Langsung ke konten utama

Tanggapan atas Polemik Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon

oleh Dadang Ari Murtono pada 15 Desember 2010 jam 12:28

Perempuan Tua Membaca Rashomon

Sungguh, saya tak ingin membuat tulisan ini sebenarnya meski saya tahu kalau polemik berkaitan dengan hal ini, berkaitan dengan cerpen saya Perempuan Tua dalam Rashomon yang terbit pertama kali di harian Lampung Post hari minggu tanggal 5 Desember 2010 kemarin terus berkembang lewat situs jejaring sosil facebook (dan barangkali juga melalui beberapa media massa cetak). Saya ingin membiarkannya saja sebenarnya. Selain karena saya jarang menggunakan situs jejaring sosial itu, alasan lain yang lebih penting adalah karena saya sesungguhnya telah pula menjelaskan permasalahan ini dalam cerpen itu sendiri dan dalam catatan kecil yang menyertainya. Namun desakan beberapa kawan yang mengikuti polemik ini dari mulai mencuat hingga hari ketika tulisan ini saya buat, membuat saya tak kuasa terus mengelak.

Saya tidak hendak menjawab dan menjelaskan satu per satu tuduhan plagiatisme yang dialamatkan beberapa kawan atas cerpen saya itu. Sebab sesungguhnya saya telah menjawabnya. Dalam catatan kecil yang menyertai cerpen itu, telah saya jelaskan bahwa cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon bersumber dari cerpen Akutagawa Ryunosuke yang berjudul Rashomon. Penjelasan tentang istilah Rashomon itu sendiri pun telah saya terangkan yang merujuk persis pada terjemahan kumpulan cerpen Akutagawa Ryunosuke berjudul Rashomon hasil kerja Bambang Wibawarta yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, cetakan pertama tahun 2008. Jadi, tanpa ada satu pun yang mengata-kaitkan cerpen saya itu dengan cerpen Rashomon Akutagawa pembaca sudah akan mengetahuinya melalui keterangan yang saya cantumkan.

Inti dari cerpen saya sendiri adalah upaya mengalihkan – bila istilah perlawanan terlalu berlebihan – cerpen Akutagawa ke konteks pemaknaan dunia sekarang ini yang saya yakini kebenarannya. Seperti inilah idenya: merubah sudut pandang yang dipakai Akutagawa tentang kehidupan itu sendiri, tanpa merubah dunia yang telah dibangunnya.

Mari kita pelajari cerpen Akutagawa itu.

Akutagawa menghadirkan tokoh utama yang sakit, tokoh yang kecewa dengan kondisi sosial yang berubah teramat cepat di sekitarnya. Kondisi yang membuatnya menjadi gelandangan, lontanglantung, terdampar di Rashomon, gerbang dengan menara yang menjadi tempat pembuangan mayat. Akutagawa menyelesaikan perkara-perkara itu dengan tindakan merenggut pakaian perempuan tua yang membuat cemara dari rambut mayat-mayat yang berserakan di sana. Tindakan itu diakhiri dengan perginya Genin itu, pergi dengan membawa pakaian yang ia renggut.

Apa yang bisa kita ambil dari akhir cerita seperti itu? Adalah sebuah harapan, adalah sebuah kemenangan. Genin itu pergi dengan membawa harapan bahwa ia akan dapat bertahan hidup – entah berapa lama – dengan kondisi sosial yang demikian kacau. Genin itu pergi dengan membawa kemenangan atas perempuan tua yang bahkan kondisi fisiknya digambarkan demikian jelek itu.

Dalam kondisi mutakhir seperti sekarang ini, hal itu seakan menemukan pembenarannya. Dalam kondisi yang susah dan semrawut seperti sekarang ini, Genin itu adalah perwujudan mereka yang berkuasa – dilambangkan dengan samurai yang ia bawa - berkuasa dan menindas – paling tidak berkuasa atas perempuan tua itu yang saya tafsirkan berada dalam dasar rantai kekuasaan, dasar rantai makanan kekuasaan – orang-orang yang dikuasainya. Namun Akutagawa juga memberi harapan perempuan tua itu dengan menuliskan, “tubuh telanjang nenek tuan yang roboh seperti orang mati itu baru bisa bangkit dari onggokan mayat-mayat beberapa saat kemudian. Sambil menggerutu dasn mengerang ia merangkak mencapai mulut tangga dibantu cahaya obor yang masih menyala. Dari tempat itu ia melongok ke bawah gerbang dengan ubannya yang pendek menjuntai”.

Mari kita perhatikan kata-kata “bangkit” dan “cahaya obor”. Tidakkah itu simbol harapan bagi perempuan tua yang dikalahkan itu? Dan pada titik inilah saya bersebarangan dengan Akutagawa. Titik inilah yang terus mendesak saya untuk menulis Perempuan Tua dalam Rashomon. Bagi saya (sekali lagi bagi saya) tidak ada lagi harapan bagi perempuan tua itu. Jika ia terus dipaksa berharap, maka ia akan terus menerus merasa sakit. Dan ini pulalah yang terjadi pada kebanyakan orang dewasa ini. Kebanyakan orang yang tak henti-henti dikalahkan pengambil kebijakan, dikalahkan penguasa namun terus dipaksa berharap. Maka yang terjadi adalah lamunan-lamunan kosong tentang mesiah, tentang satria piningit. Ya… inilah intinya.

Pada titik ini pula saya menyelamatkan perempuan tua itu. Memberinya hak bicara. Karena itu saya menulis, “beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh tak bernyawa itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia menggumam, ‘alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar.’ Pada waktu itu ia ingin menjadi mayat, terlentang di tempat itu, tak lagi berpikir apa-apa, tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya.”

Yang bisa kita baca dari Rashomon dan Perempuan Tua dalam Rashomon adalah bila Rashomon lebih memberi suara pada Genin, lebih berpihak pada mereka yang menang dan berkuasa, maka Perempuan Tua dalam Rashomon lebih membunyikan mereka yang kalah, lebih berpihak pada mereka yang dikalahkan.

Dan kenapa ada beberapa kalimat yang sama persis dalam Perempuan Tua dalam Rashomon dengan kalimat-kalimat dalam Rashomon adalah karena saya ingin menjaga ingatan pembaca kepada Rashomon, agar dunia yang dibangun dalam Perempuan Tua dalam Rashomon tidak merusak apa-apa yang telah terbangun dalam Rashomon. Sebab ini perkara tafsir dan sudut pandang melihat sesuatu. Sebab ini perkara perlawanan dan keberpihakan.

Seperti itulah saya menulis Perempuan Tua dalam Rashomon. Seperti itulah hal-hal yang saya yakini kebenarannya dan saya berpihaki. Dan bila di kemudian hari adas yang menganggap cerpen itu gagal, mengecewakan, sekadar menyalin atau apa pun, akan saya terima dengan legawa seperti juga akan saya sambut dengan senang hati bila ada yang dapat menyelam ke kedalaman ceritanya itu, menangkap apa-apa yang saya tebar di sana.

Terimakasih.

Dadang Ari Murtono, penulis cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon. Lahir dan tinggal di Mojokerto.

Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.

Tidak SukaSuka · Komentari · Bagikan


  • Anda, Budi Palopo, Rakhmat Giryadi, dan 3 orang lainnya menyukai ini.

    • Dadang Ari Murtono mohon berkenan membagi catatan ini. terimakasih.

      2 jam yang lalu · SukaTidak Suka

    • Akhmad Fatoni

      lha begitu dong. memang berdiam dr polemik i2 baik, krn ketika berpolemik pusat pemikiran kita akan tertuju pd konflik yg sdg dibicarakan. kita akn sibuk mencr data ini dn itu unt membantai. dn itu akan menghampat proses kreatif. tp bila le...pas, mk kita dianggap memang tlh melakukan ap yg dituduhkan.

      tugasmu tentg polemik sdh selesai kawan. biarkan para penjual salak (baca: penulis lain) menjela atau memujimu. tp aku sbg pembeli salak pasti menyukai salak (karya) yg kau jual (tulis). knp para penjual salak yg lain bnyk mencela? bila kumenjawab, akan kujawab "krn sm2 penjual salak yo ingn salaknya yg laris manis, bkn penjual salak di sampingnya. oleh krn itu agr laku terkdg penjual salak mengatakan salak yg di jual kecum, asem, mahal dll. seharusnya yg berhak menilai ya dinas kesehatan atau org lap. apa salak ini layak jual atau tidak. bila dlm konteks mslh ini yg membedah ya org khusus, kritikus, bkn kritikus yg jg nyambi jualan salak."

      terus berkarya kawan, aku akan menunggu salak2mu yg lain.

      Lihat Selengkapnya

      sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka

    • Imam Wahyudi ada polemik, berarti itu pengakuan atas karya mas dadang selama ini. coba kalok saya yg nulis, tentu ndak ada yg ribut..

      sekitar sejam yang lalu melalui Facebook Seluler · SukaTidak Suka

    • Jr Dasamuka ‎1. sungguh saya tidak ingin membuat tulisan ini (desakan dari dalam). 2. karena desakan teman (luar) aku luluh, mungkin seperti itu aku membacanya. semoga gambaran 2 hal tadi tidak berlaku pada karya-karya yang lain. kalaupun ada desakan harus nya desakan yang pertama biar tetap liris

      sekitar sejam yang lalu · Suka


NB : ini adalah tanggapan Dadang Ari Murtono atas serangan dan tuduhan yang dialamatkan pada dirinya untuk kasys plagiatisme yang dilakukan oleh Dadang. saya sarikan dari catatan facebook M Anshor Sjahroni. debat kusir di catatan Pak Anshor sendiri malah sangat ramai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI