Heru Susanto*
Teman, inilah sosok akademisi yang berambisi ingin menjadi kritikus sastra. Ini bukan suatu cemoohan seperti yang dilontarkan teman-teman di atas terhadap Eva Dwi Kurniawan. Saya mencoba mengkaji sosok Eva melalui tulisannya. Mengenai tidak adanya puisi atau minimal penggalan puisi karya Dody Kristianto dalam esainya "Tentang Sajak Dody Kristianto", itu hal lumrah bagi Eva. Kemungkinan besar, itulah salah satu inisiatifnya untuk mempertahankan apa yang disebut dengan "kirik sastra mini" seperti yang tertulis di blog tersebut. Kira-kira di sinilah teman-teman harus memperhatikannya. Eva tampaknya tidak mau ketinggalan dengan populernya prosa mini hingga dia harus memunculkan esai mininya. Semacam gejala ikut-ikutan dalam budaya masa kita serupa celana pendek mini yang populer dipakai perempuan akhir-akhir ini. Ya, kira-kira panjangnnya satu kilan menutupi pantatnya. Yang pada akhirnya, dia pun harus merelakan bukti konkret perihal puisi yang dikajinya hingga lebih membicarakan penyairnya walau yang diceritakannya pun banyak tidak akurat.
Di esai yang lain pun, "Tentang Jurnal Puisi Amper", Eva juga masih dalam pemikiran yang sama. Seperti biasa, dia selalu tergesa-gesa mengambil suatu sikap penilaian yang dijadikan substansi tulisan. Dalam esai itu, dia beranggapan bahwa Amper adalah perkawinan antara komunitas sastra SARBI dengan Kajian Rabo Sore (KRS). Nah, inilah sosok "kritikus" yang menilai tanpa mengetahui asal-asul berdirinya jurnal puisi (ahistoris). Mungkin Eva masih menganggap buta sejarah tidak masalah dalam menulis esai sastra lawong bukan tulisan sejarah. Jadi, daripada tidak menulis sama sekali lebih baik tetap menulis walau tidak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan seperti di kalimat "Kemungkinan besar, saya melihat, keberadaan jurnal itu adalah sebuah perkawainan antara teman-teman yang menamakan dirinya sebagai komunitas SARBI dengan teman-teman di komunitas Rabu Sore."
Ketidaktepatan dalam mengkomparasi juga menggelikan dalam tulisan Eva. Dia membandingkan keseriusan antara SARBI dengan KRS mengenai penerbitan karya. SARBI dianggap lebih serius dan profeional karena memiliki penerbitan jurnal berfisik kertas dan PDF yang dapat diunduh melalui internet. KRS seakan-akan kurang serius karena publikasi karya masih berupa kertas yang menurut Eva serupa brosur promosi produk. Teman-teman bisa sasksikan di penggalan paragraf ini.
"Yang saya tahu, secara aktif komunitas yang menerbitkan sebuah tulisan dengan agak serius adalah komunitas SARBI (Sastra Anlienansi Berbasis Independen). Mereka memformat media tulisnya, yang awalnya berupa lembaran kertas biasa, sebagaimana halnya brosur-brosur pada umunya, diusahakan pula diwujudka menjadi media digital. Berformat PDF dan dapat didownload secara gratis. Tampilannya sangat bagus selayak media seni prfesional yang menampilkan disain menarik. Menyegarkan mata. Bagi saya, itu sudah menjadi kemajuan yang baik. Semantara itu, komunitas Rabu Sore masih seperti biasa yang saya ketahui, masih mengunakan media berupa kertas serupa brosur promosi sebuah produk."
Mengenai KRS, Eva tampaknya lupa dengan antologi puisi yang pernah diterbitkan oleh KRS yang tidak serupa brosur seperti yang dikatakannya. Semoga saja dia juga pernah membaca dengan serius jurnal yang dikeluarkan KRS. Perbandingan yang dikatakannya bukan pada tataran substansi kualitas isi tapi pada entitas (wujud). Padahal esai tersebut diberi label resensi tapi tidak membahas isi sama sekali. Apa yang dinilai dalam esai mininya tidak menunjukkan penilaian yang komprehensif. Bahkan, esai yang saya sebutkan tadi dapat dikatakan "parsial yang dangkal" karena tidak menyebutkan data-data konkrit dan mendalam. Dalam bahasa gaul, "Sudah parsial, dangkal pula idih amit-amit deh!" Dalam bahasa Jawa yang kasar, "Anggerto Nggacor! Anggerto Njeplak! Ngawor tok, Jeh!". Kiranya, kenyataan inilah yang harus dibayar mahal oleh Eva dalam esai mininya.
Tampaknya, sikap Eva dapat terbaca melalui tulisannya. Ketergesa-gesaan dan ambisinya yang lalai historis dan lalai data menjadikan sketsa pribadinya (semoga ini tidak berlanjut lama). Bila Eva mengenang Dody dalam "Tentang Sajak Dody Kristianto", saya pun mengenang Eva dalam esai singkat ini. Waktu di seminar yang sekaligus memperingati 70 tahun Budi Darma dan muncul buku Bahasa, Sastra, dan Budi Darma, di Auditorium FBS, Unesa, Eva melontarkan pertanyaan pada narasumber, seperti Lan Fang, Mas Huri, dan Joscev Audivacx. Dia menyebut-nyebut "Dunia yang Dilipat" versi Yasraf Amir Piliang untuk mengomentari cerpen dengan asumsi cerpen menghadirkan realita yang luas yang dikemas dengan bahasa yang cukup singkat. Lalu dia pun tergesa-gesa menyerupakan kenyataan itu dengan gejala "Dunia yang Dilipat". Saat itu, saya yakin dan tersenyum bahwa Eva tidak membaca atau kalau toh membaca tidak serius atau memang sulit untuk memahami maksud buku itu atau dia sekadar membaca sekilas buku karya Yasraf Amir Piliang dengan tebal 572 halaman diterbitkan Jalasutra di toko buku lalu tidak membelinya lalu dia bercerita tentang isi buku itu? Terus lalu... Terus lalu... Ah, semoga saja tidak.
Peristiwa itu terjadi kira-kira sekitar tahun 2007. Saya berharap itu tidak terjadi saat ini ketika telah menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, harapan itu kandas ketika saya membaca dua esai mininya di www.literary-criticism.blo gspot.com, "Tentang Sajak Dody Kristianto" yang diposting pada Jumat, 10 Juni 2011 dengan label poem-critic dan "Tentang Jurnal Puisi Amper" yang diposting pada Sabtu, 11 Juni 2011 dengan label resensi. Bila merasa ditipu oleh judul esai itu, Anda harus bijaksana. Saya pun juga belajar bijaksana untuk menyikapi Eva.
Heru Susanto, guru Bahasa Indonesia, penulis, dan sekarang sibuk memfokuskan diri menyiapkan serta belajar joki motornya di ajang drag race kelas 200cc.
Teman, inilah sosok akademisi yang berambisi ingin menjadi kritikus sastra. Ini bukan suatu cemoohan seperti yang dilontarkan teman-teman di atas terhadap Eva Dwi Kurniawan. Saya mencoba mengkaji sosok Eva melalui tulisannya. Mengenai tidak adanya puisi atau minimal penggalan puisi karya Dody Kristianto dalam esainya "Tentang Sajak Dody Kristianto", itu hal lumrah bagi Eva. Kemungkinan besar, itulah salah satu inisiatifnya untuk mempertahankan apa yang disebut dengan "kirik sastra mini" seperti yang tertulis di blog tersebut. Kira-kira di sinilah teman-teman harus memperhatikannya. Eva tampaknya tidak mau ketinggalan dengan populernya prosa mini hingga dia harus memunculkan esai mininya. Semacam gejala ikut-ikutan dalam budaya masa kita serupa celana pendek mini yang populer dipakai perempuan akhir-akhir ini. Ya, kira-kira panjangnnya satu kilan menutupi pantatnya. Yang pada akhirnya, dia pun harus merelakan bukti konkret perihal puisi yang dikajinya hingga lebih membicarakan penyairnya walau yang diceritakannya pun banyak tidak akurat.
Di esai yang lain pun, "Tentang Jurnal Puisi Amper", Eva juga masih dalam pemikiran yang sama. Seperti biasa, dia selalu tergesa-gesa mengambil suatu sikap penilaian yang dijadikan substansi tulisan. Dalam esai itu, dia beranggapan bahwa Amper adalah perkawinan antara komunitas sastra SARBI dengan Kajian Rabo Sore (KRS). Nah, inilah sosok "kritikus" yang menilai tanpa mengetahui asal-asul berdirinya jurnal puisi (ahistoris). Mungkin Eva masih menganggap buta sejarah tidak masalah dalam menulis esai sastra lawong bukan tulisan sejarah. Jadi, daripada tidak menulis sama sekali lebih baik tetap menulis walau tidak ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan seperti di kalimat "Kemungkinan besar, saya melihat, keberadaan jurnal itu adalah sebuah perkawainan antara teman-teman yang menamakan dirinya sebagai komunitas SARBI dengan teman-teman di komunitas Rabu Sore."
Ketidaktepatan dalam mengkomparasi juga menggelikan dalam tulisan Eva. Dia membandingkan keseriusan antara SARBI dengan KRS mengenai penerbitan karya. SARBI dianggap lebih serius dan profeional karena memiliki penerbitan jurnal berfisik kertas dan PDF yang dapat diunduh melalui internet. KRS seakan-akan kurang serius karena publikasi karya masih berupa kertas yang menurut Eva serupa brosur promosi produk. Teman-teman bisa sasksikan di penggalan paragraf ini.
"Yang saya tahu, secara aktif komunitas yang menerbitkan sebuah tulisan dengan agak serius adalah komunitas SARBI (Sastra Anlienansi Berbasis Independen). Mereka memformat media tulisnya, yang awalnya berupa lembaran kertas biasa, sebagaimana halnya brosur-brosur pada umunya, diusahakan pula diwujudka menjadi media digital. Berformat PDF dan dapat didownload secara gratis. Tampilannya sangat bagus selayak media seni prfesional yang menampilkan disain menarik. Menyegarkan mata. Bagi saya, itu sudah menjadi kemajuan yang baik. Semantara itu, komunitas Rabu Sore masih seperti biasa yang saya ketahui, masih mengunakan media berupa kertas serupa brosur promosi sebuah produk."
Mengenai KRS, Eva tampaknya lupa dengan antologi puisi yang pernah diterbitkan oleh KRS yang tidak serupa brosur seperti yang dikatakannya. Semoga saja dia juga pernah membaca dengan serius jurnal yang dikeluarkan KRS. Perbandingan yang dikatakannya bukan pada tataran substansi kualitas isi tapi pada entitas (wujud). Padahal esai tersebut diberi label resensi tapi tidak membahas isi sama sekali. Apa yang dinilai dalam esai mininya tidak menunjukkan penilaian yang komprehensif. Bahkan, esai yang saya sebutkan tadi dapat dikatakan "parsial yang dangkal" karena tidak menyebutkan data-data konkrit dan mendalam. Dalam bahasa gaul, "Sudah parsial, dangkal pula idih amit-amit deh!" Dalam bahasa Jawa yang kasar, "Anggerto Nggacor! Anggerto Njeplak! Ngawor tok, Jeh!". Kiranya, kenyataan inilah yang harus dibayar mahal oleh Eva dalam esai mininya.
Tampaknya, sikap Eva dapat terbaca melalui tulisannya. Ketergesa-gesaan dan ambisinya yang lalai historis dan lalai data menjadikan sketsa pribadinya (semoga ini tidak berlanjut lama). Bila Eva mengenang Dody dalam "Tentang Sajak Dody Kristianto", saya pun mengenang Eva dalam esai singkat ini. Waktu di seminar yang sekaligus memperingati 70 tahun Budi Darma dan muncul buku Bahasa, Sastra, dan Budi Darma, di Auditorium FBS, Unesa, Eva melontarkan pertanyaan pada narasumber, seperti Lan Fang, Mas Huri, dan Joscev Audivacx. Dia menyebut-nyebut "Dunia yang Dilipat" versi Yasraf Amir Piliang untuk mengomentari cerpen dengan asumsi cerpen menghadirkan realita yang luas yang dikemas dengan bahasa yang cukup singkat. Lalu dia pun tergesa-gesa menyerupakan kenyataan itu dengan gejala "Dunia yang Dilipat". Saat itu, saya yakin dan tersenyum bahwa Eva tidak membaca atau kalau toh membaca tidak serius atau memang sulit untuk memahami maksud buku itu atau dia sekadar membaca sekilas buku karya Yasraf Amir Piliang dengan tebal 572 halaman diterbitkan Jalasutra di toko buku lalu tidak membelinya lalu dia bercerita tentang isi buku itu? Terus lalu... Terus lalu... Ah, semoga saja tidak.
Peristiwa itu terjadi kira-kira sekitar tahun 2007. Saya berharap itu tidak terjadi saat ini ketika telah menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, harapan itu kandas ketika saya membaca dua esai mininya di www.literary-criticism.blo
Heru Susanto, guru Bahasa Indonesia, penulis, dan sekarang sibuk memfokuskan diri menyiapkan serta belajar joki motornya di ajang drag race kelas 200cc.
Komentar