Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Dadang Ari Murtono pada Jurnal Medan, 8 Mei 2011

sebelum tidur

tuhan,
besok bangunkan aku
sebagai seekor kutu.

bukan, bukan si penyelinap
yang pandai merambat
di rambut adik
yang diketus ibu dengan gemas sekaligus
ketus.

namun si gatal
yang berdiam di sela jemari kaki ibu,
satu-satunya yang sampai
ke surga yang terperai di sana.

si gatal yang membangunkan ibu
tengah malam,
lalu membuatnya tidak bisa tidur lagi,
membuatnya menunggu subuh
sambil berdoa,

berdoa untuk keselamatan kami,
anak-anak yang selalu saja lupa pulang,
lupa mencium tumitnya
namun tak pernah alpa mengalirkan airmatanya.

pohon mangga

adakah yang menghendaki pohon mangga itu
tumbuh seperti yang ia mau?
barangkali ada
namun bukan petani perawatnya itu, tentunya.
bukan pula hujan terlampau deras yang tak bosan menyiraminya,
bukan pula pupuk buatan yang ditabur-tabur di sekitaran akarnya.
sungguh, mereka telah bersepakat
menguatkannya, membuatnya tumbuh tambah tinggi,
tambah penuh daun dan buah wangi,
tumbuh serupa ayam potong
: gemuk namun lapuk.

dan mestinya bukan pula cuaca buruk,
maruk angin,
atau ulat yang berangan membangun
kepompong dalam dirinya.
sungguh, mereka telah bermufakat
membunuhnya, membusukkannya, menyurukkan dedaunnya.

adakah yang berharap ia menjadi dirinya sendiri?
sebatang yang tak terlampau tinggi
agar anak-anak pemikat gemek itu gampang
menggapai buahnya,
buah yang tidak terlalu lebat
namun sarat serat serta gizi.

sungguh, ia ingin menjadi sederhana.

duri

segala peluk dan cumbu kemarin, sayang,
telah menjadi masa lampau
dan hanya pada ingatan ia merasa
nyaman tinggal.
sedang esok, sayang
semata milik asa,
sesuatu yang tersusun dari begitu
banyak sia
namun anehnya, tak pernah
mampu kita tanggalkan.

dan hari ini,
sungguh seperti duri dalam diri,
duri dengan kedua ujung runcing
yang telah kita raut sendiri
: satu kita raut kemarin,
satu lagi kita raut esok,

duri yang membuat kita tak bisa bergerak
tanpa merasa sakit.

jalan bawang

perempuan yang bertahun-tahun merajang
bawang di dapurku,
yang matanya kerap sembab sebabnya,
pada suatu pagi memutuskan meninggalkan
talenannya dan menanggalkan daster pemberianku
sambil berkata,
“sungguh, bukan gas dari kupasan bawang
yang membuat mataku pedas.
bukan, bukan seperti yang berulang kubilang
padamu itu, tapi karena lelaki itu,
lelaki yang kerap menyelinap ke kamar
bila kau pergi.
dan bukan untuk menyedapkan makananmu
tiap hari aku merajang bawang banyak-banyak,
namun untuk menggosok bekas cupang lelaki
itu di leherku.”

hei, perempuan,
sumpah, kini aku telah menempuh jalan bawang,
kukupasi diriku sendiri
semata untuk mengantar sakit ke kerjap matamu
yang berair, ke kau yang kini merajang bawang
di dapur lelaki itu.
rasakan kau, sakitku itu, sakit dari matiku itu

NB : ini adalah puisi-puisi dadang Ari Murtono, penyair muda yang cukup kontroversial karena dicaci-maki sebagai seorang plagiator atas cerpenRashomon-nya Akutagawa. meski demikian, Dadang tetap produktif menulis walau ada blacklist dari sekian media cetak. salut

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari inf...