Cerpen Aba Mardjani
Munar sangat disegani karenanya. Karena pertama, dia tertua di dusun itu. Karena kedua, dia dianggap bijak bestari. Karena ketiga, dia berilmu lahir dan batin. Setelah itu, orang lain suka atau tidak, bininya empat dan akur satu sama lain. Tak ada laki-laki senekat Munar. Karenanya, begitu dia melangkah mantap menaiki podium, semua mulut hadirin terkatup rapat. Diam menunggu. Cuma gesekan dedaunan rumpun bambu yang terdengar karena embusan angin.
Sebelum membuka mulutnya, Munar menandai penghargaannya atas kehadiran warga dengan menyapukan pandangan kepada seluruh tamunya dengan senyumnya. Tak lupa anggukan-anggukan takzimnya.
Sesaat kemudian, setelah membuka acara dengan sejumlah kalimat dan bacaan-bacaan sebagaimana mestinya, Munar menyilakan Cisminah naik ke podium untuk mengurai persoalan hidup yang tengah dihadapinya—meskipun dia tahu Cis pasti kian tersiksa karenanya.
”Cis yang sangat memahami persoalan hidup yang tengah membelit hidup dan rumah tangganya,” Munar berucap seraya menancapkan pandang matanya kepada perempuan 40-an tahun yang duduk dengan kepala tertunduk. ”Ayo, Cis, silakan.” Munar melangkah mundur dari podium.
Para undangan menunggu. Seluruh pandang mata tertuju kepada Cisminah. Perempuan itu duduk sambil terus menggenggam tangan Cusd’amato. Para undangan menakar-nakar dan menduga-duga keberanian Cis untuk maju dan berdiri di podium, membuka katup mulutnya, menceritakan laku suaminya belakangan. Cis memandang Cus. Seperti meminta dukungan. Cus menunduk tanpa reaksi. Membiarkan waktu merambat dan rambut jojosnya digoyang embusan angin yang menelusup dari sela-sela rumpun bambu.
”Cis,” suara Munar memecah sepi, setengah berbisik.
Tanpa perlu diingatkan kedua kalinya, Cis mengangkat pantatnya. Para undangan berdebar menunggu sambil terus mengikuti langkah satu-dua Cis menuju podium.
Hening lagi. Cis berdiri bagai onggok kayu. Membiarkan kepalanya merunduk dan waktu terus mengalir.
”Cis,” Munar mengingatkan.
Cis bergeming. Dua tiga kali tetap begitu.
Munar membawa langkahnya mendekati Cis. Menyisi. Cis jadi tampak imut karena ujung rambut bagian atas kepalanya tak lebih tinggi dari punggung Munar. Dia mendehem, seolah membuang sumbat dalam lubang rongga kerongkongannya.
”Baiklah,” Munar memulai. ”Izinkan aku yang bicara, Cis.” Memutar leher ke Cis yang masih merunduk. Lalu, beralih menebar pandang kepada tamu-tamu yang masih duduk diam di hadapannya.
”Cas,” kata Munar menyebut nama Casmidi, ”Sikapnya aneh, benar-benar aneh, tidak kita bisa mengerti, semenjak seminggu yang lalu.” Berhenti sesaat oleh suara batuk tertahan salah satu undangan. Pada kepala orang-orang itu berseliweran sosok Cas. Tinggi sekitar 170 cm. Kepala agak lonjong. Bibir kebiruan. Mata cekung dengan alis hitam pekat. Dahinya lebar. Sebagian rambut memutih. Warna kulit putih pucat.
Munar kemudian mengurai keanehan-keanehan Cas seperti yang sebagian besar sebenarnya juga sudah diketahui warga.
”…dua minggu lalu Cas menguras tabungannya. Membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia anggap sangat membutuhkan bantuan dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan keluarganya untuk sekali makan…”
Diam sejenak. Berdehem satu kali. Lalu melanjutkan:
”…Cas sekarang selalu keluar dari rumahnya pada pagi hari. Menjelang siang dia pulang dan memberi uang atau apa pun yang didapatkannya untuk makan keluarganya siang itu. Untuk makan keluarganya di sore hari, Cas berangkat lagi dari rumahnya entah ke mana dan baru kembali menjelang sore untuk memberikan pendapatannya kepada keluarganya…”
Munar mengatur sengalnya.
