Langsung ke konten utama

Puisi Moh Ghufron Cholid

PENTAS SEJARAH
oleh Moh. Ghufron Cholid pada 04 Juni 2011 jam 5:08
Malam penuh anugerah
Berpasang mata, saksi sejarah

Angin semakin berkisah
Kita pengelana, tak kenal keluh kesah

Malam ini
Malam memikat hati

Bunga-bunga negeri
Berkumpul saling memberi arti

Kita semakin lupa
Pada peluh dan air mata, yang telah menjadi tanda

Lantaran bahagia
Telah menyapa pesona

Perlahan, ruh-ruh saling naik pentas
Lalu menjelma bebintang penuh bias

Kini, saksikanlah
Tak ada pengorbanan yang sia-sia

Allah selalu memberi surga
Pada tiap hamba yang teguh memegang yakinnya

Al-Amien Prenduan, 3 Juni 2011
NB : Puisi ini telah dibacakan didepan 1000 santri di Malam Pentas Seni dan Anugerah Bahasa MTs dan MA di MTs TMI Al-Amien Prenduan
biodata
Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 Putra KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), seorang Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Yayasan Al-Amien Prenduan. Antologi Puisi Mengasah Alief (2007), Antologi Puisi Yaasin (Balai Bahasa Jatim,2007 bersama penyair pesantren se Jawa Timur) Antologi Puisi Toples (2009) Antologi Puisi Akar Jejak (2010,bersama 50 Penyair Al-Amien), Antologi Puisi TigaBiruSegi (Hasfa Publishing,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu...

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI...

Puisi-puisi Indra Tjahyadi

AFTERWORD pada akhirnya kau pun pergi entah ke benua mana entah ke laut mana entah ke dunia mana tapi masih saja aku setia kirimkan pesan pesan singkat buatmu meski di gerimis tak mesti hanya rasa sakit yang menghubungkanku denganmu dengan bayang-bayang darah yang menjelma huruf huruf sunyi bait-bait murung sajakku 2007. MAUT SENDIRI engkau terasa begitu jauh bahkan lebih jauh ketimbang bulan sungguh pernah kurajahkan kembang dan kupu-kupu di gelap dadamu tapi kecantikanmu adalah kepergian dikekalkan jarak terjauh siapa bertugur sendiri di bawah kabut mereguk derita yang tak juga surut bersama luka sunyi membakar buku-buku umur dan kerinduanku kiranya ingin aku mengaduh sekali lagi padamu ketika seekor burung malam terbang menembus mendung tapi hanya sosok langit yang remuk yang pernah terpekik dari suaraku tak ada doa tak ada airmata yang mengantarku sampai ke dasar lubuk kubur di kota tandus tak berlampu kututupkan pelupukku kukenang namamu darah hitam menetes dari sajakku butirannya...