Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dody Kristianto di Harian Seputar Indonesia edisi 29 Mei 2011

Kunang

sepelik babon para padri,
ia pasti kembali
meratapi lampu mati
sampai ia tikam
semua yang pergi
untuk jubah api
yang tak kunjung
ia dapati

2011

Makam

telentang tenang
setabah badan rembulan
tapi sekilap pedang
bosan menunggunya
tubuh terakhir
di persimpangan

2011

Mabuk

rumah mambang
di muka kami
sungguh tenang
teramat lengang
di tengah kolam
dalam badan kami

tapi benar
hanya bangau, sekawanan,
penghuni kitab kami
sedang terbang ke bulan

hingga
selindapan hujan
yang serumit
bimbang
dalam doa kami
tak jadi digemparkan
tak jadi digegarkan
di atas otak kami
yang menerus kejang

2011

Pening

Bintang-bintang tumbang di atas kepala
kota melangkah, pepohon menjulurkan lidah
ke dalam tanah

sepasang tatap terkelupas lepas
melebihi sekawanan telur kumbang
yang menetas sendiri di keheningan kolam

2011

Pusing

berapa panjang jarak menuju kata
berapa kata tertinggal di tengah kota
berapa kota telah karam pada tatap mata
tatap yang menyimpan segala jarak
ikan-ikan berloncatan kepada kata
kata meriang yang alpa pada rumah

2011

NB : pirsawan yang budiman, kali ini berjumpa lagi dengan saya, host kesayangan anda dalam tayangan blog yang sangat kelam ini. ini kali, saya pengen menayangkan puisi-puisi yang muat di Harian Sindo pada 29 Mei kemaren. dan jujur saja, saya ndak tahu kalok puisi itu tayang di Sindo sehingga pada hari-H pemuatan saya tidak membeli korannya. alhasil, saya baru beli itu koran baru saya beli hari Selasa, sesudah Lek Giryadi memberi tahu bahwa puisi saya tayang di Sindo. pemirsa yang budiman, silahkan menikmati

Komentar

Einid Shandy mengatakan…
Sya suka puisi yg judulny "pening".

Kta2nya mengalir dan cantik.
terima kasih sudah berkunjung dan mengapresiasi...
zam mengatakan…
keren, selalu menikmati puisi bang Dody. salam.
Trims Bang Zam sudah mengapresiasi laman ini...

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

Puisi-puisi Indra Tjahyadi

AFTERWORD pada akhirnya kau pun pergi entah ke benua mana entah ke laut mana entah ke dunia mana tapi masih saja aku setia kirimkan pesan pesan singkat buatmu meski di gerimis tak mesti hanya rasa sakit yang menghubungkanku denganmu dengan bayang-bayang darah yang menjelma huruf huruf sunyi bait-bait murung sajakku 2007. MAUT SENDIRI engkau terasa begitu jauh bahkan lebih jauh ketimbang bulan sungguh pernah kurajahkan kembang dan kupu-kupu di gelap dadamu tapi kecantikanmu adalah kepergian dikekalkan jarak terjauh siapa bertugur sendiri di bawah kabut mereguk derita yang tak juga surut bersama luka sunyi membakar buku-buku umur dan kerinduanku kiranya ingin aku mengaduh sekali lagi padamu ketika seekor burung malam terbang menembus mendung tapi hanya sosok langit yang remuk yang pernah terpekik dari suaraku tak ada doa tak ada airmata yang mengantarku sampai ke dasar lubuk kubur di kota tandus tak berlampu kututupkan pelupukku kukenang namamu darah hitam menetes dari sajakku butirannya...