Cerpen Eko Darmoko
Aku sedang bingung. Biasanya, kalau
sedang bingung, untuk menawarkannya, aku selalu menumpahkannya dengan cara
membunuh. Apa saja bisa kubunuh; kadang kubunuh seorang filsuf, kadang sopir
angkot, kadang penari seksi hotel bintang lima ,
bahkan komet yang melintas di kepalaku pernah kubunuh dengan pistol air. Namun,
tak jarang dari sesuatu yang kubunuh itu di kemudian hari hidup lagi. Dan hal
inilah yang membuatku makin bingung.
Aku memelihara sepasang ikan cupang.
Yang cowok kuberi nama Socrates dan yang cewek kuberi nama Miyabi. Mereka
sangat akur dan romantis. Kadang, Socrates dengan kejantanannya merayu Miyabi
dengan secarik sajak rindu. “Ikanku, bawa aku ke negerimu! Aku bosan dengan
Dewa-Dewi Yunani; kerjaannya hanya bikin undangan massal. Beri aku anak dari
rahimmu! Aku rindu dengan pantatmu.” Begitu rayu Socrates kepada Miyabi. “Ah,
Kang Mas bisanya cuma merayu. Sekali-sekali belikan aku pizza, dong! Jangan klobot
terus. Aku bosan. Atau, pakailah kondom bergerigi, biar anuku sedikit cidera.
Aku suka kau ciderai,” Miyabi membalasnya dengan sajak galak.
Aku punya tongkat pemukul anjing.
Tongkat ini pintar sekali. Ia sangat patuh dan rajin menabung. Bahkan, uang
kembalianku saat belanja di cafetaria diambilnya dan dimasukkan ke kantongku.
“Bos, ini kutabung. Aku titip di kantongmu, ya! Karena sudah bertahun kau tak
memberiku pakaian. Jadinya, aku nggak punya kantong.” Kata tongkat kepadaku. Karena ia gemar menabung di kantongku;
kantong kecil ini pun berjubel oleh uang, barang, dan orang asing—ia tidak
hanya menabung uang. Kadang aku kaget, dari kantong celanaku tiba-tiba keluar
Kristen Stewart (pemain dalam film vampir modern itu). Yang bikin jantungku
copot, si Stewart keluar dengan badan nyaris bugil—mengenakan flanel
compang-camping. “Tidurilah aku! Remas dadaku sepuasmu. Gigitlah bibirku hingga
berdarah! Perkosalah aku hingga bernanah!” Dan tak jarang, aku mengabulkan
pintanya. Karena kalau tidak kulayani, ia pasti memanggil kawan-kawannya yang
juga bersembunyi d kantongku; Pamela Anderson, Nyi Blorong, bahkan mantan
dosenku yang super montok juga tersimpan di kantongku. “Tongkat, berhentilah
menabung! Kantongku sudah overload!”
Pekikku kepada tongkatku.
Tongkatku jelek sekali nasibnya: Ia
tak punya nama. “Maaf bos, aku nggak
suka nama, apalah arti sebuah nama? Begitu kata orang Inggris kepadaku,”
katanya pada suatu sore yang mendung.
Di pagi yang basah dan dingin, aku
membunuh planet Venus. Aku menyesal telah membunuhnya. Dengan siapa lagi aku
akan meminta rokok selain kepada Venus? Ah, masa bodoh dech! Yang penting aku puas sudah membunuhnya. Namun, aksi
pembunuhanku diketahui oleh Mojacko—binatang aneh yang tiba-tiba keluar dari
dalam tivi (bentuknya bulat seperti bola basket dan berbulu). Mojacko melaporkanku
ke polisi. Beberapa minggu kemudian, aku pun meringkuk di dalam sel sebuah
Mapolsek yang terletak di pinggir sawah. Dan tiba-tiba, Venus hidup kembali.
Diejeknya aku dengan cara hina. “Ah, rasain
lu, emang enak dibui.” Begitu
ejeknya.
Socrates selingkuh dengan Rahma
Azhari. Miyabi pun tak terima dengan perlakuan ini. Namun, sebagai lelaki
perkasa, Socrates tak mau ambil pusing. Ia akan memilih barang baru yang lebih
kenyal. Rahma, di mata Socrates adalah ikan yang pandai. Tentunya pandai di
ranjang. Untuk itulah, Socrates meminta kepadaku untuk membelikan kasur pegas
di pasar loak. “Ayolah, bos, belikan aku kasur pegas. Yang bekas nggak papa dech. Di pasar loak ajalah.”
Pintanya. Setelah kubelikan kasur itu, siang dan malam mereka main
perang-perangan. Sedangkan Miyabi harus rela menjadi juru medis yang wajib
menyediakan perban jika ada terkoyak di tubuh Rahma.
Aku bingung lagi. Harus kutulis apa
lagi. Sedangkan mereka (babi-babi) sedang sibuk menunggu tulisanku. Bukan untuk
dibaca, tapi untuk dibakar. Karena bingung, terpaksa aku harus membunuh Miyabi
dengan tongkatku. Setelah kubunuh, Miyabi kugoreng dan kusantap sebagai makan
malamku. Namun, di dalam perutku, Miyabi hidup kembali. Ia berteman dengan koin
seratus perak yang kutelan 12 tahun silam. Babi-babi itu pun juga bingung
menunggu tulisan dariku. Karena bingung, mereka juga ingin membunuhku. Tapi
selalu gagal karena aku berhasil membeli paspampres dengan harga selangit, enam
belas miliar perak.
Malam itu, aku kencan dengan purel
sintal di sebuah cafetaria dekat kebun binatang. Setelah ngobrol cas-cis-cus ia
mengajakku perang. Dengan bangganya ia membuka kutangnya. Ditariknya mukaku,
dan dikempitkan di sela-sela susunya yang aduhai. Aku kehabisan nafas, bahkan
hampir mampus. Tapi untung, aku bisa membuat nafas buatan sendiri. Ajaib bukan!
Karena nafsunya sangat membara. Ia meremas senjataku. Kontan saja, darah
mendesir cepat di sekujur tubuhku. Dasar purel maniak, setelah memperkosaku, ia
malah mengumpat. Katanya, aku sangat payah dalam hal penyerangan. Lantas
kubilang, kalau aku adalah penjaga gawang. Karena nafsu makin bertunas, ia pun
nyelonong ke kebun binatang; membangunkan singa yang sedang mendengkur.
Diajaknya raja rimba itu berperang. Raja rimba pun mati mengenaskan dengan
lidah menjulur keluar. Tak puas, purel gila ini pun mengajak gajah Afrika
berperang. Dan, sudah bisa ditebak, si gajah pun mati dengan gading nyaris
rontok. Akhirnya, si purel menemukan lawan sepadan. Ia berperang habis-habisan
melawan Socrates. Biar kecil, tapi Socrates amat mahir dalam urusan ranjang.
Dan si Rahma pun kebakaran bulu ketiak karenanya.
Aku jadi tambah bingung. Untuk ke
sembilan juta kalinya aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada gadis manis yang
kutemui di warung kopi. Ia manis. Sedangkan namanya aku tak tahu. Ia berkulit
coklat. Matanya bersinar terang. Bibirnya, rasanya tak perlu kuceritakan,
karena pasti akan bikin iri siapa saja yang mendengarnya. Bahkan, si tongkat
juga ikut-ikutan naksir kepadanya. “Bos, boleh kutabung dia. Dia manis, bos.
Mungkin, kalau kutabung dia, aku akan dapat banyak bunga.” Kata si tongkat.
Socrates makin lama makin manja. Ia
minta dibelikan akuarium baru yang lebih besar dan canggih. Bahkan, belum juga
permintaan ini kukabulkan, ia malah minta dibuatkan kolam di pekarangan rumah.
“Minggu depan akan kubuatkan empang untukmu.” Kataku.
Venus sekarang berganti kelamin. Ia
memutuskan untuk mencangkok anunya dengan pisang ambon. Katanya, biar maskulin,
aku pakai pisang ambon. Tak heran, sehari setelah pergantian alat perang ini,
si Bumi dan si Mars jatuh hati padanya. Venus pun menjadi raja semesta. Bahkan
Matahari yang terkenal sebagai pria jantan, juga ikut-ikutan jatuh hati kepada
Venus. “Aku rela (jadi) homo demi kamu, Venus!” Teriak Matahari hingga
mengakibatkan dunia ini sedikit kiamat dan reda kembali setelah menenggak
aspirin.
Lama-lama aku jengkel dengan
tongkat. Ingin sekali aku memotongnya menjadi kayu bakar. Namun, aku kasian
padanya. Ternyata, ia memiliki sepuluh anak dari enam istri yang dinikahinya
secara sirih. Kalau aku membunuhnya, pikirku, lantas siapa yang menafkahi
sepuluh istri dan enam anaknya. Lambat laun, aku tahu mengapa ia rajin
menabung. Ia ingin mengajak semua keluarganya pergi ke Jawa. Ia ingin menjadi
pohon karet. Yang mengherankan, rupanya tongkat telah menjalin skandal dengan
purel sintal itu. Alasannya sederhana, purel lebih suka berperang dengan
tongkat karena tongkat selalu siaga, tak pernah kusut atau lembek. Dan aku
makin jengkel kepadanya.
Gadis yang kutaksir, hingga di
pertengahan bulan pertama di tahun baru, belum juga berhasil kudekati. Padahal,
aku sudah membawa ribuan ton magnet—berharap ia tertarik kepadaku. Aku malu
sekaligus iri kepada Socrates, meskipun tua dan jelek, toh ia bisa kencan
dengan ikan mana pun yang ditaksirnya. “Rahasianya cuma satu, bos. Harus rajin
berdoa,” katanya.
Sekarang Miyabi sedang membangun
kerajaan di perutku. Bahkan, ia mengirim telegram kepada Dewa-Dewi Yunani.
Miyabi ingin belajar kepada mereka. Tak puas dengan ini, dilahapnya museum dan
perpustakaan yang ada di Mesir dan Prancis. Perutku pun makin buncit. Karena
sesak dan kasian, aku pun membebaskannya. Kusuruh ia membangun kerajaan di
empang baru Socrates.
Socrates jatuh cinta lagi kepada
Miyabi. Begitu sebaliknya. Tak tanggung-tanggung, Socrates pun menikahi Miyabi,
Rahma, dan si purel, dan lain-lainnya (tak mungkin kusebutkan semuanya, bisa
ludes kartu kreditku). Mereka hanya menikah secara sirih disaksikan wonderwoman
dan spiderman.
Tongkat bercita-cita menjadi
direktur sebuah bank—lebih tepatnya ingin membuka bank yang bertaraf
internasional. Namun, tiba-tiba cita-cita itu dikuburnya dalam-dalam: Ia ingin
menjadi penyair setelah tiga bulan lamanya bergaul dengan penyair misterius
yang diakuinya bernama Mansur. Sekarang tongkat pilih-pilih dan selektif dalam menabung,
yang ditabungnya hanya buku-buku puisi. Tak ayal, buku puisi pun berjubel di
kantongku. Bahkan, laksana seorang pengacara yang hafal KUHP dan KUHAP di luar
kepala, aku pun juga hafal lirik-lirik puisi yang parkir di kantongku. “Coba,
puisi mana yang paling kau hafal dan kau suka, bos?” Tanya tongkat kepadaku.
“Aku suka puisi-puisi Mansur. Sama sepertimu. Ada bagian yang kukagumi, begini kira-kira
bunyinya; jika sajak dinafikkan sebagai
sejarah, biarlah aku berlayar,” Jawabku. Mendengar aku membacakan sepenggal
puisi Mansur, mendadak tongkat menjadi sedih. Entah apa yang membuatnya sedih?
Dan aku merasa berdosa kepadanya.
Setelah menenggak habis sebotol bir
pahit. Aku, tanpa sadar, menjalin kencan dengan wonderwoman. Ia wanita yang
kaku dan angkuh. Ia mengaku sudah katam membaca tulisan-tulisan Kartini.
Menurutnya, emansipasi memang perlu, tapi apa daya jika nafsu sudah
menggelitik. Tak ada kehangatan saat kencan dengan wonderwoman. Tak ada
gurauan. Yang ada hanya keseriusan untuk hasil yang maksimal. “Apalah arti
basa-basi jika tujuan akhirnya adalah kepuasan? Sekarang, padamkan nafsuku ini
dengan sesukamu!” Katanya tenang setelah melucuti jubahnya. Ternyata, kencanku
dengan wonderwoman membuat emosi spiderman memuncak. Dengan gaibnya, ia
menyegel kemaluan wonderwoman dengan sarang laba-labanya. Membuat siapa pun tak
mampu menembusnya. “Jika ingin menembusnya, silahkan masukkan password,” katanya padaku.
Sontoloyo, bingung belum bisa
kuakhiri. Sebagai pamungkasnya, kuledakkan saja semuanya. Dan di akhir acara,
kubunuh diriku sendiri. Beres, ‘kan ?
Studio Cak Die Rezim Surabaya,
Januari 2011
BIODATA
Eko
Darmoko. Lulus dari jurusan Sastra Indonesia Unair pada tahun 2009. Dahulu
pernah bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP dan SMA swasta.
Sekarang bekerja sebagai wartawan. Anggota Komunitas Sastra Cak Die Rezim (CDR)
Surabaya. Alamat twitter dan instagram @ekodarmoko
NB: Inilah cerpen yang menurut saya terliar dari kumpulan cerpen Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015) karya kawan seangkatan (tapi beda kampus) Eko Darmoko. Sebenarnya cerpen ini akan dimuat di Buletin SARBI edisi 9. Namun, karena alasan teknis, buletin ini masih tersimpan di laci kami, tim redaktur. Oleh karena keliarannya, cerpen ini saya kira cukup pantas untuk diunggah dan dinikmati oleh khalayak sekalian. Rate 18+ lho ya....
Komentar