Langsung ke konten utama

Gerilya Khusyuk Pengabdi Sastra

NB : ini ada rame-rame lagi di FB. pada mulanya adalah wawancara harian Sindo terhadap Ribut Wijoto, tapi tiba-tiba tag-tagan ini berubah jadi ajang mengadili dan menyerang seorang tokoh seni di Surabaya, Riadi Ngasiran. untuk lebih jelasnya, silahkan disimak!




Sejak tahun 2009 diskusi sastra di Galeri Surabaya Jalan Pemuda mulai menggeliat lagi. Setiap bulan sekali para sastrawan muda berkumpul dalam acara Halte Sastra.


Menggelar kegiatan rutin nirlaba semacam ini butuh kekhusyukan tak berujung. Ribut Wijoto, sebagai koordinator pelaksana Halte Sasta telah melakoninya. Baginya hal itu merupakan bentuk pengabdian dari seorang penyair yang gagal. Berikut wawancara Harian SINDO dengan Ribut Wijoto.

Sejak kapan kenal sastra?

Sejak tahun 1994, ketika terlibat di komunitas Gapus (Gardu Puisi).Kebetulan saya tahun itu diterima masuk di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unair.

Saat itu langsung tertarik atau hanya sekadar tahu?

Langsung tertarik dong. Saya kan kuliah di Sastra Indonesia. Jadi klop, bertemu dengan arek-arek yang gendeng sastra.Apalagi,saat itu,saya sangat kagum dengan gaya pembacaan puisi Panji K Hadi.Dan juga, terkesima dengan Sony Karsono yang bicara soal Sastra Perancis.Tapi asline,hanya terpesona thok,karena tetap tidak mengerti Sastra Perancis.

Lalu wujud dari ketertarikan tersebut apa?

Pertama tentu saja ingin seperti mereka (Panji dan Sony). Saat itu, saya sampai hafal beberapa puisi Panji. Soal Sony, akhirnya, saya menjadi gemar berburu buku-buku sastra.Dan karena Sony pula, saya akhirnya akrab dengan puisi-puisi Afrizal Malna, yang akhirnya saya pakai untuk bahan skripsi.

Berarti Anda jatuh cinta pada puisi? Lalu kapan mulai menulis puisi?
Mmhh...ya,saya falling in love.. Sejak tahun itu langsung menulis puisi. Soalnya saya ini terlibat dalam komunitas. Jadi begitu tertarik langsung praktik.

Judul puisi pertama Anda dapat inspirasi dari mana atau siapa?
Sudah lupa deh.Kalau dulu itu,menulis puisi sudah seperti industri. Bisa setiap hari berproduksi. Trus, kita seringkali tidak bersandar pada tema.Kita lebih banyak belajar tentang teknik. Misalkan baru saja baca puisi Subagio Sastrowardoyo, kita ingin tahu bagaimana strategi tekstualnya. Bagaimana dia membangun imajinasi. Membangun metafor. Kerap kali, tema berada di urutan belakang. Dalam satu tema, bisa ditulis beberapa puisi. Hanya saja,pembahasaannya yang berbeda- beda.

Apa yang Anda dapat dari menulis puisi tersebut? Kepuasan atau ada hal lain?

Saya merasa diri lebih bermakna, itu saja. Bagaimana saya dengan berpuisi,bisa memaparkan apa yang saya rasakan. Apa yang saya pikirkan. Lebih dari itu, saya bisa berbagi. Berkomunikasi dengan orang lain. Apalagi ketika puisi muncul di media. Itu sungguh luar biasa. Sampai kemudian,saya merasa bahwa anggapan saya tentang puisi adalah salah. Makanya, saya lebih memilih untuk berhenti menulis puisi.

Anggapan yang salah itu bagaimana?

Menulis puisi itu agung.Seorang penyair harus memberi kontribusi kepada dua wilayah. Berkontribusi ke masyarakat dan kepada dunia kepenyairan. Menulis puisi itu tidak bisa sekadar gagah-gagahan. Menulis puisi itu sulit. Kita harus benar-benar bertaruh dengan kondisi sosial atau budaya di masyarakat. Meresponnya. Sehingga, karya puisi kita tidak berada di atas angin.Puisi memiliki jejak.

Dia adalah respon penyair terhadap dunianya (realitas).Misalkan puisi HU Mardi Luhung.Itu merupakan respon Mardi terhadap realitas keseharian yang dia hadapi. Tentang Gresik. Tentang pesisiran dan ganasnya industri (Petro dan Semen Gresik). Yang kedua soal kontribusi di dunia kepenyairan, kita tidak menulis di awal tradisi. Penyair sekarang merupakan satu tahap dari tahapan-tahapan lain yang telah dirintis oleh penyair sebelumnya.

Sehingga tidak asal nulis.Ketika menulis, harus mempertimbangkan tradisi yang telah dibangun oleh Amir Hamzah, oleh Chairil Anwar, oleh Sutardji, oleh Gunawan Muhammad, oleh Sapardi Djoko Darmono, Afrizal Malna, dan lain-lainnya. Penyair adalah para pencipta tradisi. Bukan sekadar mengungkapkan perasaan dengan kalimat-kalimat yang indah. Nah, saya melihat, temanteman di Gapus memiliki kesadaran seperti itu.

Apakah itu karena Anda terlalu mencintai sastra?
Setelah itu tidak berkarya lagi? Saya mengagumi temanteman yang menulis karya sastra. Mereka adalah orang-orang yang memiliki perspektif tajam sekaligus rendah hati.

Karena kekaguman itu Anda lalu menjadi penulis artikel atau esai?

Iya. Selain mendapatkan honor,menulis esai itu bisa menularkan gagasan.Hehehehe…

Termasuk juga dengan membuat acara rutin Halte Sastra?
Benar.Menulis karya sastra, bagaimanapun buruknya, tetap penting untuk dihargai.Sebab, karya sastra merupakan ungkapan personal. Dengan karya sastra, orang memiliki pemikiran dan perspektif personal. Itu tentu penting di tengah gempuran opini dan gosip yang dibangun oleh media massa (televisi).Sehingga,acara sastra kudu disemarakkan agar orang-orang tetap menulis karya sastra.

Cerita awalnya bagaimana?

Waktu itu,Juni 2009.Pengurus Dewan Kesenian Surabaya (DKS) baru saja dilantik.Ketua Komite Sastranya Didik Wahyudi, kebetulan saya dekat dengan dia. Melalui serangkaian obrolan warung kopi,kami bersepakat bahwa Galeri Surabaya terlalu sering dipakai untuk pameran lukisan. Acara sastranya sangat jarang. Makanya, kami menggagas sebuah acara yang bisa digelar secara rutin sebulan sekali. Acara itu kita namai Halte Sastra. Nama itu berasal dari Didik. Saya kurang tahu apa maksudnya acara sastra kok dinamai halte. Saat itu, saya manut saja.Yang penting acara terealisasi.

Posisi Anda sendiri di Halte Sastra? Kok sampai-sampai acara tersebut identik dengan Anda?
Saya hanya koordinator pelaksana Halte Sastra.Dari awal Halte Sastra dilaksanakan (Juli 2009), Didik tidak pernah datang. Dia hanya memberi saransaran. Sampai kira-kira berjalan satu tahun, dalam menjalankan Halte Sastra,saya masih berkonsultasi dengan Didik. Termasuk menentukan para penyairnya. Justru dalam pelaksanaannya, saya secara teknis lapangan, dibantu oleh Hanif Nasrullah, Diana AV Sasa, dan Suyitno.

Adakah peristiwa yang berkesan?

Yang paling menyakitkan, ketika saya menjadwalkan Halte Sastra dengan format diskusi sastra kota.Pembicaranya Imam Muhtarom dan Riadi Ngasiran.Tiba-tiba Hanif Nashrullah protes.Dia tidak setuju Riadi mengisi acara.Dia minta dibatalkan. Jika saya tidak mau, dia akan keluar dari manajemen Halte Sastra. Karena saya terlanjur menawari Riadi dan dia sudah menyanggupi, acara tetap saya gelar.

Lantas?

Imbasnya,Hanif keluar dari Halte Sastra. Bahkan, dalam beberapa bulan saya tidak disapa. Untungnya,Hanif akhirnya mau kembali mendukung Halte Sastra.

Apakah Halte Sastra sudah sesuai harapan?
Belum.Masih banyak karya yang mentah.

Harapan untuk Halte Sastra ke depan?

Semoga menjadi lebih baik dan mampu melahirkan sastrawan- sastrawan muda yang bisa memberi warna bagi kesustraan Indonesia.

Sampai kapan Anda menangani Halte Sastra?

Entah. Saya sendiri tidak tahu. Bisa saja masih lama tapi bisa saja berhenti tiba-tiba. zaki zubaidi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...