Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Ashif Hasanuddin
















PINTU

Dari bara yang jadikan lelaki
setengah merdeka
aku datang
mengetuk palung dalammu.

Dengan telinga
yang serupa radar api
aku mencarimu,
meniti sayap dan gerigi.

Seperti jengkrik
kususun segala bunyi,
agar rautmu yang pasi
tumbuh rerumbai,
semacam puisi
atau bebunga padi,

Yang menuju putih,
seputih jalan yang diberkati
di saat dedaun bersih
oleh sisa embun pagi,
oleh mimpi.

Lia, adakah waktu
yang lebih indah
dari bunyi-bunyian ini?

Bunyi yang kucari
hingga ke akar daun
dan tunas sepi.

Sebab bunga,
semua bunga,
melindur,
mengumamkan
nama kendur
yang tak terlipur kamus
dan kitab anggur.

(2010)

TIRAI

Lantaran usialah aku temukan rasa
dengan rantai mawar yang melukis kamar
seperti perahu di bawah cahaya layar

kata-kata telah renta
saat surya menaiki tangga-tangga
tak sempat bercengkrama

sebab isyarat telah mendengung mesra
dari ubunku yang tua, menggapai bunga-bunga

di atas sana, di mana sang taman
membalas doa-doa dengan butiran hujan.

(2010)

PENDAMPING

Dengan baju kudus 
sehabis perjamuan.

Puan itu datang 
dalam pembaringan.

Ia adalah baju baru 
seperti cermin waktu.

(2010)

Ashif Hasanuddin lahir di Gresik, 29 Maret 1987. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Bergiat di Komunitas Rabo Sore di kampusnya. 

NB: Puisi-puisi di atas adalah puisi-puisi Ashif Hasanuddin yang dimuat di Koran Tempo edisi 9 Januari 2011. Tentu saja itu adalah biodata tahun 2011 karena sekarang Ashif Hasanuddin sudah lulus dari Unesa. Teman satu komunitas di Komunitas Rabo Sore.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI