Esai dari Bung Tomy Welly alias Bung Towel ini sengaja saya copas karena lagi hot-hotnya topik ini. apalagi, hal ini berkaitan dengan kekalahan Indonesia dari timnas Bahrain pada laga Pra-Piala Dunia 2014 Selasa (6/9) lalu di Stadion GBK. Monggo dinikmati.
***
Oleh Tommy Welly
Mereka mengklaim dirinya reformis. Misinya mereformasi PSSI. Yang berbeda cara pandang atau berani mengkritik mereka dicap anti perubahan. Stigma pro status quo langsung dilayangkan kepada siapapun yang berani mempertanyakan kebijakan mereka. Seakan-akan hanya mereka-lah yang pro perubahan. Yang lain dianggap sepi, cukup sebagai penonton, lebih baik diam jika tak ingin dicap pro status quo.
Sayangnya, meski mengaku-ngaku reformis, perilakunya justru bertolak belakang. Mereka lebih tepat disebut kelompok revolusioner. Semua hal yang terkait dan berbau episode lama era Nurdin Halid disingkirkan.
Koban pertama begitu Djohar Arifin Husin naik tahta sebagai Ketua Umum PSSI adalah Alfred Riedl. Ironisnya, pelatih timnas Indonesia ini dipecat mendadak karena dianggap tidak mau bekerja sama dengan kubu Arifin Panigoro. “"Dia (Riedl) tidak mau bekerja sama dengan kita. Ya kita ganti. Susah-susah amat, masih banyak yang lain," kata Arifin saat ditemui di rumahnya di kawasan Jenggala pada acara syukuran terpilihnya Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman sebagai pasangan Ketua dan Wakil Ketua Umum PSSI periode 2011-2015, Rabu 13 Juli 2011 malam,(TEMPO Interaktif).
Pernyataan yang menggelikan mengingat Arifin Panigoro, bukan siapapun dalam struktur kepengurusan di PSSI. Walaupun sejak itu, sudah rahasia umum, jika rapat dan pertemuan penting PSSI yang menghasilkan keputusan strategis kerap dilakukan di Jenggala. Artinya Djohar selalu berkonsultasi dengan Jenggala.
Soal pemecatan Riedl, Djohar pun mengamininya. “Pelatihnya bukan Riedl lagi. Ia tidak dikontrak PSSI. Kami cari surat kontraknya di PSSI, tetapi enggak dapat. Pelatih baru nanti adalah orang dari Belanda. Kami butuh penyegaran," ungkap Djohar (Tribunnews).
Sebuah alasan yang beraroma akal-akalan dan terasa menggelikan. Apalagi istilah penyegaran dilontarkan Djohar yang dengan background mantan pemain bola, mantan wasit dan juga mantan pelatih seharusnya paham, penyegaran bukanlah kata yang tepat. Memecat Riedl hanya untuk penyegaran sementara tinggal bersisa sembilan hari jelang pertandingan kualifikasi Piala Dunia zona Asia 2014 putaran dua, menghadapi Turkmenistan di Ashgabat (23/7), jelas bukan berlandaskan alasan sepak bola.
Timnas Jadi Korban
Sosok Belanda yang dimaksud untuk penyegaran ala Djohar itu adalah Wim Rijsbergen. Sebagai pemain reputasinya memang hebat. Mantan pemain timnas Oranje di Piala Dunia 1974 dan 1978. Seangkatan Johan Cruyff dengan total football-nya. Tapi dalam sepak bola, pemain hebat tidak selalu berkorelasi menjadi pelatih hebat. Bahkan pelatih besar seperti Arrigo Sacchi dan Jose Mourinho sama sekali tidak berlatar belakang pemain yang sukses. Sacchi malah sama sekali tidak mengecap karir sebagai pemain profesional. Sebelum menjadi legenda untuk AC Milan, ia justru berprofesi sebagai salesman sepatu. Begitu juga dengan Mourinho muda yang gagal meniti karir sebagai pesepakbola profesional di klub Vitoria Setubal.
Karir kepelatihan Wim Rijsbergen pun tidak begitu memukau. Prestasi terbaiknya adalah asisten pelatih Trinidad-Tobago di Piala Dunia 2006 bagi Leo Beenhakker. Setelah itu curriculum vitae-nya lama kosong tak terisi. Sampai akhirnya Januari 2011, ia menjadi pelatih bagi PSM di Liga Primer Indonesia (LPI) yang akhirnya cuma berjalan separuh musim dan kini almarhum.
Enam bulan menukangi PSM ternyata cukup bagi Wim untuk promosi memimpin timnas Indonesia. Kebetulan, manajemen timnas pun berganti wajah, didominasi mantan pentolan-pentolan LPI, mulai dari General Manajer timnas Arya Abhiseka yang belakangan hari posisinya dibantah dan tidak diakui Djohar, Manajer Tim Ferry Kodrat yang eks CEO Persibo sampai media officer Dessy Christina.
Hebatnya, Wim juga langsung sesumbar bakal membangun timnas Indonesia menjadi lebih kreatif dan menyerang. Ia bakal meninggalkan pola 4-4-2 warisan Riedl dan mengubahnya ke skema menyerang 4-3-3 ala Barcelona. “Kalau kamu melihat bagaimana Spanyol dan Barcelona bermain, seperti itulah kira-kira saya akan membentuknya,” ucap Wim sebelum berangkat ke Turkmenistan.
Tapi kenyataannya jauh panggang dari api. Turkmenistan memang bisa dilewati, itu pun dengan banyak catatan. Saat itu untung pula masih ada sosok Rahmad Darmawan (RD) yang paham betul karakter dan kualitas Bambang Pamungkas dkk. Namun usai ditinggal RD yang konsentrasi ke timnas U23 SEA Games, kualitas Wim perlahan-lahan mulai terbuka.
Bak mimpi di siang bolong, sesumbarnya soal bermain seperti Belanda, Spanyol apalagi Barcelona hanya sensasi belaka yang akhirnya menguap begitu saja. Saat itu Wim hanya omong besar. Kini, ia tak bisa membantah lagi, ketika lima gol telah bersarang di gawang Markus Horison dari Iran dan Bahrain tanpa satu gol pun yang berhasil dilesakkan pemain kita.
Miskin strategi, pergantian pemain yang tidak efektif serta lemahnya kepemimpinan Wim sudah mengorbankan timnas Indonesia. Bahasa tubuhnya tidak mencerminkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Seringkali ia kedapatan sibuk mencoret-coret bukunya. Entah apa yang ia tuliskan sementara Bambang Pamungkas dkk tengah tertekan dan butuh solusi di lapangan. Kontras dengan gesture-nya Carlos Queiros dan Peter Taylor yang terus menerus berdiri di area teknik memberikan koreksi dan support untuk pemainnya.
Puncaknya, kata-kata makian kasar Wim kepada pemain dan pernyataannya bahwa timnas bukanlah tim bentukannya menjadi bom yang bukan saja makin menutup peluang Indonesia lolos ke putaran empat tapi juga berpotensi menghancurkan keutuhan dan kekompakan timnas kita.
Inilah potret sepak bola kita. Sebuah episode reformasi yang berubah wujud menjadi dagelan tidak bermutu, buah karya PSSI van Jenggala.
@Towel
dimuat di Liputan6.com
Sayangnya, meski mengaku-ngaku reformis, perilakunya justru bertolak belakang. Mereka lebih tepat disebut kelompok revolusioner. Semua hal yang terkait dan berbau episode lama era Nurdin Halid disingkirkan.
Koban pertama begitu Djohar Arifin Husin naik tahta sebagai Ketua Umum PSSI adalah Alfred Riedl. Ironisnya, pelatih timnas Indonesia ini dipecat mendadak karena dianggap tidak mau bekerja sama dengan kubu Arifin Panigoro. “"Dia (Riedl) tidak mau bekerja sama dengan kita. Ya kita ganti. Susah-susah amat, masih banyak yang lain," kata Arifin saat ditemui di rumahnya di kawasan Jenggala pada acara syukuran terpilihnya Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman sebagai pasangan Ketua dan Wakil Ketua Umum PSSI periode 2011-2015, Rabu 13 Juli 2011 malam,(TEMPO Interaktif).
Pernyataan yang menggelikan mengingat Arifin Panigoro, bukan siapapun dalam struktur kepengurusan di PSSI. Walaupun sejak itu, sudah rahasia umum, jika rapat dan pertemuan penting PSSI yang menghasilkan keputusan strategis kerap dilakukan di Jenggala. Artinya Djohar selalu berkonsultasi dengan Jenggala.
Soal pemecatan Riedl, Djohar pun mengamininya. “Pelatihnya bukan Riedl lagi. Ia tidak dikontrak PSSI. Kami cari surat kontraknya di PSSI, tetapi enggak dapat. Pelatih baru nanti adalah orang dari Belanda. Kami butuh penyegaran," ungkap Djohar (Tribunnews).
Sebuah alasan yang beraroma akal-akalan dan terasa menggelikan. Apalagi istilah penyegaran dilontarkan Djohar yang dengan background mantan pemain bola, mantan wasit dan juga mantan pelatih seharusnya paham, penyegaran bukanlah kata yang tepat. Memecat Riedl hanya untuk penyegaran sementara tinggal bersisa sembilan hari jelang pertandingan kualifikasi Piala Dunia zona Asia 2014 putaran dua, menghadapi Turkmenistan di Ashgabat (23/7), jelas bukan berlandaskan alasan sepak bola.
Timnas Jadi Korban
Sosok Belanda yang dimaksud untuk penyegaran ala Djohar itu adalah Wim Rijsbergen. Sebagai pemain reputasinya memang hebat. Mantan pemain timnas Oranje di Piala Dunia 1974 dan 1978. Seangkatan Johan Cruyff dengan total football-nya. Tapi dalam sepak bola, pemain hebat tidak selalu berkorelasi menjadi pelatih hebat. Bahkan pelatih besar seperti Arrigo Sacchi dan Jose Mourinho sama sekali tidak berlatar belakang pemain yang sukses. Sacchi malah sama sekali tidak mengecap karir sebagai pemain profesional. Sebelum menjadi legenda untuk AC Milan, ia justru berprofesi sebagai salesman sepatu. Begitu juga dengan Mourinho muda yang gagal meniti karir sebagai pesepakbola profesional di klub Vitoria Setubal.
Karir kepelatihan Wim Rijsbergen pun tidak begitu memukau. Prestasi terbaiknya adalah asisten pelatih Trinidad-Tobago di Piala Dunia 2006 bagi Leo Beenhakker. Setelah itu curriculum vitae-nya lama kosong tak terisi. Sampai akhirnya Januari 2011, ia menjadi pelatih bagi PSM di Liga Primer Indonesia (LPI) yang akhirnya cuma berjalan separuh musim dan kini almarhum.
Enam bulan menukangi PSM ternyata cukup bagi Wim untuk promosi memimpin timnas Indonesia. Kebetulan, manajemen timnas pun berganti wajah, didominasi mantan pentolan-pentolan LPI, mulai dari General Manajer timnas Arya Abhiseka yang belakangan hari posisinya dibantah dan tidak diakui Djohar, Manajer Tim Ferry Kodrat yang eks CEO Persibo sampai media officer Dessy Christina.
Hebatnya, Wim juga langsung sesumbar bakal membangun timnas Indonesia menjadi lebih kreatif dan menyerang. Ia bakal meninggalkan pola 4-4-2 warisan Riedl dan mengubahnya ke skema menyerang 4-3-3 ala Barcelona. “Kalau kamu melihat bagaimana Spanyol dan Barcelona bermain, seperti itulah kira-kira saya akan membentuknya,” ucap Wim sebelum berangkat ke Turkmenistan.
Tapi kenyataannya jauh panggang dari api. Turkmenistan memang bisa dilewati, itu pun dengan banyak catatan. Saat itu untung pula masih ada sosok Rahmad Darmawan (RD) yang paham betul karakter dan kualitas Bambang Pamungkas dkk. Namun usai ditinggal RD yang konsentrasi ke timnas U23 SEA Games, kualitas Wim perlahan-lahan mulai terbuka.
Bak mimpi di siang bolong, sesumbarnya soal bermain seperti Belanda, Spanyol apalagi Barcelona hanya sensasi belaka yang akhirnya menguap begitu saja. Saat itu Wim hanya omong besar. Kini, ia tak bisa membantah lagi, ketika lima gol telah bersarang di gawang Markus Horison dari Iran dan Bahrain tanpa satu gol pun yang berhasil dilesakkan pemain kita.
Miskin strategi, pergantian pemain yang tidak efektif serta lemahnya kepemimpinan Wim sudah mengorbankan timnas Indonesia. Bahasa tubuhnya tidak mencerminkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Seringkali ia kedapatan sibuk mencoret-coret bukunya. Entah apa yang ia tuliskan sementara Bambang Pamungkas dkk tengah tertekan dan butuh solusi di lapangan. Kontras dengan gesture-nya Carlos Queiros dan Peter Taylor yang terus menerus berdiri di area teknik memberikan koreksi dan support untuk pemainnya.
Puncaknya, kata-kata makian kasar Wim kepada pemain dan pernyataannya bahwa timnas bukanlah tim bentukannya menjadi bom yang bukan saja makin menutup peluang Indonesia lolos ke putaran empat tapi juga berpotensi menghancurkan keutuhan dan kekompakan timnas kita.
Inilah potret sepak bola kita. Sebuah episode reformasi yang berubah wujud menjadi dagelan tidak bermutu, buah karya PSSI van Jenggala.
@Towel
dimuat di Liputan6.com
Komentar