Langsung ke konten utama

"Pakiah" dari Pariangan

Cerpen Gus Tf Sakai
Bagi orang-orang di kampung itu, cerita tentang pakiah sudah jadi masa lalu. Ia tertinggal dalam surau-surau tua, di tebal debu kitab-kitab kuning yang berhampar-serak, dalam bilik-bilik garin yang daun-daun pintunya telah somplak.
Bagi orang-orang yang datang ke kampung itu, ia akan didengar dari mulut orang-orang tua atau tukang cerita, berbaur-biluh dengan kisah para pendekar yang dalam bahasa mereka disebut pandeka.
Pakiah dan pandeka, bagi mereka orang-orang Sitalang, memang hampir tak bisa dipisahkan. Bahkan tak jarang, untuk tak mengatakan hampir selalu, dua sebutan itu berada dalam tubuh yang sama. Seseorang menjadi pakiah ketika remaja, menjelma jadi pandeka atau pendekar ketika dewasa. Tentu saja pakiah bisa langsung dikenali, sementara pandeka, orang-orang yang berkemampuan silek (silat) tinggi itu, sering-sering bersembunyi di dalam diri.
Tentang bersembunyi di dalam diri, menurut Nek Minah, mereka sebetulnya juga serupa. Hanya karena tugasnya, pakiah harus berkeliling meminta sedekah dengan penampilan sama: memakai sarung, atau celana dasar, dengan baju koko. Berpeci, dengan buntie (buntal) atau kantung beras di tangannya. Siapa pun akan langsung mengenali bahwa itu pakiah. Akan tetapi, pandeka?
”Jangan terkecoh oleh tampak luar,” begitu kata Nek Minah kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya. ”Seperti halnya pandeka, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran. Kalian bayangkan, coba, bagaimana perasaan kalian bila suatu kali orang bukan memasukkan beras, melainkan abu, ke kantong beras kalian?”
Dan lalu, Nek Minah akan melayangkan pandang ke mulut jalan, ke arah dari mana dulu saat ia kanak-kanak melihat pakiah itu muncul-datang, pergi-pulang, tetap dengan wajah tenang, bahkan seperti terang, walau tak mendapat sedekah apa-apa dari rumahnya. Mulut jalan itu, yang dulu kecil saja karena cuma jalan setapak, kini telah menjelma jadi mulut jalan besar yang langsung disambut oleh pekan (pasar) Sitalang. Betapa Nek Minah tak menyangka, rumahnya yang pada masa lalu adalah pinggir kampung dengan ladang dan belukar di mana-mana, kini menjelma jadi daerah cukup ramai dengan Jorong Sitalang pusat pekan-nya.
Dan, di pusat pekan atau pasar kampung itu, cerita tentang pakiah kembali bermula. Tetapi, siapa pula bakal menyangka, cerita itu, pada akhirnya, lebih jadi milik para pengemis?
***
Seperti biasa, setiap tahun bila Ramadhan tiba, pekan Sitalang akan mencapai puncak ramainya. Sayur-mayur atau palawija apa pun dari kampung sekitar, seakan hanya dibawa ke sana. Begitu pun pakaian, barang-barang sandang yang sebelumnya tak ada, tiba-tiba muncul dengan pedagang-pedagang bertenda. Mungkin karena terletak di antara dua kota, barang apa pun seperti singgah, seolah mencoba peruntungan Lebaran sebelum dibawa ke kota lainnya.
Di pusat pekan kampung semacam itu, keramaian kadang bisa tak terkira. Segala macam orang bisa ada, tak ubahnya seperti di terminal atau pasar induk di kota-kota. Mulai dari tauke, pedagang eceran, sampai pedagang tiban yang mengambil barang di sana dan menjualnya juga di sana. Mulai dari kuli angkat, tukang ojek motor, sampai preman pekan tukang palak, pun pencopet. Para perantau yang mudik atau pulang, juga sejenak berhenti di sana. Dan tentu, yang dari hari ke hari Ramadhan terus bertambah, adalah para pengemis.
Para pengemis ini, dari manakah mereka datang? Hanya dua-tiga orang yang bisa dikenali sebagai penduduk sekitar Sitalang, selebihnya tentu berasal dari kampung yang jauh. Bila mereka berasal dari kampung-kampung yang jauh, pukul berapakah mereka berangkat dari kampung mereka karena pagi sekali mereka sudah berada di Pekan Sitalang? Bila mereka berangkat malam sebelumnya atau sangat dini, kenapa mereka tak tampak lelah? Kecuali mimik memelas dan pakaian yang lusuh dan kumal, tak tampak masalah apa-apa pada diri mereka. Bahkan, galib kejadian, mereka bisa berkelahi dengan preman pekan tukang palak, walau selalu kalah.
Di tengah para pengemis seperti itu, munculnya dua pengemis remaja berpakaian sama, jadi tampak sangat mencolok. Pakaian mereka: celana dasar warna coklat dengan baju koko hijau muda. Berpeci hitam dengan buntalan dijinjing atau kadang disampir di pundak mereka. Ya, dua orang pakiah. Sudah dua hari ini mereka muncul di Pekan Sitalang. Tetapi ya, seperti Anda tahu, pakiah sudah jadi masa lalu. Maka orang-orang hanya heran tentang pakaian, tentang kerapian, dan tentang wajah yang bukan memelas, melainkan, walau terkesan lembut dan lemah, tampak bersih dan tenang.
Tetapi pula, tentu tak semua orang di Pekan Sitalang sudah tak kenal pakiah. Beberapa orangtua asli Sitalang yang berjualan di pasar itu adalah pengecualian. Dan di antara mereka yang tetap kenal ini, ada juga yang samar-samar mendengar bahwa di kampung tua bernama Pariangan, kampung yang dulu dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang mereka, telah sejak setahun ini berdiri sebuah pesantren. Dan, di antara yang samar-samar mendengar ini, ada yang kemudian samar-samar pula mendengar pendiri pesantren itu Inyiak Pakiah Babanso. Siapakah Inyiak Pakiah Babanso? Dulu, dulu sekali, bila Anda mendengar namanya, maka Anda akan menggigil.
***
Inyiak Pakiah Babanso adalah pendekar tanpa tanding. Pada masanya, tak seorang pun pandeka yang mau mencari gara-gara dengannya. Ia menguasai silek tuo dan sitaralak, dua aliran silat yang sangat efisien. Tak banyak gerak, tetapi mematikan. Ia juga tak tertanding dalam kecepatan kobek (ikat), tangkok (tangkap), dan kunci (mengunci sendi dan engsel), yakni kemampuan dasar yang menjadi gelek atau gerakan refleks dalam silat. Bila ada yang bertanya bagaimana Inyiak Pakiah Babanso bisa bergerak secepat itu, orang lain akan segera bilang, ”Hanya Tuhan yang tahu”.
Tetapi, entah bagaimana kemudian, orang-orang mendengar Inyiak Pakiah Babanso menghilang dari dunia silat. Samar-samar orang kemudian tahu, ia kecewa pada Orde Baru yang menjelmakan silek jadi tarian. Bukan soal tariannya, tetapi kepada sesuatu yang sengaja dipertunjukkan. Jadi, bila sekarang Inyiak Pakiah Babanso kembali muncul dan mendirikan pesantren di kampung tua Pariangan, itu sangat masuk akal. Otonomi daerah yang mengembalikan pemerintahan—tak terkecuali pendidikan—ke lembaga-lembaga lokal, telah menjadikan pesantren sebagai pilihan.
Di situlah, di pesantren tradisional, surau dan sasaran (gelanggang) silek menjadi dua hal utama. Siang hari para murid belajar kitab-kitab kuning seperti Nahu, Syaraf, Tafsir, Bayan, Maani, dan lain-lain di surau, sementara pada malam harinya mereka belajar silek di sasaran. Di antara itu, mereka menjadi pakiah, minta sedekah ke kampung-kampung. Menjadi pakiah, atau mereka sebut mamakiah, adalah kurikulum mental mendidik para murid menjadi orang yang sabar, tabah, papa, tiada.
Entah pada hari ketujuh, atau hari kedelapan munculnya dua pengemis remaja di Pekan Sitalang, terjadi kegemparan. Orang-orang mendengar preman pekan tukang palak kembali berkelahi dengan para pengemis. Karena sering terjadi, peristiwa itu mestinya hanya merupakan peristiwa biasa. Ia menjelma jadi heboh dan menggemparkan karena yang kalah kali ini adalah para preman tukang palak! Dan, sebetulnya, perkelahian itu, bukan pula antara preman pekan tukang palak dan para pengemis. Melainkan hanya antara preman tukang palak dan dua pengemis remaja. Begitulah sebuah peristiwa, di tengah pasar yang gaduh dan dengan begitu banyak mulut, tak lagi sampai sebagaimana kejadian sebenarnya.
Dan, kejadian yang sebenarnya itu, sebenarnya pula, sangat sederhana. Seorang preman tukang palak, dengan lebih dulu menggertak, merogoh buntal si salah seorang pengemis remaja. Tetapi, begitu tangan si preman tukang palak itu masuk ke buntal, mulut si preman segera terpekik. Di dalam buntal itu, entah bagaimana caranya, tangan si preman tukang palak telah dikunci oleh tangan si pengemis remaja. Si preman tukang palak itu melolong-lolong, tubuhnya tertekuk-tekuk, sampai terbungkuk-bungkuk, memohon-mohon meminta ampun agar tangannya dilepaskan. Hanya begitu saja kejadiannya. Tak lebih. Tetapi, kata orang-orang:
”Dua pengemis itu mengobrak-abrik kelompok Si Patai.”
”Si Patai sampai menyembah-nyembah agar dibiarkan pergi.”
”Pengemis super sakti!”
”Dari manakah para pengemis itu datang?”
Padahal bukan ’para’, karena cuma dua orang. Dan dua orang remaja itu bukan pengemis, melainkan pakiah. Seperti Anda sudah tahu, tentu bukan tak ada orang yang tak kenal pakiah di Pekan Sitalang. Dan juga bukannya tak ada orang yang tak tahu bahwa pakiah itu datang dari Pariangan. Tetapi soalnya, orang-orang yang tak tahu jauh lebih banyak, dan mereka yang tak tahu ini lebih ingin, dan senang, mendapati kenyataan ada pengemis yang begitu sakti, dan mereka lalu dengan rela memberikan apa pun untuk para pengemis ini. Maka, kemudian, bila Anda jeli mengamati apa yang terjadi di Pekan Sitalang, pemandangan ini akan sangat mungkin Anda dapati:
Seorang pengemis datang entah dari mana, masuk ke toilet umum atau mengendap-endap menyelinap ke dalam belukar, sejenak kemudian kembali muncul dengan pakaian beda: bercelana dasar dengan baju koko, berpeci dengan buntalan dijinjing atau disampir di pundaknya….
***
Begitulah Nek Minah jadi sering duduk di jendela. Dari rumahnya, memandang ke mulut jalan besar yang langsung disambut oleh Pekan Sitalang, Nek Minah bisa melihat bagaimana pakiah-pakiah itu datang, kembali muncul dari masa lalu. Seperti dalam ingatannya, dan seperti yang sering ia katakan kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.
Nek Minah tersenyum. Senyum yang kian lebar, kian cerah saat melihat pakiah-pakiah itu semakin banyak. Sampai hari ini, tiga hari menjelang Lebaran, pakiah-pakiah itu bahkan tak lagi minta sedekah hanya di Pekan Sitalang, melainkan juga merambah ke rumah-rumah sekitar, dan satu-dua orang melangkah menuju rumah Nek Minah….

***

Payakumbuh, 13 Agustus 2011



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...