Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Vinca Diah Kathartika Pasaribu

GEMINGMU ITU

Begitu rindu kukecup belantara di dahimu
Demikian rindu hingga rontok relung-relung cintaku
Gemingmu itu sayat belati, mata bambu yang memahat luka terabadi

Begitu rindu kupagut desis syahdu bibirmu, dan kumangsa
musim semi yang mengitari hasratmu
Demikian rindu hingga beku bait sajakku dalam sekelebat gigil maut
Mengorek sumsum
Oh, gemingmu itu…
abjad pasi yang melayang-layang di lembar gersang ragawi.

19-12-2012
 
SETANGKAI

Aku setangkai sunyi yang mengamini mekar janji
Di muara kelam malam
Debu gemintang berjajar pada lusuh kerinduan
Rindu nyanyi diri
Rindu terang hati
Rindu yang membuncah laksana mata samudera

Aku setangkai perih yang tiap malam turut berbaris
Memikul tandu-tandu luka, menghantarnya ke larut doa
Satu per satu anyir yang menganga disemayamkan dalam keranda raga
Di telapak tanganku, dupa kutuk menyala
Getir aroma kepasrahan
Pasrah terbakar diri
Pasrah tertawan hati.

20-12-2012
 
RUANG ANTAH KATEDRAL

Jemari mati sang jelata, terhuyung menari
Merayap, mengorek jantung katedral
Ia petik sembilu dari jeritan lilin altar
yang bersemayam usang
Betapa nyanyian kalvari menjelma nada sukma,
dan kidung golgota yang meronta
semayamkan getir sabda

Bersemi, bersemilah… serunai luka jelata
Seperti mekar karangan bunga natal
Seperti merah-rekah sebaris gerhana
Dan lihat…
di ruang antah katedral, sang jelata lamur
dalam rengkuhan luka.

25-12-2012
 
GEMULAI HARPA

Gemulai harpa lenggangkan temaram nada
Merah oktaf cinta menyongsong bulan di hulu senja
Sendu paras wanita. Rikuh jemarinya merengkuh dawai
Cemas menanti kepulangan semi
Buah dan bebungaan tak kunjung ranum di keranjangnya

Gemulai harpa sunggingkan gempita luka
Getir paras wanita. Retak bibirnya mengecup dawai
Telah lama gemeretak kakinya berbaris di antara kaum sengsara
menjadi bulan-bulanan usang peristiwa
Oh, gemulai harpa,
mengapa di malam sepurna ini gontai angin masih merenggut cahaya?

27-12-2012
 
SEBUAH BINTANG

Ada sebuah bintang menyendiri di suatu kisah petang
Menghitung bilangan sunyi
Mengalikannya dengan bilangan alpa diri
Lagi ia lukis seutas senyum naif pada memar hatinya
Menikahi sandiwara
Dengan peluh dan airmata ia basuh khianat semesta

Lambat laun sang bintang menjelma sesosok debu angkasa
Tiada yang sudi merasai separuh tirakatnya
Sungguh, pintu-pintu malam telah terkunci
bagi sebuah jawaban yang ingin didapat gontai diri.

28-12-2012
 
Vinca Dia Kathartika Pasaribu, lahir di Jember, 17 Februari 1996. 

NB: Sebenarnya Vinca salah satu penyair berbakat. Saya pertama kali membaca karya-karyanya tahun 2010. Saat itu karya-karya Vinca sering muncul di Kakilangit Horison, pernah juga saya baca di Majalah Story. Sempat beberapa kali kontak dengan anak ini. Tapi, sekarang jejaknya sudah tidak ada. Saya sempat menyinggung bahwa untuk anak seusianya, saat itu, puisi-puisi Vinca jauh lebih liar dari puisi-puisi awal Indra Tjahyadi.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI