa kemalangan. Cerita khas khazanah sastra lama. Namun yang membuat terasa berbeda adalah ia menampilkan sosok rumah sebagai pencerita, pendongeng yang mahatahu mengenai segala gerak-gerik dan kasak-kusuk yang terjadi di dalam rumah. Jika kita sering mendengar kata-kata indah tentang rumah : rumahku istanaku, maka seharusnya berlaku pula antitesis semacam : rumahku penjaraku atau rumahku nerakaku. Sebagai seorang pendongeng, Cindy bertindak mahatahu dengan menceritakan alur demi alur. Akan sangat nikmat jika ada sedikit kejutan dalam cerita ini.
Selanjutnya adalah cerita pingpong ala R Amalia, cerita yang bergerak antara deskripsi dan narasi, antara harapan dan realitas. Cerita tentang sebuah kota (mungkin) masa depan dan sedikit kondisi kekinian. Mungkin sebuah fiksi ilmiah mini ingin ditulis oleh Amalia. Suatu harapan yang mungkin akan dapat terjadi di masa depan, seperti Borges yang menulis cerita tentang internet jauh sebelum mesin itu diciptakan. Permainan tik-tak ala Amalia ini berlangsung dengan baik sampai terjerembab pada akhir yang sedikit gelap, di mana pembaca awam yang sudah terbawa arus permainan alur ala Amalia ini mungkin akan memberikan vonis mbulet.
Cerita yang sedikit wajar terjadi pada cerpen Salamet Wahedi. Cerita tentang sebuah keluarga yang menjadi sangat terobsesi pada sebuah benda, hingga akhirnya benda itu bertransformasi menjadi musuh yang harus disingkiri, dibuang jauh-jauh dari kehidupan keluarga. Kewajaran yang sejak awal dibangun oleh Salamet lambat laun berubah menjadi semacam absurditas, di mana obsesi tidak wajar terhadap sebuah benda lantas menjelma skizofernia. Dalam hal ini, Salamet mencoba menyelamatkan cerita dengan tidak tunduk sepenuhnya terhadap realisme.
Terakhir, dunia kritik sosial yang ingin diteriakkan oleh Widhiarti. Dengan mengambil setting cerita maraknya ledakan tabung elpiji, Widhiarti seolah ingin meledek kebijakan pemerintah. Sebuah perlawanan khas wong cilik, kata Daniel Tito, jika tidak mampu mengejek cukup memukul saja. Dan percayalah, tugas cerpen adalah semacam itu, bermain-main di antara realitas dan memenangkan (atau malah membunuh diri sendiri). Cerpen Widhiarti mungkin lebih mengena sebagai sebuah esai atau opini tentang kenyataan. Singkatnya, inilah esai yang bertopeng cerpen. 

Epilog
Apakah para penyair dan cerpenis dalam buku ini sanggup meninggalkan gema panjang seperti halnya A Muttaqin atau bergerak perlahan, menapak ke puncak ala Umar Fauzi Ballah dan Ashif Hasanuddin? Kita tak akan pernah tahu. Yang pasti, para penyair dan cerpenis ini masih asyik merayakan jalan yang mereka tempuh dan mencoba meninggalkan tilas bagi para penelusur dunia kepenulisan selanjutnya. Wallahu a’lam bissawab. 

* Dody Kristianto, anggota Komunitas Rabo Sore dan penikmat Sastra Alienasi Rumput Berbasis Independen (SARBI).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI