Langsung ke konten utama

puisi W Haryanto pada Temu Sastra Jatim 2009

MANIFESTO ILLUSIONISME

matahari

ke batas bukit,

kita bertemu, serangga memimpikan kita

bercak-bercak di kota tua: nyanyi itu…

(demikianlah kumbang-kumbang

disebut, pergi memacu,

bayangan kita membungkuk, tubuh dan diri

cuma tatapan mata, yang membujuk ular,

—pengetahuan yang sedih,

bila kita bergegas dengan melukis bahasa burung

cinta yang gusar, melengkung,

kenangan yang meneteskan anjing

anjing—ke arah mendung

bersama biduk yang sakit, teluk

saudagar parsi—)

dalam bisu batu

Raffah bertulis senada hantu

mainkan seruling,

mengubah warna menjebak pikiran

—jam otak berdetak

gelas bergeser lalu pecah:

sunyi seperti liris kita mencicip nyeri daun,

bermimpi ke kulit pohon,

bumi yang gaib yang penuh dendam,

KEBENARAN CUMA BAYANGAN,

BURUNG DATANG DAN PERGI,

SIHIR YANG KECUT YANG BERSURAT

KE TAHUN LEWAT,

seindah tubuh ke abu

hujan begitu luas

segala perih, bersendiri

berlompatan ke laut, dan esoknya—

keacuhan kita berbaju longgar

seperti yang tersurat: bulan

dekat rumput

(mimpi kita: tinggalkan tandanya,

kita cuma pengantin miskin

menghirup nafas ke tengah hujan

menerka apa arti karang—

mengendus kekuasaan laut)

SEBUAH RUANG MEMBACA KITA:

“pulanglah, karna esok damai dengan kisah bandar-bandar tua,

mungkin seperti gurun tanpa bisik burung, waktu menanda kata,

anak-anak matahari yang menghamba pada bayangan pada

yang kelak pergi bersama hujan”

semalam, kita ikuti tepi

sungai dengan mayat ingatan, lumut,

arti syair yang terenggut, Palestina

yang pekik, yang meminta gerimis

lalu diam

burung-burung melintas, waktu

merah dengan warna tungku

lalu dihisap magrib

ke pasir,

KE MATA PENYAIR:

KENANGAN TAK LAGI

YANG MEMBELAH LEMBAH

kita tak sejernih ibu;

arang pohon

khayal kita

cahaya mayat yang tak bisa ditebak,

entah bernyanyi

entah melenguh

pikiran kita

jadi rumah yang tak dihuni

kisah yang miskin makna

cinta kita menangis,

waktu jadi hantu

memahat air jadi musik tak berirama

Raffah, letupan, bulan yang memandang…

(2008)

NB : pada versi aslinya (buku antologi), puisi ini dipotong sampai tinggal 1/3 bagian. Untung Pak Giryadi selaku panitia temu sastra mengunggah ulang versi lengkapnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI