Oleh Dody Kristianto*
Selamat malam
Tuan. Pertama-tama, saya baru saja terhanyut oleh ketenangan yang disajikan
oleh Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan puisinya, Kolam. Ya, buku
terbaru dari salah satu empu puisi di Indonesia ini tidak lain sudah memberikan
sedikit pelajaran pada saya, bagaimana sesuatu yang sederhana itu, betapapun
sederhananya, mengandung kepuitisan tertentu.
(Ah, semoga
ini malam saya tak sedang melantur).
Lantas saya
harus berhadapan dengan puisi-puisi dari seseorang “aneh” bernama Ferdi Afrar.
Seseorang yang bagi saya “aneh”, sebab kami dipertemukan oleh ruang global
bernama internet. Pada jagat yang mahaluas ini, tiba-tiba saya bertemu dengan
Ferdi yang berasal dari kota yang sama dengan saya dan memiliki kegemaran akan
hal yang serupa : puisi.
Kegemaran akan
hal serupa inilah yang harus membuat saya untuk mau tak mau memasuki
puisi-puisi Ferdi Afrar, kadang dengan cara yang teramat sopan. Kadang pula
saya memasukinya seperti halnya seorang pencuri yang mengedap tiba-tiba.
Mengendap ke dalam kamar anak gadis yang tengah tertidur pulas di dalam
kamarnya.
(Semoga ini
juga tidak menandakan jika saya sedang mengantuk).
Maka saya akan
menjadi seorang pengendap-endap saja terhadap sebuah kumpulan puisi yang
disajikan Ferdi pada saya. Sebuah kumpulan yang ditulis dalam kurun waktu tahun
2004-2009. Sebuah kumpulan yang ternyata memiliki satu benang merah yakni
KEKASIH. Kekasih? Saya hanya menduga-duga, apakah kumpulan ini akan segenit Kekasihku
ala Joko Pinurbo? Tersebab penyair hanyalah ia yang menilas jejak kepenyairan
para pendahulunya.
Dan membincang
tentang puisi, saya teringat jika ia adalah ruang personal seorang penyair.
Dari dalam ruang personal inilah, seorang penyair menjelma pengembara yang
berjalan jauh ke sebalik kejadian, peristiwa, atau bahkan masuk ke dalam inti
peristiwa. Sesuatu yang membedakan puisi dengan, katakanlah, berita. Meminjam
kalimat Damhuri Muhammad bahwa kepenyairan lebih menukik pada labirin “suasana
hati” saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri).
Kembali pada
kesederhanaan, saya menangkap ada semacam kesederhanaan Ferdi Afrar dalam
berhadapan dan menjinakkan kata-kata (ingat medium seorang penyair pada kata).
Ia tidak terpengaruh dengan latar kesejarahan perpuisian lokal Surabaya yang
masih dibayangi oleh puisi yang bisa menjelma keganjilan dan keajaiban dengan
kocokan maut kata-kata (kata-kata Nirwan Dewanto dalam Festival Seni Surabaya
2007). (NB : Ferdi tinggal di Sidoarjo, sebuah kota yang berbatasan langsung
dengan Surabaya).
Pun puisi
Ferdi juga gagal mengingatkan saya akan kehebohan Afrizal Malna, yang mengusung
kaleng Coca-Cola, restoran padang, kambing, Antropologi, atau bak mandi ke
dalam ranah perpuisian. Puisi-puisi Ferdi Afrar lebih mirip atau mengikuti
trend global yang tengah digandrungi oleh para penyair dewasa ini : yang liris
merindu lagi sederhana. Dengan tema-tema yang sebagaian besar berangkat dari
keremehan sehari-hari.
Kesederhanaan
ala Ferdi ini diikat dalam satu bingkai yang sama yakni KEKASIH. Mau tak mau, suka tidak suka,
saya harus menelisik kembali makna kekasih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Konon, kamus ini mengajarkan jika kekasih berarti orang yang dicintai; buah
hati. Maka, saya pun gemar menduga-duga bila sebagian besar puisi dalam
kumpulan ini ditulis dan dipersembahkan kepada seseorang yang dicintai oleh
Ferdi. Entah seseorang yang nyata atau seseorang yang diciptakan secara
imajiner oleh Ferdi Afrar. Tuduhan sementara saya ialah, sebagian besar sajak
dalam kumpulan ini memiliki tendensi ke arah cinta : sebuah tema yang tak pernah
lapuk menjadi garapan sebuah puisi.
Saya ingin
membaca sejenak dari Kekasih, kata yang digunakan oleh Ferdi sebagai bagian
pembuka dalam sebagian besar sajak di kumpulan ini. Saya mencurigai,
jangan-jangan kekasih hanyalah semacam halusinasi Ferdi. Ia tak lebih dari
bentukan Ferdi semata. Kekasih yang sesungguhnya memang tak pernah ada. Mungkin
dugaan saya benar atau bahkan benar-benar melenceng dari perkiraan.
Kekasih memang
menjadi pintu menuju sajak-sajak dalam kumpulan ini. Dari kekasih inilah, pintu
imajinasi Ferdi berlompatan. Ia lepas ke berbagai arah dan menembaki berbagai
tema. Salah satu yang tiba-tiba saya tangkap adalah kematian. Kekasih yang
dirindukan adalah kematian. Tanpa sadar Tuan, Ferdi mengingatkan saya,
mengingatkan kita bahwa kita sebenarnya dirindukan (atau malah merindukan?)
kematian. Maka tak heran Tuan, bila Kekasih Ferdi akan membawa kita pada : Kekasihku, tak kutinggalkan
sehelai rambut pun / yang kau tunggu di rumah bidan dan dikamar penghabisan /
yang tersisa hanyalah ludah yang mengulummu di sepanjang senja / karena sayapku
patah berkelahi dengan taji mereka // Kekasihku, senyummu tetaplah kau gantung
di ruang tamu / karena malam penghabisan menjemputku pukul sepuluh (Kekasihku).
Tidak ada perlawanan sama sekali
ketika aku dijemput oleh “malam penghabisan”. Tidak ada. Kekasih di sini
berfungsi sebagai tanda bahwa kematian akan menjemput aku lirik. Satu hal yang
pasti dari kematian ialah pasrah. Ferdi juga dengan “pasrah” menggambarkan
jalan kematian yang indah : Badanku aku
telentangkan selebarnya / di atas lantai. aku pejamkan mata / agar kamu dapat
berkunjung dengan / mudah, memasuki mataku yang keruh./ kemudian menyalamiku
seperti deru / mobil di kejauhan yang mendekat / lenyap, berulangkali.//
lakukan hal sesukamu. pilih badanku / yang teragu. saat ini aku tak ingin ribut
/ apalagi menyumpahmu. sementara aku / simpan semua sajak perlawananku. (Selamat Datang Sepi). Mati, pasrah, dan sepi adalah tiga
hal yang memang saling berkaitan. Namun, kepasrahan yang ditunjukkan Ferdi adalah
kepasrahan yang membahagiakan. Maut tak ubahnya serupa kekasih yang bertandang.
Sampai di sini Tuan, saya teringat sebuah sajak Aslan Abidin yang berjudul “Tak
Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian”.
Penyair
adalah seorang pengembara. Ia mesti berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Tentu tempat di sini bukan tempat dalam arti konkret. Secara
“keterlaluan” beberapa puisi Ferdi mengingatkan saya akan hal-hal berbau sosial
(untuk menghindari kata politis dalam pembicaraan ini. Entah mengapa, pikiran
saya mendadak “kotor” ketika saya bertemu dengan : Kekasihku, selembar permainan halma
tergelar di depan kita / Kita saling berhadapan / menata pion-pion yang
berserakan // Aku pion merah, engkau biru / bersungguh melompat dari titik ke
titik / mengisi wilayahmu dengan pion merahku / mengisi wilayahku dengan pion
birumu / mengisi wilayah halma dengan cinta. (Halma)
Mau tidak mau, cinta ternyata masih
berkait dengan urusan politik. Bukankah dalam cinta juga diajarkan perihal
menguasai, dikuasai, dan bagaimana agar pihak yang terkuasai nyaman dalam peluk
dan rengkuh pihak yang menguasai?
Tuan, ketika masih duduk di bangku kuliah, saya sering
mendengar bahwasanya sastra tidak terlepas dari kekosongan budaya. Entah
sepersonal apapun sebuah karya, pasti ada kaitan dengan masyarakat yang
mengiringi tempat di mana karya itu hidup dan menjadi. Ah, Ferdi lagi-lagi
mengingatkan dan mengiangkan saya pada pernyataan itu. Kekasihku, kita
selalu menunggu waktu, kemudian menyelinap ke taman rahasia / meski kita tahu
orang-orang tua selalu berpesan untuk tak ke sana / tapi kita begitu bergairah
bila mendengar kisah taman itu (Taman Rahasia).
Pernyataan dan ungkapan itu Tuan, kita tahu orang-orang
tua selalu berpesan untuk tak ke sana ternyata melemparkan saya pada kisah
Siti Nurbaya dan Balai Pustaka pada umumnya. Ya, bukankah adat memang menjadi
garapan bagi angkatan pertama dalam sejarah kesusastraan kita? Dan kata “orang
tua” selalu identik dengan adat. Generasi kita dan generasi orang tua adalah
dua generasi yang kadang akan selalu bertentangan. Sampai di sini Tuan, Ferdi
(secara tak sadar) telah menembak beberapa tema di luar percintaan dalam
puisi-puisinya.
Berbicara mengenai puisi-puisi cinta, saya
tak akan melepaskan diri dari Khalil Gibran. Penyair yang karyanya dapat
diterima secara luas oleh semua kalangan itu memuisikan cinta dengan narasi
yang “halus” lagi “ngelangut” : Di hutan tak ada yang menyalahkan, ketika
kekasih berjumpa sesuai janji, juga tak ada mata-mata yang mengintai, / Ketika
seekor kijang, yang berlari gesit, menyapa pasangannya dengan riang.
Mungkin sangat keterlaluan jika kita membandingkan antara Gibran dengan Ferdi
Afrar. Namun, narasi “halus” lagi “ngelangut” juga dapat kita jumpai pada
puisi-puisi Ferdi, semacam : di pantai kita membuat puri / dari sekumpulan
pasir yang berwarna / di dalamnya kita membuat teka-teki / - atau teka-teki
sudah ada sebelum kita bertemu- (Pantai).
Oleh karena itu Tuan, kelahiran dan
kehadiran buku puisi Ferdi Afrar ini sepatutnya kita rayakan. Kita rayakan
sebagai salah satu keberhasilan proses penciptaan. Meskipun kita semua tentu
tak akan mengetahui sampai dan akan berakhir di mana nasib buku puisi ini serta
Ferdi Afrar selaku seorang creator sastra yang mencoba berdiri tegak di tengah
arus banal nan liar dunia kepenulisan di Indonesia (terutama sesudah muncul
media dan antologi raksasa bernama facebook).
(Ternyata saya sudah banyak berbasa-basi
Tuan)
Untuk itu, segeralah mengabaikan dan
mengacuhkan tulisan ini Tuan, sebab hanya akan membuat otak Anda mampat dan
pikiran Anda tak dapat terbang ke mana Anda suka. Masuk dan nikmati saja
sehimpunan puisi Ferdi Afrar ini.
Sekian.
* ) warga kota Serang (dibuktikan dari KTP) yang lahir di Surabaya.
NB : Ini adalah pengantar (atau penutup?) untuk buku puisi Ferdi Afrar, Sepasang Bibirmu Api, yangg terbit medio 2012 lalu.
Komentar