Langsung ke konten utama

Menilik Kembali Sudut Pandang Anak-anak dalam Puisi

Oleh Dody Kristianto*

Membaca kembali “distribusi” puisi-puisi Indonesia terkini, sebagian besar publik sastra bisa jadi meyakini bahwa puisi-puisi Indonesia tersiar melalui tiga jalur besar yakni penyiaran melalui media massa cetak, penyiaran melalui media online maupun jejaring sosial, serta melalui pergaulan antarkomunitas. Penyiaran puisi di media cetak pun masih dianggap sebagai tolok ukur kemampuan seorang penyair atau calon penyair. Sebanyak apa pun puisi yang disiarkan di media online, jejaring sosial, maupun pada pertemuan antarkomunitas, kualitas dan kapabilitas “kepenyairan” seseorang masih diragukan. Tentu hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
CMA terbitan Ganding Pustaka
Sekitar tahun 2012 lalu, ada ajang sastra Forum Penyair Internasional-Indonesia: What is Poetry yang dihelat di empat kota: Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Magelang. Dari perhelatan sastra internasional tersebut, kita membaca nama yang asing dalam dunia perpuisian di Indonesia, taruhlah nama-nama seperti Stephanie Mamonto, Gracia Asri, atau Ratri Ninditya. Nama-nama tersebut relatif asing bagi mereka yang terbiasa mengamati perkembangan puisi Indonesia melalui media cetak.
Akhir tahun 2015, nama Cyntha Hariadi membetot perhatian. Ia menjadi pemenang ketiga Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta. Dalam pidato pertanggungjawaban dewan juri, naskah yang berjudul Ibu Mendulang Anak Berlari dengan bahasa yang sederhana berhasil memotret kompleksnya pengalaman menjadi ibu. Detail kehidupan domestik ditampilkan menjadi sesuatu yang hampir sureal. Sekali lagi, nama Cyntha Hariadi tidak dikenal secara luas.
Dalam skala yang lebih kecil, nama Abu Wafa juga menyedot perhatian. Ia menjadi salah satu nominator 16 besar Indonesia Literary Translation Foundation (ILTF) Award. Manuskripnya yang berjudul Cara Menghitung Anak menyusup di antara nama-nama nominator lain semacam Mardi Luhung, Sindu Putra, A Muttaqin, Jimmy Maruli Alfian, Tjahjono Widarmanto, May Moon Nasution, Jamil Massa, Ni Made Purnama Sari, atau M Faizi yang lebih dikenal oleh khalayak sastra. Dan, dalam amatan saya, keberadaan Abu Wafa di tengah perpuisian Surabaya pun masih kurang dikenal. Karya-karyanya juga jarang terbaca, baik di media cetak maupun di jejaring sosial. Abu Wafa sangat mungkin dikenal melalui pergaulan kesusastraan antarkomunitas, terutama di kampusnya, Universitas Negeri Surabaya.
Arus utama perpuisian Surabaya masih berkutat antara sisa-sisa puisi gelap ala Suroboyoan dengan puisi yang terampil menjaga ritme dan metafora. Pada puisi-puisi Wafa, dua hal tersebut lebih jarang kita temukan. Membaca sekilas Cara Membaca Anak (CMA) Wafa banyak menyuguhkan perihal sederhana yang berkaitan dengan kehidupan domestik. Wafa meracik puisi-puisinya dengan menggunakan sudut pandang anak-anak. Puisinya pun bermain di antara puisi protes sekaligus puisi mbeling. Meski demikian, puisi-puisi Wafa tidak sampai jatuh menjadi puisi dengan pengucapan mentah ala puisi protes. Puisi-puisi Wafa pun terhindar dari humor murahan seperti halnya puisi-puisi mbeling tahun 70-an.