”…seminggu lalu, Cas menjual barang-barang di rumahnya. Televisi, radio, sepeda… Cas melepas lima burung perkututnya, melepasnya begitu saja. Burung-burung klangenan itu beterbangan tak karuan. Ada yang kembali ditangkap tetangga. Cas diam saja. Membiarkan. Seperti tidak tahu…”
Munar kembali mengatur napas. Cis terduduk serupa patung. Cus di kursinya menatap ruang kosong. Tanpa reaksi.
”…Cas juga membagi-bagikan pakaian-pakaiannya dan pakaian-pakaian anak dan istrinya yang masih layak pakai. Menyisakan satu dua potong belaka. Isi rumahnya hampir melompong…”
Munar mendongak seperti memikirkan sesuatu. Lalu katanya lagi:
”…Cis kemarin mendatangi saya. Menangis terisak. Katanya Cas sudah menjual sepetak sawahnya. Uangnya tidak dibawa pulang. Diserahkan kepada amil masjid. Amal jariah katanya. Selain tanah dan rumah yang kini ditempati, Cas tak punya apa-apa lagi.”
”…itu mungkin baru sebagian yang kita sama-sama tahu. Kita belum tahu apa saja yang sudah dilakukan Cas, laku aneh yang tidak kita mengerti…”
Munar terdiam sesaat. Seperti menunggu reaksi 15-an orang yang duduk di hadapannya tanpa suara. Karena tidak ada yang berani membuka suara, Munar melanjutkan:
”…ada yang bertanya?” dia bertanya. ”Ada yang bertanya mengapa Cas melakukan hal itu? Tidak ada. Kalau begitu, baiklah saya jelaskan saja garis besarnya.”
”Bagi Cas,” Munar memulai lagi, ”Manusia bisa mati kapan saja. Bisa sekarang, satu menit kemudian, satu jam kemudian, satu hari kemudian, satu minggu, satu bulan, satu tahun… kapan saja. Karena itu, Cas merasa ndak perlu punya tabungan atau simpanan makanan atau uang bahkan untuk besok pagi, untuk sore hari, untuk besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Semua simpanan kita, uang, makanan, pakaian, kendaraan, rumah, tanah, tidak ada artinya bila kita tiba-tiba semaput dan mati. Semuanya akan kita tinggalkan. Yang kita bawa cuma raga kita dan amal kita…”
Mulai terdengar bisik-bisik. Seperti suara lalat. Munar membiarkan.
”Coba tenang,” Munar memulai lagi. ”Cis menangis kepada saya, meminta saya mencarikannya jalan keluar. Apa sebaiknya yang harus dia lakukan? Saya memberinya beberapa pilihan. Pertama ikut saja apa kata dan laku Cas yang penting setiap hari bisa makan, bisa pakai baju, tidak kelaparan, ndak kedinginan karena Cis mengaku masih cinta sama Cas. Yang kedua, ini bukan anjuran, ini cuma pilihan jalan keluar, yaitu bercerai saja dari Cas. Berpisah. Memilih jalan hidup masing-masing. Sudah tentu pilihan itu ditolak Cis karena Cis masih cintrong sama Cas. Cas, kata Cis, hebat di…” Munar menahan senyum.
Para undangan pun senyum-senyum sembari bersidakep. Malam terus merayap. Bulan mulai ngintip dari langit pucat. Gerimis menyisakan dingin.
”Sudara-sudara karenanya saya minta berkumpul di sini. Untuk membantu Cis mencari jalan keluar. Makin banyak kepala makin banyak ide. Juga pikiran. Siapa tahu di antara kita yang ternyata sangat pintar sehingga punyalah pilihan jalan keluar.”
Munar berhenti. Menunggu.
”Coba, siapa yang mungkin bisa membantu? Angkat tangan,” kata Munar karena tak ada yang berani angkat suara.
”Mungkin Tasmin,” Munar menatap Tasmin, ”Atau Amri, Nazar, Suyag, Tanta, Fudin, Haripur, Amsai, Zali, Bidin, Zubir, Akhyar, Dayus, Hayat, Anas…” Munar menyebut semua nama tamunya. Lalu tersenyum. ”Siapa saja boleh membantu. Membantu orang yang dalam kesulitan itu berpahala…”
Zubir mengangkat tangan. Wajah Munar sumringah. ”Nah, lihat, Zubir mengangkat tangannya. Mari kita dengar apa bentuk sarannya. Mudah-mudahan sesuatu yang cerdas. Silakan, Bir.”
Zubir berdiri. Tanpa memandang ke kiri dan kanan, dia memulai. ”Maaf, menurut saya, ternyata tidak ada gunanya kita berkumpul di sini. Apa yang dilakukan Cas itu benar. Benar sebenar-benarnya. Bahwa tidak ada gunanya kita memenuhi lemari dengan pakaian yang belum tentu kita pakai semuanya. Tidak ada gunanya kita menumpuk harta, uang, makanan, yang belum tentu bisa kita belanjakan, belum tentu kita makan. Jadi, Cas, sekali lagi, benar sebenar-benarnya…”
”Cukup, Bir,” Munar coba memotong.
Zubir menutup mulutnya. Duduk. Namun, sejurus kemudian, suasananya jadi riuh. Oleh bisik-bisik. Kian lama kian keras. Tak bisa dikendalikan.
”Diam! Diam!” Munar berteriak nyaring.
Namun, tak ada yang peduli. Satu per satu tamu-tamunya bangkit. Meninggalkan tempat itu.
”Hei! Tunggu! Tunggu! Pertemuan belum ditutup!” Munar terus berteriak. Lalu menyambar tangan Akhyar. ”Pada mau ke mana kalian?”
”Ke rumah Cas,” Akhyar menjawab. Mantap. ”Kami ingin seperti dia. Dia benar sebenar-benarnya.”
Bidin mendekati Munar. Mulutnya menempel ke kuping Munar. Lalu berbisik. ”Cas itu…wali.”
Cis menyorotkan tajam matanya kepada Munar. Juga Cus. Munar gelagapan.*
* Tn Kusir, Juni 2011
Rapat dibuka bakda Isya ketika gerimis tiris dan langit malam menghamparkan warna abu-abu pucat. Sekitar 15 kepala keluarga Cibaresah berkumpul di rumah Munar. Mereka mau memenuhi undangan lantaran pengundangnya sesepuh desa. Sebagian dengan perasaan terpaksa dan masygul. Sebagian lagi cari angin. Sebagian karena ingin ngerumpi. Cuma Casmidi yang tidak hadir. Karena dia tidak diundang. Karena dialah yang membuat sesepuh desa bernama Munar menggelar rapat pada hari itu. Tapi, istri dan anaknya ada di sana.Munar, sang sesepuh desa, berusia hampir 70-an. Meskipun kulit tubuhnya dipenuhi keriput sekujurnya, kegesitannya belum banyak tergerus. Meskipun juga tidak jelas apa mata pencahariannya, Munar mampu memberi makan empat istri dengan masing-masingnya memiliki tiga hingga lima anak. Cucunya belasan. Namun, ini memang bukan cerita tentang Munar yang—meskipun sepuh tapi—matanya masih selalu menyemburkan api bila melihat wanita muda dan cantik. Ini soal Casmidi semata. Laki-laki yang sudah memberi Cisminah seorang anak laki-laki yang diberinya nama Cusd’amato.
Munar sangat disegani karenanya. Karena pertama, dia tertua di dusun itu. Karena kedua, dia dianggap bijak bestari. Karena ketiga, dia berilmu lahir dan batin. Setelah itu, orang lain suka atau tidak, bininya empat dan akur satu sama lain. Tak ada laki-laki senekat Munar. Karenanya, begitu dia melangkah mantap menaiki podium, semua mulut hadirin terkatup rapat. Diam menunggu. Cuma gesekan dedaunan rumpun bambu yang terdengar karena embusan angin.
Sebelum membuka mulutnya, Munar menandai penghargaannya atas kehadiran warga dengan menyapukan pandangan kepada seluruh tamunya dengan senyumnya. Tak lupa anggukan-anggukan takzimnya.
Sesaat kemudian, setelah membuka acara dengan sejumlah kalimat dan bacaan-bacaan sebagaimana mestinya, Munar menyilakan Cisminah naik ke podium untuk mengurai persoalan hidup yang tengah dihadapinya—meskipun dia tahu Cis pasti kian tersiksa karenanya.
”Cis yang sangat memahami persoalan hidup yang tengah membelit hidup dan rumah tangganya,” Munar berucap seraya menancapkan pandang matanya kepada perempuan 40-an tahun yang duduk dengan kepala tertunduk. ”Ayo, Cis, silakan.” Munar melangkah mundur dari podium.
Para undangan menunggu. Seluruh pandang mata tertuju kepada Cisminah. Perempuan itu duduk sambil terus menggenggam tangan Cusd’amato. Para undangan menakar-nakar dan menduga-duga keberanian Cis untuk maju dan berdiri di podium, membuka katup mulutnya, menceritakan laku suaminya belakangan. Cis memandang Cus. Seperti meminta dukungan. Cus menunduk tanpa reaksi. Membiarkan waktu merambat dan rambut jojosnya digoyang embusan angin yang menelusup dari sela-sela rumpun bambu.
”Cis,” suara Munar memecah sepi, setengah berbisik.
Tanpa perlu diingatkan kedua kalinya, Cis mengangkat pantatnya. Para undangan berdebar menunggu sambil terus mengikuti langkah satu-dua Cis menuju podium.
Hening lagi. Cis berdiri bagai onggok kayu. Membiarkan kepalanya merunduk dan waktu terus mengalir.
”Cis,” Munar mengingatkan.
Cis bergeming. Dua tiga kali tetap begitu.
Munar membawa langkahnya mendekati Cis. Menyisi. Cis jadi tampak imut karena ujung rambut bagian atas kepalanya tak lebih tinggi dari punggung Munar. Dia mendehem, seolah membuang sumbat dalam lubang rongga kerongkongannya.
”Baiklah,” Munar memulai. ”Izinkan aku yang bicara, Cis.” Memutar leher ke Cis yang masih merunduk. Lalu, beralih menebar pandang kepada tamu-tamu yang masih duduk diam di hadapannya.
”Cas,” kata Munar menyebut nama Casmidi, ”Sikapnya aneh, benar-benar aneh, tidak kita bisa mengerti, semenjak seminggu yang lalu.” Berhenti sesaat oleh suara batuk tertahan salah satu undangan. Pada kepala orang-orang itu berseliweran sosok Cas. Tinggi sekitar 170 cm. Kepala agak lonjong. Bibir kebiruan. Mata cekung dengan alis hitam pekat. Dahinya lebar. Sebagian rambut memutih. Warna kulit putih pucat.
Munar kemudian mengurai keanehan-keanehan Cas seperti yang sebagian besar sebenarnya juga sudah diketahui warga.
”…dua minggu lalu Cas menguras tabungannya. Membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia anggap sangat membutuhkan bantuan dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan keluarganya untuk sekali makan…”
Diam sejenak. Berdehem satu kali. Lalu melanjutkan:
”…Cas sekarang selalu keluar dari rumahnya pada pagi hari. Menjelang siang dia pulang dan memberi uang atau apa pun yang didapatkannya untuk makan keluarganya siang itu. Untuk makan keluarganya di sore hari, Cas berangkat lagi dari rumahnya entah ke mana dan baru kembali menjelang sore untuk memberikan pendapatannya kepada keluarganya…”
Munar mengatur sengalnya.
”…seminggu lalu, Cas menjual barang-barang di rumahnya. Televisi, radio, sepeda… Cas melepas lima burung perkututnya, melepasnya begitu saja. Burung-burung klangenan itu beterbangan tak karuan. Ada yang kembali ditangkap tetangga. Cas diam saja. Membiarkan. Seperti tidak tahu…”
Munar kembali mengatur napas. Cis terduduk serupa patung. Cus di kursinya menatap ruang kosong. Tanpa reaksi.
”…Cas juga membagi-bagikan pakaian-pakaiannya dan pakaian-pakaian anak dan istrinya yang masih layak pakai. Menyisakan satu dua potong belaka. Isi rumahnya hampir melompong…”
Munar mendongak seperti memikirkan sesuatu. Lalu katanya lagi:
”…Cis kemarin mendatangi saya. Menangis terisak. Katanya Cas sudah menjual sepetak sawahnya. Uangnya tidak dibawa pulang. Diserahkan kepada amil masjid. Amal jariah katanya. Selain tanah dan rumah yang kini ditempati, Cas tak punya apa-apa lagi.”
”…itu mungkin baru sebagian yang kita sama-sama tahu. Kita belum tahu apa saja yang sudah dilakukan Cas, laku aneh yang tidak kita mengerti…”
Munar terdiam sesaat. Seperti menunggu reaksi 15-an orang yang duduk di hadapannya tanpa suara. Karena tidak ada yang berani membuka suara, Munar melanjutkan:
”…ada yang bertanya?” dia bertanya. ”Ada yang bertanya mengapa Cas melakukan hal itu? Tidak ada. Kalau begitu, baiklah saya jelaskan saja garis besarnya.”
”Bagi Cas,” Munar memulai lagi, ”Manusia bisa mati kapan saja. Bisa sekarang, satu menit kemudian, satu jam kemudian, satu hari kemudian, satu minggu, satu bulan, satu tahun… kapan saja. Karena itu, Cas merasa ndak perlu punya tabungan atau simpanan makanan atau uang bahkan untuk besok pagi, untuk sore hari, untuk besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Semua simpanan kita, uang, makanan, pakaian, kendaraan, rumah, tanah, tidak ada artinya bila kita tiba-tiba semaput dan mati. Semuanya akan kita tinggalkan. Yang kita bawa cuma raga kita dan amal kita…”
Mulai terdengar bisik-bisik. Seperti suara lalat. Munar membiarkan.
”Coba tenang,” Munar memulai lagi. ”Cis menangis kepada saya, meminta saya mencarikannya jalan keluar. Apa sebaiknya yang harus dia lakukan? Saya memberinya beberapa pilihan. Pertama ikut saja apa kata dan laku Cas yang penting setiap hari bisa makan, bisa pakai baju, tidak kelaparan, ndak kedinginan karena Cis mengaku masih cinta sama Cas. Yang kedua, ini bukan anjuran, ini cuma pilihan jalan keluar, yaitu bercerai saja dari Cas. Berpisah. Memilih jalan hidup masing-masing. Sudah tentu pilihan itu ditolak Cis karena Cis masih cintrong sama Cas. Cas, kata Cis, hebat di…” Munar menahan senyum.
Para undangan pun senyum-senyum sembari bersidakep. Malam terus merayap. Bulan mulai ngintip dari langit pucat. Gerimis menyisakan dingin.
”Sudara-sudara karenanya saya minta berkumpul di sini. Untuk membantu Cis mencari jalan keluar. Makin banyak kepala makin banyak ide. Juga pikiran. Siapa tahu di antara kita yang ternyata sangat pintar sehingga punyalah pilihan jalan keluar.”
Munar berhenti. Menunggu.
”Coba, siapa yang mungkin bisa membantu? Angkat tangan,” kata Munar karena tak ada yang berani angkat suara.
”Mungkin Tasmin,” Munar menatap Tasmin, ”Atau Amri, Nazar, Suyag, Tanta, Fudin, Haripur, Amsai, Zali, Bidin, Zubir, Akhyar, Dayus, Hayat, Anas…” Munar menyebut semua nama tamunya. Lalu tersenyum. ”Siapa saja boleh membantu. Membantu orang yang dalam kesulitan itu berpahala…”
Zubir mengangkat tangan. Wajah Munar sumringah. ”Nah, lihat, Zubir mengangkat tangannya. Mari kita dengar apa bentuk sarannya. Mudah-mudahan sesuatu yang cerdas. Silakan, Bir.”
Zubir berdiri. Tanpa memandang ke kiri dan kanan, dia memulai. ”Maaf, menurut saya, ternyata tidak ada gunanya kita berkumpul di sini. Apa yang dilakukan Cas itu benar. Benar sebenar-benarnya. Bahwa tidak ada gunanya kita memenuhi lemari dengan pakaian yang belum tentu kita pakai semuanya. Tidak ada gunanya kita menumpuk harta, uang, makanan, yang belum tentu bisa kita belanjakan, belum tentu kita makan. Jadi, Cas, sekali lagi, benar sebenar-benarnya…”
”Cukup, Bir,” Munar coba memotong.
Zubir menutup mulutnya. Duduk. Namun, sejurus kemudian, suasananya jadi riuh. Oleh bisik-bisik. Kian lama kian keras. Tak bisa dikendalikan.
”Diam! Diam!” Munar berteriak nyaring.
Namun, tak ada yang peduli. Satu per satu tamu-tamunya bangkit. Meninggalkan tempat itu.
”Hei! Tunggu! Tunggu! Pertemuan belum ditutup!” Munar terus berteriak. Lalu menyambar tangan Akhyar. ”Pada mau ke mana kalian?”
”Ke rumah Cas,” Akhyar menjawab. Mantap. ”Kami ingin seperti dia. Dia benar sebenar-benarnya.”
Bidin mendekati Munar. Mulutnya menempel ke kuping Munar. Lalu berbisik. ”Cas itu…wali.”
Cis menyorotkan tajam matanya kepada Munar. Juga Cus. Munar gelagapan.*
* Tn Kusir, Juni 2011
Komentar