Langsung ke konten utama

Mana Riedl dan Gonzales Kita?


Radhar Panca Dahana

Kegembiraan atas kemenangan timnas Indonesia dalam semifinal Piala Suzuki AFF 2010 melawan Filipina tidak sebatas ruang lengkung Gelora Bung Karno, tetapi juga ruang fisik dan imajiner bangsa, membuat haru sekaligus cemas.

Keharuan menyeruak saat menyadari betapa rakyat negeri ini begitu rindu dengan emosi kolektif di mana rasa bangga dan kehormatan bersama, sebagai sebuah negeri sebuah bangsa, dapat dipulihkan.

Sudah terlalu lama emosi kolektif dari rasa kebangsaan kita kehilangan alasan untuk berbangga dan mendapatkan rasa hormat dari bangsa lain. Seakan negeri besar ini hanya pariah dalam pergaulan internasional, hanya obyek penderita menghadapi perlakuan bangsa lain.

Dalam situasi inferior yang mengenaskan itu, rakyat seperti subyek yang tidak berdaya melihat pemerintah—pengemban amanah dan tanggung jawab utama—justru invalid menunaikan tugas. Pemerintah terlalu sering absen dalam urusan yang menyangkut kepentingan publik. Pemerintah bahkan justru sering melawan rakyatnya sendiri.

Semua itu terlihat dari pelbagai demo, konflik petugas dan rakyat, hingga kasus-kasus yang menempatkan rakyat kecil sebagai pesakitan, lebih dari seorang koruptor besar atau pengkhianat negara. Pengurus serikat usaha berkelas UKM bahkan berkata, ”Sejak kapan pemerintah membina dan memberdayakan UKM, sepertinya UKM kita berjuang sendiri. Kalau memperdaya dan memeras, ya, mungkin.” (Kompas, 22/10/2010)

Menanggapi banyak kecelakaan kereta api, Suyono Dikun, Ketua Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian, menyatakan di harian yang sama, ”Pemerintah tak pernah serius perhatikan kereta api.”

Musikus Jockie Soerjoprajogo dari Mufakat Kebudayaan berulang kali mengingatkan pemerintah untuk tidak mengklaim keberhasilan musikus Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri sebagai hasil kerja mereka. ”Itu hasil usaha para pemusik kita sendiri.”

Pemerintah hanya melayani kepentingan dan prestise diri sendiri, dengan mengatasnamakan dan menggunakan fasilitas rakyat. Kekecewaan atas absensi itu bertambah akut dengan penyelesaian yang tak cukup terhormat pada berbagai persoalan: masalah perbatasan, TKI, ”pencurian” klaim budaya, dan sebagainya.

Akal sehat rakyat berulang kali dikhianati oleh perilaku abnormal dan deviatif, dari nafsu purba dan hedon, penguasa.

Rasa cemas itu

Semua kenyataan psikologis rakyat Indonesia itu adalah ironi dalam kemeriahan penonton di leg satu dan dua semifinal AFF. Sukses timnas tidak serta-merta menjadi pengakuan pada prestasi organisasi terutama pemimpinnya. Teriakan ”Nurdin turun,” tetap membahana.

Ejekan dan cemoohan juga muncul di Facebook, Twitter, Youtube, dan sebagainya. ”Ingat, ini Timnas Indonesia, bukan Timnas PSSI,” ujar pengguna Twitter. Di Youtube muncul tayangan yang mempertontonkan potongan adegan di mana ”Indonesia menang, Nurdin malah menunduk mencium tangan SBY.” Rasa muak jelas terlihat terhadap perilaku penguasa yang terus mengeksploitasi kemampuan publik untuk kepentingan sendiri.

Kita pun dapat menyaksikan sendiri bagaimana hampir seratus ribu penonton dan jutaan pemirsa teve lainnya hampir tidak mengaitkan sukses timnas Indonesia dengan kinerja pemimpin, juga tidak pada Presiden SBY, walaupun ia hadir dan turut bersorak di stadion. Seolah publik, seperti dalam banyak contoh kasus di atas, tidak rela jika sukses sepak bola itu diklaim sebagai prestasi pemerintah.

Di sini rasa cemas itu muncul. Ketika ketidakpercayaan publik kepada pemerintah dan para pemimpin tergerus, usaha negara untuk survive dan berdaulat di dunia mendapat ancaman serius. Absensi dan ketidakpercayaan membuat masyarakat semakin tidak peduli kepada pemerintah dan pada akhirnya juga tidak peduli—baca membangkang—semua kebijakannya.

”Tidak peduli pada negara (cq pemerintah)” akan menjadi semangat yang meluas, yang pada titik ekstremnya akan melahirkan kerancuan dan kekacauan pada semua tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Kebenaran dan cara mengatur hidup akan berlangsung secara komunal atau sektarianistik. Klaim horizontal akan bertaburan, dan perpecahan seperti tinggal menunggu susut sumbu bom waktu.

Pemimpin zuhud

Di bagian lain, semangat ”tidak peduli negara” itu sesungguhnya juga dapat berdampak sangat positif ketika semangat itu dipilin menjadi tekad dan kerja untuk tegaknya kemandirian. Hal ini sungguh akan menciptakan kekuatan luar biasa, bahkan mungkin lebih hebat ketimbang yang diinisiasi oleh pemerintah.

Keberdayaan publik yang mandiri akan menjadi kunci eksplorasi kemampuan dari potensi-potensi terbaik bangsa yang masih terpendam. Inilah mungkin inti wahyu Tuhan dalam Islam yang menyatakan, ”Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum bila bukan kaum itu sendiri yang melakukan.” Kata ”kaum” dalam wahyu ini merujuk pada suatu kolektiva, bukan persona atau katakanlah pemimpin.

Dalam kasus timnas Indonesia, pemain naturalisasi Cristian Gonzales berperan vital. Namun, dengan segala hormat dan terima kasih kepadanya, kerja Gonzales tidak akan berarti tanpa kerja sama 10 orang pribumi dalam timnas. Tanpa mereka, Gonzales tak akan memperoleh umpan untuk menciptakan gol-gol cantik.

Namun, lebih dari itu, ada seorang Alfred Riedl, yang dengan dingin melatih dan mengawasi setiap detik pertandingan. Tak ada luapan emosi berlebihan. Sebuah sikap yang memperlihatkan keprihatinan—semacam asketisme—meditatif, bahwa capaian temporer tidaklah berarti bagi tujuan akhir yang diinginkan. Inilah satu sikap zuhud dari kepemimpinan yang hilang di kalangan pemimpin dan elite kita. Sukses publik tidak begitu saja dipelintir untuk menyelebrasi diri sendiri, seperti yang dilakukan para pejabat lewat iklan.

Sukses dari masyarakat atau bangsa yang mandiri adalah justru stimulator bagi sikap yang lebih prihatin dari seorang pemimpin. Karena ia menyadari betapa tugasnya menjadi lebih berat, dan euforia yang berlebihan justru menyimpan ancaman yang lebih mengerikan.

Tetapi di mana Riedl dalam segelintir elite kita? Di mana Gonzales yang menjadi avant garde semua usaha perbaikan ini?

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI