MANIFESTO ILLUSIONISME
matahari
ke batas bukit,
kita bertemu, serangga memimpikan kita
bercak-bercak di kota tua: nyanyi itu…
(demikianlah kumbang-kumbang
disebut, pergi memacu,
bayangan kita membungkuk, tubuh dan diri
cuma tatapan mata, yang membujuk ular,
—pengetahuan yang sedih,
bila kita bergegas dengan melukis bahasa burung
cinta yang gusar, melengkung,
kenangan yang meneteskan anjing
anjing—ke arah mendung
bersama biduk yang sakit, teluk
saudagar parsi—)
dalam bisu batu
Raffah bertulis senada hantu
mainkan seruling,
mengubah warna menjebak pikiran
—jam otak berdetak
gelas bergeser lalu pecah:
sunyi seperti liris kita mencicip nyeri daun,
bermimpi ke kulit pohon,
bumi yang gaib yang penuh dendam,
KEBENARAN CUMA BAYANGAN,
BURUNG DATANG DAN PERGI,
SIHIR YANG KECUT YANG BERSURAT
KE TAHUN LEWAT,
seindah tubuh ke abu
hujan begitu luas
segala perih, bersendiri
berlompatan ke laut, dan esoknya—
keacuhan kita berbaju longgar
seperti yang tersurat: bulan
dekat rumput
(mimpi kita: tinggalkan tandanya,
kita cuma pengantin miskin
menghirup nafas ke tengah hujan
menerka apa arti karang—
mengendus kekuasaan laut)
SEBUAH RUANG MEMBACA KITA:
“pulanglah, karna esok damai dengan kisah bandar-bandar tua,
mungkin seperti gurun tanpa bisik burung, waktu menanda kata,
anak-anak matahari yang menghamba pada bayangan pada
yang kelak pergi bersama hujan”
semalam, kita ikuti tepi
sungai dengan mayat ingatan, lumut,
arti syair yang terenggut, Palestina
yang pekik, yang meminta gerimis
lalu diam
burung-burung melintas, waktu
merah dengan warna tungku
lalu dihisap magrib
ke pasir,
KE MATA PENYAIR:
KENANGAN TAK LAGI
YANG MEMBELAH LEMBAH
kita tak sejernih ibu;
arang pohon
khayal kita
cahaya mayat yang tak bisa ditebak,
entah bernyanyi
entah melenguh
pikiran kita
jadi rumah yang tak dihuni
kisah yang miskin makna
cinta kita menangis,
waktu jadi hantu
memahat air jadi musik tak berirama
Raffah, letupan, bulan yang memandang…
(2008)
NB : pada versi aslinya (buku antologi), puisi ini dipotong sampai tinggal 1/3 bagian. Untung Pak Giryadi selaku panitia temu sastra mengunggah ulang versi lengkapnya.
Komentar