Wajah Calon Kekasih
Dengarlah hikayat tentang wajah ini.Hikayatnya begini; ia datang dengan tiba-tiba, menggugah gairah dan memacingnya untuk muntah.Setelah itu ia mencipta getar yang teramat indah. Seindah senja di ujung langit yang selalu tampak merah. Tapi ia membuat sang empunya gairah teramat resah. Sebab tanpa diduga tiba-tiba saja menjelma tawa, lalu mendentumkan kisah yang amat mesrah. Dan membuatgetah bila tak hadir, walau hanya jarak waktu sedepa.Tapi ia tetap dijuluki waktu yang sia-siakarena hanya bisa menghasilkan bakal buah, yang tak mampu menebar janji untuk panen dengan hasil yang merekah.Itulah hikayat singkat tentang wajah yang hanya datang menawarkan mimpi.Bukan hujan mantra yang melahirkan aji-aji.
Mojokerto, 25 Oktober 2010
Wajah Kekasih
Wajahnya tiba-tiba saja pecah, meluber di seluruh jiwa. Wajah kekasih mungkin tak pernah basi. Selalu mewangi, seperti bunga melati saat mekar di malam hari yang sepi.Selalu terbayang tiap pikir melayang. Bila menatapnyamembuat hati ini berdebar kencang. Sekencang topan, meruntuhkan tatanan gedung-gedung megah. Tiada yang mampu menolak cinta yang datang dengan tawa dan belai mesrah. Apalagicumbu yang membawa nafas dengan melodi mengebu-gebu. Wajah kekasih seperti waktu yang menjulang tinggi membuat pikir tak mampu mengertitingkah yang dijalani. Siapa pun itu, tak’ kan mampu melogikannya. Sebab cinta, posisinya sedikit di bawah sang Pencipta. Sehingga bila dipikir hanya membuat kita terjungkir dan terpelintir.
Mojokerto, 27 Oktober 2010
Wajah Mantan Kekasih
Sesudah ia mewujud kenangan, wajahnya merupa kuncup-kuncup yang tak lagi menawan. Bagai cawan yang kesepian, menemani tegukdemi teguk rasa sakit yang bergentayangan. Entah sesuap kisahatau sepiring asmara, sesekali tetap menyelinap untuk singgah. Terkadang memang memar, masih menyimpan luka. Tapi darahbelum tentu tak berguna. Seperti ladang sempit di tangan mereka yang tak lelah menebar bibit. Mengolah tanah, dan mengharap semua tumbuh, seperti kun yang tiba-tiba saja pecah.Juga para pengelana yang selalu terbangun menjelang subuh, memintaldoa dengan sesekali menumpahkan airmata. Sungguh ia memang pandai mencari celah, ia lihai seperti pencurimenelikung, meloncat, merapat lalu menjarah. Dan selanjutnya, si empunya hati terpaksa sedih, lalu memintal angan dari beberapa kisah yang silam.
Mojokerto, 27 Oktober 2010
Wajah Pengasih
Wajahnya teramat teduh, bahkan teramat sendu.Bila wajahnya mampu didengar, maka akan semerdu lagu. Bila diumpamakan kasihnya bisa disamakan dengan jarum waktu yang terus membelah dan tak kenal lelah. Dekapnya sangat hangat, sehangatbaju tebal yang selalu dipajang dengan harga mahal di toko-toko bermutu. Ketika menangis, airmatanyaserupa linggis yang siap membongkar tanahmenampung benih untuk tumbuh. Bila tangannya menjulur maka panjangnya lebih dari penggalah.Sewaktu melangkah, kakinya menjelma bunga yang siap merekah bila mentari tersenyum menyambutpagi. Punggungnya teramat lapang, melebihi bandara kapal terbang. Ketika berucap, kata-katanya mampu meluap seperti sekawanan asap yang berkumpul membentuk mendung, lalu melahirkan hujan. Sehingga tak akan ada yang mampu untuk memberi analogi, bagi si empunya wajah pengasih yang amat terpuji. Tapi bila perlu disebut dan harus termaktub. Maka harus selalu ada kunci, yang selalu siap menerimanya walau hanya sekadar mencicipi.Tak perlu bingung dan bimbang, bila memang bisa melahirkan perdebatan yang panjang. wajah itu sering disebut sebagai sosok Ibu.
Mojokerto, 25 Oktober 2010
Wajah Sahabat Sejati
Raut-raut mukanya membentuk peta yang pandai menerjemahkanluka, hadirnya seteduh rerimbun dedaun yang melepas dahaga para pedagang kaki lima setelah kehabisan tenaga menjajakan segala cipta dan rasa. Hadirnya menumbuhkan jejak yang tak terelak, menemani waktu yang masih kuncup hingga tumbuh menjadi pualam rindu.Bila kesedihan melanda, ia datang menabur kumtum senyum hingga membiarkan bermetamorfosa menjadi suka yang amat merekah. Bila ia pergi, hati menjadi sepi. Seperti obituari yang disuguhkan di meja tanpa kopi di pagi hari. Tapi ia kerap disiksa, bila tubuh tak ingin disentuh.Sungguh wajah ini tak cukup diucap, bila terpaksa diucap maka kata-kata akan menjadi diri yang amat sepi.
Mojokerto, 31 Oktober 2010
Wajah Petinggi
Waktu telah menunjuk padanya, membujur di antara matadan hidung yang melapangkan kuasa danmelahirkan tutur yang lantang dari mulutnya,tanpa harus ada yang menentang. Walaupun ada, hanya mampumencipta bayang-bayang. Kemudian menyelimuti pagardan ia dengan mudah memaprasnya tanpa merasa berdosa. Jalan pintas dianggap pantas, asalkan kantong pribadi gemuk seperti gumuk yang masih basah. Ada juga, yang amat ayup, mampu menutup kekurangandengan mengeluarkan mazhab kutup. Sehingga tak perluada yang harus tersikut, apalagi saling menuntut. Ia mampu mencipta suasana yang amat takluk. Tak ada lagi kutuk, dan juga kata di belakang yang harus ikut termaktub, mirip ingus yang untup-untup. Sehingga bermuara menjadi tenang dan sangat lega.Hal itu mirip seperti pepatah, lain kepala lain pula isinya. Sehinggatak perlu lagi saling tuding mencari siapa yang salah, yang dibutuhkanhanya berbesar hati dan lapang dada.
Mojokerto, 27-28 Oktober 2010
Wajah Pemimpi
ia terlahir dari angan, lalu tumbuh dengan bayang-bayang.Matanya seperti hantu yang selalu memburu, bibirnya seperti mesin jahit yang selalu dipakai ibu. Aku jadi terheran menataptampang dan kegiatannya yang selalu menyimpang. Di tiap petangselalu saja nembang, seperti para peramu yang sibuk dengan segalajenis jamu yang telah dipesan para tamu. Andai kau ingin tahu, silahkan saja datang ke rumahku, pasti kuantarkan ke rumah orang itu.Bila pagi menjelang, ia duduk di ruang tamu sambil menatap gentingyang baginya begitu penting. Sebab dianggapnya ranting-rantingyang tumbuh menjadi puing yang mampu mewujudkan ingin. Saat siang mulai menjamah, ia melarung ke emperan rumah. Mengamati daun-daun yang tumbang satu demi satu di halaman rumahnya. Beranjak sore ia juga memunyai tempat untuk menuntaskan harap dengan duduk di atap, dengan kepala menengadah ia bermujahadah mengharap doa menjadi berkah. Begitu seterusnya, setiap hari rutinitasnya tak berganti. Hanya itu-itu saja, bagiku ritual itu hanya mimpi tanpa usaha Tetap akan menjadi sia-sia dan menghabiskan waktu saja.
Mojokerto, 28 Oktober 2010
Biodata:
Akhmad Fatoni, lahir dan tinggal di Mojokerto. Kini ia mengampu pelajaran bahasa Indonesia di MA Akselerasi Amanatul Ummah, Pacet-Surabaya. Selain itu ia juga pengerajin dan suplier stick drum. Mengelolah Komunitas Arek Japan (KAJ) serta menggawangi Jurnal Lembah Biru. Sebagian cerpen dan puisinya telah termuat di koran Minggu, majalah dan jurnal. Sebagian puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama di antaranya “Duka Muara” (KRS, 2008), “Kapas Nelayan dan Nabi yang Kesepian” (KKL_Publishing, 2009), Pesta Penyair Jawa Timur (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), Si Pencari Dongeng (Dewan Kesenian Surabaya, 2010), Tabir Hujan (Pustaka Ilalang, 2010). Antologi puisi festival bulan purnama majapahit (Dewan kesenian Kabupaten Mojokerto, 2010). Pintunya bisa diketuk di 085733277541.
Komentar