CMA terbitan Penerbit Delima
Logika kanak-kanak semacam dengan mudahnya aku/ menggantungkan harapan dan impian/ di sela bintang-bintang/ sebelum tidur, aku selalu berdoa,/ “impianku, turunlah bersama bintang jatuh!” (Bermimpi) dituliskan dengan baik oleh Wafa. Puisi Wafa pun juga tidak garing sebagaimana umumnya kita membaca puisi anak-anak yang sangat dominan berpola naratif dan kering imaji. Dalam CMA, imaji-imaji kerap datang mengejutkan, semisal jika boleh berkhayal,/ aku ingin menghidupkan angka tiga/ sayapnya bisa membawa/ terbang kemana-mana// namun, ketika raporku ada angka tiga/ ibu marah, terlebih ayah/ “kau harus dapat angka sembilan,/ jika tidak, kau tidak ayah sekolahkan lagi.”// rapor berikutnya, meningkat dapat enam/ ibu sedikit bangga, berbeda dengan ayah/ “Sembilan! Bukan enam!”/ namun, bagiku, enam dan sembilan hampir mirip./ tinggal diputar balik.// aku belajar lebih tekun dan giat/ dan akhirnya, ada angka sepuluh di raporku/ ibu langsung sumringah, ayah lagi-lagi marah/ “Aku minta sembilan! Apa kau ingin menjadi Tuhan!” (Sembilan).
Dunia remeh temeh yang berada di sekitar anak-anak menjadi sumber ihwal penulisan dalam CMA. Kita bisa mengetahui perihal dunia tersembunyi semacam ada dari anak-anak / kita belajar mengeja jalan di telapak tangan / yang kadang saling tumpuk bertemu / saling silang lalu patah tiba-tiba menghilang / …(Bermimpi) atau bagaimana imajinasi anak-anak menggambarkan peristiwa besar yang sering mereka dengar dari orang tua mereka sehingga semula semua percaya / tepat besok akan kiamat / semua khikmat memanjatkan doa / sepanjang hari tanpa berhenti / sehingga lupa tidak bekerja // sampai pada akhirnya besoknya, malaikat tidak jadi meniup sangkakala / namun, semua tengah sekarat oleh doa-doanya (Menjelang Kiamat).    
Puisi Wafa memang tidak mengalir lincah sebagaimana bila kita membaca puisi A Muttaqin, penyair lain yang tumbuh dari pergaulan sastra di Universitas Negeri Surabaya. Puisi Wafa bahkan lebih mirip dengan kejutan ala puisi-puisi humor Joko Pinurbo. Kita bisa membaca “Ini Budi”, ”Jatuh Cinta”, “Dedaunan”, “Menghadapi Hantu”, “Pertanyaan”, dan beberapa puisi di dalamnya. Ya, unsur suspense maupun keterampilan dalam membuat imaji merupakan kenikmatan berlebih saat kita membaca CMA.   
Puisi “Manusia Tercipta” misalnya. Peristiwa degradasi moral tidak dinarasikan dengan keras sebagaimana puisi-puisi kritik sosial. Wafa bercerita dengan nada humor nan tragis bagaimana degradasi moral terjadi karena keingintahuan. Tidak ada benar atau salah dalam peristiwa “Manusia Tercipta” versi Wafa. Peristiwa terjadi sebab keinginantahuan. Ihwal yang lazim terjadi pada anak-anak.
Narasi besar sejarah juga ditata ulang oleh Wafa. “Perang di Mata Anak” bukanlah peristiwa agung yang harus dirayakan dengan puja-puji atau slogan patriotism. Perang tak lebih dari peristiwa keseharian yang terjadi di lingkungan rumah tangga. Pun perang cukuplah menjadi narasi remeh temeh semacam “Bukankah kakekmu, sudah tua renta, / Tak berdaya melawan penjajah?” / Bastomi serba ingin tahu / “Aku tak takut perang. Aku berani mati.” / “Lantas?” / “Aku lebih takut jika ayah / memukuli ibu lagi. Dan hanya kakek / yang bisa mendinginkan ayah”.
Perhatian saya tertuju pada puisi “Kertas”. Pembacaan saya pada puisi ini sangat mungkin keliru. Namun, saya merasa Wafa menata atau bahkan mereproduksi kembali idiom-idiom Sapardi. Bila Sapardi mengatakan Waktu masih kanak-kanak kau / membuat perahu kertas dan kau / layarkan di tepi kali: alirnya sangat / tenang, dan perahumu / bergoyang menuju lautan…(puisi Perahu Kertas, SDD) maupun Di tangan anak-anak, kertas menjelma / perahu Sinbad /  yang tak takluk pada gelombang,…(Di Tangan Anak-Anak, SDD). Berbeda dengan Sapardi yang sampai menghasilkan kejutan imaji, puisi Wafa “Kertas” sekadar “menggelar” peristiwa secara biasa. Meskipun mencoba memberi kejutan, ucapan kadang, aku melihat /  keinginan kertas menjadi / perahu, yang bagiku, mampu / melawan air dan kegetirannya (Kertas) masih terasa biasa, belum memberikan kejutan imaji sebagaimana Sapardi mengolah peristiwa kertas menjadi perahu.
Secara umum, puisi-puisi Wafa adalah puisi-puisi naratif yang menggambarkan peristiwa. Ya, peristiwa dengan sentuhan humor nan satire sekaligus protes yang disampaikan tanpa harus berteriak. Dari puisi-puisi Wafa, kita juga dapat menemukan pintu masuk menuju dunia anak: dunia yang minta untuk dimengerti. Meski demikian, kumpulan ini tentu kumpulan puisi awal Abu Wafa. Puisi Abu Wafa masih mengambang di antara puisi balada pun puisi yang mengetengahkan imaji humor nan tragis sebagaimana puisi-puisi Joko Pinurbo. Kita tentu berharap-harap cemas bagaimana perkembangan puisi-puisinya dalam dua hingga empat tahun mendatang. Selebihnya, terima kasih.            

                     
*) Dody Kristianto, Pengkaji Bahasa dan Sastra di Kantor Bahasa Banten.  

NB: tulisan di atas merupakan tulisan pengantar yang saya tulis untuk buku puisi Cara Menghitung Anak karya Abu Wafa. Cara Menghitung Anak sendiri adalah salah satu nomine Indonesia Translation Literary Award 2014. Buku ini sendiri pernah mengalami dua kali cetak ulang (lebih tepatnya ganti penerbit) yakni dari Ganding Pustaka Yogyakarta ke Penerbit Delima Surabaya.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI