sebelum tidur
tuhan,
besok bangunkan aku
sebagai seekor kutu.
bukan, bukan si penyelinap
yang pandai merambat
di rambut adik
yang diketus ibu dengan gemas sekaligus
ketus.
namun si gatal
yang berdiam di sela jemari kaki ibu,
satu-satunya yang sampai
ke surga yang terperai di sana.
si gatal yang membangunkan ibu
tengah malam,
lalu membuatnya tidak bisa tidur lagi,
membuatnya menunggu subuh
sambil berdoa,
berdoa untuk keselamatan kami,
anak-anak yang selalu saja lupa pulang,
lupa mencium tumitnya
namun tak pernah alpa mengalirkan airmatanya.
pohon mangga
adakah yang menghendaki pohon mangga itu
tumbuh seperti yang ia mau?
barangkali ada
namun bukan petani perawatnya itu, tentunya.
bukan pula hujan terlampau deras yang tak bosan menyiraminya,
bukan pula pupuk buatan yang ditabur-tabur di sekitaran akarnya.
sungguh, mereka telah bersepakat
menguatkannya, membuatnya tumbuh tambah tinggi,
tambah penuh daun dan buah wangi,
tumbuh serupa ayam potong
: gemuk namun lapuk.
dan mestinya bukan pula cuaca buruk,
maruk angin,
atau ulat yang berangan membangun
kepompong dalam dirinya.
sungguh, mereka telah bermufakat
membunuhnya, membusukkannya, menyurukkan dedaunnya.
adakah yang berharap ia menjadi dirinya sendiri?
sebatang yang tak terlampau tinggi
agar anak-anak pemikat gemek itu gampang
menggapai buahnya,
buah yang tidak terlalu lebat
namun sarat serat serta gizi.
sungguh, ia ingin menjadi sederhana.
duri
segala peluk dan cumbu kemarin, sayang,
telah menjadi masa lampau
dan hanya pada ingatan ia merasa
nyaman tinggal.
sedang esok, sayang
semata milik asa,
sesuatu yang tersusun dari begitu
banyak sia
namun anehnya, tak pernah
mampu kita tanggalkan.
dan hari ini,
sungguh seperti duri dalam diri,
duri dengan kedua ujung runcing
yang telah kita raut sendiri
: satu kita raut kemarin,
satu lagi kita raut esok,
duri yang membuat kita tak bisa bergerak
tanpa merasa sakit.
jalan bawang
perempuan yang bertahun-tahun merajang
bawang di dapurku,
yang matanya kerap sembab sebabnya,
pada suatu pagi memutuskan meninggalkan
talenannya dan menanggalkan daster pemberianku
sambil berkata,
“sungguh, bukan gas dari kupasan bawang
yang membuat mataku pedas.
bukan, bukan seperti yang berulang kubilang
padamu itu, tapi karena lelaki itu,
lelaki yang kerap menyelinap ke kamar
bila kau pergi.
dan bukan untuk menyedapkan makananmu
tiap hari aku merajang bawang banyak-banyak,
namun untuk menggosok bekas cupang lelaki
itu di leherku.”
hei, perempuan,
sumpah, kini aku telah menempuh jalan bawang,
kukupasi diriku sendiri
semata untuk mengantar sakit ke kerjap matamu
yang berair, ke kau yang kini merajang bawang
di dapur lelaki itu.
rasakan kau, sakitku itu, sakit dari matiku itu
NB : ini adalah puisi-puisi dadang Ari Murtono, penyair muda yang cukup kontroversial karena dicaci-maki sebagai seorang plagiator atas cerpenRashomon-nya Akutagawa. meski demikian, Dadang tetap produktif menulis walau ada blacklist dari sekian media cetak. salut
tuhan,
besok bangunkan aku
sebagai seekor kutu.
bukan, bukan si penyelinap
yang pandai merambat
di rambut adik
yang diketus ibu dengan gemas sekaligus
ketus.
namun si gatal
yang berdiam di sela jemari kaki ibu,
satu-satunya yang sampai
ke surga yang terperai di sana.
si gatal yang membangunkan ibu
tengah malam,
lalu membuatnya tidak bisa tidur lagi,
membuatnya menunggu subuh
sambil berdoa,
berdoa untuk keselamatan kami,
anak-anak yang selalu saja lupa pulang,
lupa mencium tumitnya
namun tak pernah alpa mengalirkan airmatanya.
pohon mangga
adakah yang menghendaki pohon mangga itu
tumbuh seperti yang ia mau?
barangkali ada
namun bukan petani perawatnya itu, tentunya.
bukan pula hujan terlampau deras yang tak bosan menyiraminya,
bukan pula pupuk buatan yang ditabur-tabur di sekitaran akarnya.
sungguh, mereka telah bersepakat
menguatkannya, membuatnya tumbuh tambah tinggi,
tambah penuh daun dan buah wangi,
tumbuh serupa ayam potong
: gemuk namun lapuk.
dan mestinya bukan pula cuaca buruk,
maruk angin,
atau ulat yang berangan membangun
kepompong dalam dirinya.
sungguh, mereka telah bermufakat
membunuhnya, membusukkannya, menyurukkan dedaunnya.
adakah yang berharap ia menjadi dirinya sendiri?
sebatang yang tak terlampau tinggi
agar anak-anak pemikat gemek itu gampang
menggapai buahnya,
buah yang tidak terlalu lebat
namun sarat serat serta gizi.
sungguh, ia ingin menjadi sederhana.
duri
segala peluk dan cumbu kemarin, sayang,
telah menjadi masa lampau
dan hanya pada ingatan ia merasa
nyaman tinggal.
sedang esok, sayang
semata milik asa,
sesuatu yang tersusun dari begitu
banyak sia
namun anehnya, tak pernah
mampu kita tanggalkan.
dan hari ini,
sungguh seperti duri dalam diri,
duri dengan kedua ujung runcing
yang telah kita raut sendiri
: satu kita raut kemarin,
satu lagi kita raut esok,
duri yang membuat kita tak bisa bergerak
tanpa merasa sakit.
jalan bawang
perempuan yang bertahun-tahun merajang
bawang di dapurku,
yang matanya kerap sembab sebabnya,
pada suatu pagi memutuskan meninggalkan
talenannya dan menanggalkan daster pemberianku
sambil berkata,
“sungguh, bukan gas dari kupasan bawang
yang membuat mataku pedas.
bukan, bukan seperti yang berulang kubilang
padamu itu, tapi karena lelaki itu,
lelaki yang kerap menyelinap ke kamar
bila kau pergi.
dan bukan untuk menyedapkan makananmu
tiap hari aku merajang bawang banyak-banyak,
namun untuk menggosok bekas cupang lelaki
itu di leherku.”
hei, perempuan,
sumpah, kini aku telah menempuh jalan bawang,
kukupasi diriku sendiri
semata untuk mengantar sakit ke kerjap matamu
yang berair, ke kau yang kini merajang bawang
di dapur lelaki itu.
rasakan kau, sakitku itu, sakit dari matiku itu
NB : ini adalah puisi-puisi dadang Ari Murtono, penyair muda yang cukup kontroversial karena dicaci-maki sebagai seorang plagiator atas cerpenRashomon-nya Akutagawa. meski demikian, Dadang tetap produktif menulis walau ada blacklist dari sekian media cetak. salut
Komentar