Oleh Umar Fauzi Ballah*
Beberapa
tahun yang lalu saya menghadiri sebuah acara kesusastraan yang diadakan Ponpes
Annuqayah, Guluk-Guluk binaan Kiai M Faizi. Dalam sambutan atas terbitnya
antologi puisi karya santri-santri Annuqayah tersebut, M Faizi menyampaikan sebuah fenomena psikogeorgafis
masyarakat Madura. M Faizi mengatakan bahwa orang Madura perlu bukti. Kalau
sekadar ngomong, orang-orang akan sulit
untuk meniru. Karena itu, dalam rangka memotivasi santrinya agar memunyai kreativitas dalam hal menulis, M
Faizi memberikan teladan bahwa menerbitkan buku adalah perkara mudah. Dari
situlah segalanya bermula dan tunas sastra terus bermunculan.
Tunas
sastra sampai saat ini terus tumbuh di Madura, khususnya dari Sumenep. Pondok
pesantren memiliki andil besar dalam keberlangsungannya, selain tumbuh dari
kantong-kantong komunitas sastra di kampus-kampus. Setidaknya, tercatat dua
pondok pesantren yang cukup produktif melahirkan penulis-penulis muda, yakni Ponpes Al Amin dan Ponpes
Annuqayah. Fenomena itulah yang kemudian melahirkan istilah sastra pesantren.
Dalam
perkembangan berikutnya, ada sebuah fenomena menarik lain yang perlu dicatat.
Peristiwa itu ditandai oleh
peluncuran antologi puisi Pulang
Kampung pada 19 November 2014 yang lalu. Antologi tersebut memuat karya tiga guru SMAN 1
Sumenep, Hidayat Raharja, M. Fauzi, dan Mohammad Sadik, sang kepala sekolah. Hidayat
Raharja bukan nama baru. Dia adalah salah satu senior penyair di Jawa Timur
yang mulai berkibar sejak tahun 1990-an, sedangkan M Fauzi adalah angkatan
mutakhir penyair muda Jawa Timur 2007. Yang menarik di simak adalah kemunculan
bapak kepala sekolah, Moh. Sadik yang sebelumnya belum pernah terdengar namanya
sebagai bagian dari kaum sastrawan. Namun, tiga belas puisinya yang dimuat dalam
antologi ini membuktikan kematangan bahwa di antologi tersebut kehadirannya
bukan sekadar perayaan atau pelengkap.
“Tuhan
ciptakan malam untuk senyummu/ Begitu kata guru imanku/ Sambil mengusap derai
mata ke dagu//” begitulah salah satu petikan puisi Moh. Sadik: sederhana,
lugas, berima teratur, dan berhasil membangun imaji. Semua puisinya bertema
ketaatan baik kepada Tuhan, orang tua, maupun guru dengan bangunan suasana yang
khusuk.
Berbeda
dengan Moh. Sadik, Hidayat Raharja lebih canggih dalam membangun suasana dengan
menatah frasa-frasa deskriptif dan bahasa figuratif sedemikian rupa.
“Sungai-sungai memancar dari telapak tanganmu menuruni/ tebing hari dan membawa
cinta ibu hanyut ke sepanjang/ hilir dan hulu…”
M Fauzi
adalah penyair pembaharu di Sumenep. Dalam Pulang
Kampung sangat terasa bagaimana ia menggubah puisi yang tampak tidak
teratur, naratif, dan ekstrem. Puisinya mengingatkan saya pada gubahan Afrizal
Malna seperti dapat dibaca pada puisi “Meja Coklat” maupun “Rahasia Negara”
yang berkisah tentang UN. M. Fauzi dalam antologi ini secara sadar menghadirkan
puisi yang ia bangun dari lingkungan sekolahnya.
Antologi Pulang Kampung menghadirkan berbagai macam pola persajakan. Setidaknya,
hal ini adalah elemen positif bagi pemahaman siswa tentang bagaimana arus
perkembangan gubahan puisi diciptakan. Pada akhirnya, acara tersebut menyisakan sebuah harapan bagi saya
ke manakah
muara pasca terbitnya antologi tersebut dalam kaitannya dengan siswa sebagai
bagian dari proses pembelajaran?
Seperti kita
ketahui bersama, tidak banyak sekolah menjadi fasilitator sekaligus inspirator
lahirnya penulis-penulis muda. Sastra
(di) sekolah memiliki tantangan yang jauh lebih rumit daripada bidang seni yang
lain. Nyaris tidak ada komunitas (baca: ekskul) yang secara khusus
mengembangkan sastra di sekolah-sekolah. Ia masih kalah minat dengan teater
maupun tari yang secara kekaryaan langsung bisa dipertunjukkan.
Selain
ketersediaan ruang, sastra
(di) sekolah memiliki tantangan lain, di antaranya konsistensi guru
dalam rangka mendampingi siswa sebagai sebuah pembauran laiknya sebuah
komunitas sastra di kampus-kampus. Selain itu, sastra masih menjadi sampingan
karena siswa sudah dirumitkan oleh berbagai tugas sekolah.
Persoalan
akademis sastra (di) sekolah juga persoalan pelik. Pemahaman siswa tentang sastra
tidak begitu bagus salah
satunya karena tidak
adanya buku-buku berkualitas di
perpustakaan sekolah. Karena itu, majalah sastra Horison pada tahun 2002
melalui program SBSB
(Sastrawan Berbicara Siswa Bertanya) berupaya untuk memberikan wawasan lebih
luas tentang sastra.
Kegiatan mengunjungi sekolah-sekolah itu dilakukan tidak lain tujuannya adalah
memotivasi siswa pada kegemaran membaca dan menulis. Namun, sebagai sebuah
program musiman, SBSB akhirnya kandas.
Acara yang
digagas guru-guru SMAN 1 Sumenep tentu menjadi inspirasi menarik dalam upaya
menumbuhkan minat literasi pada siswa.
Tentu, kita sama-sama berharap bahwa kegiatan tersebut memiliki out put
efektif yang mampu merangsang kemampuan dan kegemaran siswa pada sastra secara
khusus, apalagi sekolah tersebut memiliki guru-guru yang secara khusus ahli di
bidangnya. Dengan demikian, diharapkan pertumbuhan sastra (di) sekolah bukan lagi
bersifat individu, melainkan tumbuh secara kolektif.
Sejauh
ini, memang ada beberapa penulis muda yang sudah “menjadi’ ketika masih di SMA.
Dalam skala nasional, beberapa sastrawan yang muncul ketika masih SMA di
antaranya, penyair alm. WS Rendra, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Nirwan Dewanto,
dan masih banyak lagi. Namun, kemunculan mereka bukanlah kerja
kolektif-komunitas, melainkan sebuah kreativitas dan bakat individu.
Di SMAN 1
Sumenep sendiri sebenarnya telah lahir seorang cerpenis muda lulusan tahun 2013
bernama Noevil—beberapa cerpennya cukup sering dimuat Koran Madura maupun Radar
Madura. Namun, karier kepenulisannya
justru tumbuh menjelang dia lulus dan semakin terasah ketika bergabung dengan
FLP Surabaya.
Fenomena sastra Indonesia mutakhir
pada dasarnya memberikan ruang terbuka bagi perkembangan remaja. Hal itu
diawali dengan terbitnya novel pop yang dikenal dengan istilah teenlith berjudul Eiffel, I’m In
Love
karya Rahmania Arunita. Novel best seller itu mulai ia garap saat masih
berusia 15 tahun dan duduk di kelas 1 SMAN 28 Jakarta sampai terbit pada tahun
2003. Sampai saat ini apa yang pernah dilakukan oleh remaja tersebut telah
menginspirasi lahirnya ratusan novel pop di Indonesia.
Sastra pesantren sudah membumi
dan menjadi perbincangan nasional. Pun dengan sastra kampus. Namun, sastra
sekolah masih menjadi cita-cita dan harapan pemerhati sastra. Sastra (di)
sekolah bukan tidak mungkin menjadi ladang yang menumbuhkan penulis-penulis
muda. Secercah harapan itu sudah muncul, kini, kita tinggal merawatnya.
*) Umar Fauzi Ballah, kritikus sastra, alumni Sastra Indonesia Unesa, mantan Kepala Unit Ganesha
Operation, Sumenep. Saat ini
tinggal di Sampang dan mengelola GO Sampang. twitter
@uf_ballah
NB: Esai kawan kuliah, Umar Fauzi Ballah. Seingat saya esai ini tayang di Radar Madura, tepatnya kapan saya lupa. Mumpung lagi galak-galaknya gerakan literasi, ya saya tayangkan esai ini di blog yang tak lagi surem ini. Pun, esai ini sepertinya juga belum sempat tayang di blog SARBI
Komentar