Di tengah gempuran perdebatan puisi-esai, saya menerima notifikasi dari seorang kawan Facebook, Ribut Wijoto. Notifikasi Facebook itu berisi sebuah kegiatan bertajuk Bengkel Sastra Bengkel Muda Surabaya. Sontak, hal itu membangkitkan kembali memori saya saat masih bertungkus lumus di Surabaya, saat masih berkuliah, saat masih berproses bersama kawan-kawan. Pun postingan tersebut mengharu biru. Bahwa mengingat nama Halte Sastra tentu tak lepas pula dari nama Ribut Wijoto, kritikus sekaligus seorang pelapak buku yang masih tetap setia meramut bibit-bibit muda penulis di Surabaya, pun Jawa Timur pada umumnya.
Halte Sastra, seingat saya sudah lama dihelat oleh Dewan Kesenian Surabaya. Mulai dari awal tahun 2000-an yang mengusung konsep tarung. Karenanya, lahirlah Penunggang Lembu yang Ganjil (Indra Tjahyadi vs Tengsoe Tjahjono), Keajaiban Bulan Ungu (W Haryanto vs Tjahjono Widijanto), serta beberapa buku yang memuat karya beberapa penyair seperti Rusdi Zaki, HU Mardi Luhung, Hardjono WS, dan Sosiawan Leak. Lalu pada akhir dekade 2000-an, Ribut Wijoto bersama Didik Wahyudi (yang entah mengapa akhirnya tak pernah muncul) memformat ulang kegiatan diskusi halte sastra.
Format ulang itu tidak lagi menampilkan penyair versus penyair sebagaimana periode awal 2000-an. Dalam format ulang ini, masing-masing penyair hanya mempresentasikan proses kreatifnya. Dewan Kesenian Surabaya pun menerbitkan buku sederhana yang memuat karya penulis yang tampil pada Halte Sastra, kecuali pada edisi awal yang mempertemukan Arief Junianto dan Umar Fauzi Ballah. Barulah pada Oktober 2009 (kalau tak salah) saat saya dipertemukan dengan Timur Budi Raja, DKS membukukan puisi-puisi Halte Sastra. Selepas itu, tampillah nama-nama seperti Andreas Wicaksono, Tsalis Abdul Azizi, Nisa Ayu Amelia, Dian Nita Kurnia, Salamet Wahedi, Joko Susilo, Aji S Ramadhan, Abimanyu Mbam Mbung, Khalil Tirta, Ferdi Afrar, dan banyak lagi. Beberapa nama tentu saja sampai saat ini masih rajin menulis dan mencatatkan namanya di pelbagai pemuatan media massa. Dan pasti banyak yang kini sudah tak lagi saya dengar jejak kekaryaannya.
Geliat semacam ini jelas positif. Apalagi dalam perhelatan kali ini Ribut menggandeng Dadang Ari Murtono, sastrawan muda asal Mojokerto. Kehadiran Dadang yang juga pernah tampil pada Halte Sastra (saya lupa tahunnya) jelas baik bagi regenerasi, tak hanya kepenulisan, melainkan juga regenerasi pengelolaan even sastra yang menampilkan bibit-bibit muda. Dadang yang namanya sudah kita kenal sebagai seorang penyair, cerpenis, pun novelis setahu saya memiliki jaringan luas di antara para penyair Jawa Timur. Dari undangan yang diunggah oleh Ribut, selain Dadang tampil pula nama-nama muda sebagai tim dalam even ini.
Semoga, dari acara ini, lahir penulis-penulis muda Jawa Timur yang akan memberi warna pada kesusastraan Indonesia. (DK)
Komentar