Langsung ke konten utama

MEMBACA JEJAK PERPUISIAN MALANG


W Haryanto

/1/

Puisi adalah jejak sejarah, tapi bukan anak kandung sejarah. Puisi adalah tindak individual—atau dalam pengertian Muh. Zuhri, tingkat kebenarannya bersifat subyektif, sekalipun bisa diuji secara ilmiah. Sekalipun, bertendensi individual, ranah perpusian juga ditentukan pada organisasi makna di luar dirinya. Inilah harmoni puisi.

Lama, setelah (alm) Hazim Amir dan Wahyu Prasetya, saya merasa asing dengan sebutan ‘puisi Malang’. Bukan sebatas konteks karya, tapi juga mereka yang menyebut dirinya—sebagai penyair Malang (dalam komunikasi di Jawa Timur), dan Malang hanya memiliki prosais Ratna Indraswari Ibrahim, juga hanya punya beberapa lembar ‘teoritikus’. Di akhir tahun 90an, Nanang Suryadi dan Kuswinarto merintis komunikasi dengan atmosfir Jawa Timur lewat gerakan puisi internet. Gerakan ini, dalam terawangan saya—adalah antiklimaks dari dinamika perpuisian Jawa Timur, seiring klaim yang menyatakan bahwa ‘puisi internet’ adalah keputusasaan para penyair yang gagal bertarung di media massa yang bercorak Jakarta dan Yogya.

Indikator dari ‘apatisme’ terhadap media massa terlihat jelas. Malang seperti juga Jember menolak media massa, tetapi keduanya berbeda, apatisme Jember karna warisan penyair-penyair pendahulu, sedangkan bagi penulis-penulis senior Malang aktualisasi di media massa hukumnya ‘wajib’. Wahyu Prasetya, Tan Tjin Siong, Ratna Indraswari, Akaha Taufan Aminoedhin tidak asing pada kolom-kolom sastra media massa. Tetapi, generasi sesudah mereka jadi kayak ‘Lost Generation’, mereka yang hilang.

Sejak periode tahun 90an, media massa menjadi ‘klimaks’ setiap kontemplasi para penyair, hingga memicu booming penyair Surabaya di media massa. Tentu, bukan dalam standar kualitas, karena media cetak tidak otomatis menjadi penentu. Terbukti pada beberapa tahun terakhir, booming penyair itu hanya euforia dan pseudo-reality.

Malang tetap sebuah area yang tak tertuliskan.

Tidak banyak yang tercatat dari Malang, ketika arah perpuisian kita—sebatas kontemplasi redaksi di “ruang tertutup”. Sementara, geliat sastra tak tidur sekejappun, pelbagai gagasan tumbuh secara partikelir—di luar jangkauan tangan-tangan hukum redaksi, bahkan otoritas akademis pun gagal melahirkan apa yang bisa kita sebut “jejak teori sastra”.

/2/

Dalam bangunan kultur, Malang kerap membentuk resistensi terhadap Surabaya, seperti Solo kepada Yogya. Resistensi ini juga bersifat penandaan atas karakter penciptaan. Ketika mainstream Jakarta ‘bocor’ dan menjadi referensi rujukan—bagi ‘mereka yang merasa butuh pengakuan’ di Jakarta. Banjir pengemis eksistensi ini, tak cukup memenuhi kolom-kolom Koran, juga pada sejumlah event yang dicitrakan sebagai ‘wajah Jakarta’ penuh kaum dhuafa—ketimbang penyair.

Sekali lagi, kepenyairan Malang tak terbaca di sana (baca: Surabaya Chainshaw Masaccre)

Sementara dalam catatan saya, ada nama-nama, Ragil Supriyatno Samid, Yusri Fadjar, Abdul Mukhid, Wawan Eko Yulianto, Tegar Prajaksa, Miza Rahmatika Aini, dan Lubis Grafura.

Kepenyairan Malang, sebenarnya cukup menarik untuk digali, karena tak adanya patron, reproduksi teks tumbuh secara terbuka dan alamiah. Berbeda dengan puisi-puisi Surabaya yang ‘homogen’ (seragam), perpuisian Malang lebih variatif dan kaya irama. Namun, saya menemukan—bahwa penyair-penyair Malang ‘kurang bergairah’ menjelajah dan bereksplorasi terhadap bentuk-bentuk puisi dan genre, maka puisi-puisi yang terbaca, seringkali berhenti sebagai ungkapan batin ketimbang sikap sejarah. Penyair-penyair Malang gagal mengalahkan bahasa normatif.

Puisi, pada akhirnya adalah perimbangan antara imajinasi dan teknologi. Penyair yang baik adalah—‘mereka yang tak bisa menggunakan bahasa formal dan justru menghancurkannya, dan melalui teknologi individualnya, ia bangun bahasa dari serakan bahasa normatif yang telah dihancurkan terlebih dulu.”

W Haryanto, penyair, Ketua Forum Alumni Unair Independent (fa-UNA), Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar, juga aktif menulis esei-esei kritis di media massa. Email: w.ngagel@gmail.com, dewansastra.jatim@gmail.com

Lebih lanjut kita diskusi di:

Pelangi Sastra Malang [On Stage] #6 "Catatan Penyair-Penyair Muda Malang" Pembicara Wahyu Hariyanto dan Yusri Fajar . Sabtu, 18 Desember 2010 Pukul. 15.00 WIB - selesai. Tempat: Ruang PPA Lama Fakultas Ekonomi Brawijaya. (Kerjasama Teater Ego Fakultas Ekonomi Barwijaya dan Pelangi Sastra Malang). Info lebih lanjut hub Denny Mizhar-PSM (085855186629), Silvi-EGO (085746155828)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI