Oleh Arif Bagus Prasetyo
MITOS (Yunani: mutos, cerita) adalah narasi rekaan manusia yang banyak mengungkapkan hal-hal yang ajaib, gaib, dan lazimnya ditokohi dewa-dewi atau para pahlawan setengah-dewa. Entah digubah berdasarkan fakta atau tidak, mitos umumnya dianggap sebagai bukan sekadar kisah. Dalam berbagai kebudayaan, mitos memiliki makna terselubung yang mendalam, mengandung tafsir tentang asal-usul semesta dan manusia, bahkan sering dipandang suci.
Manusia menciptakan mitos supaya dapat memahami dirinya: bagaimana ia terhubung dengan dunia di sekelilingnya, dan menjadi eksis di sana. Realitas telanjang hanyalah sekumpulan data acak yang ditangkap secara spontan oleh indera dan intuisi manusia. Dunia sebagaimana apa adanya adalah sebuah khaos: tak lebih daripada sehimpun fakta yang amat kompleks dan kacau-balau, penuh ihwal yang tak dikenal, yang mengancam dan mencekam manusia. Berbagai benda dan peristiwa silih-berganti mengisi ruang pengalaman manusia, seolah tanpa ada kaitan antara satu sama lain.
Agar manusia bisa bertahan hidup, maka dunia yang asing itu harus dijinakkan, dikendalikan, ditaklukkan – mula-mula lewat praktik pengenalan. Kompleksitas dan kekacauan data inderawi yang diterima manusia dari kontaknya dengan dunia membangkitkan rasa penasaran dan kerinduan akan suatu penjelasan, betapa pun sederhananya penjelasan itu. Maka mulailah manusia menamai benda-benda dan mencandra kaitan antar-peristiwa. Nalar manusia jadi sibuk merangkai pola dari berbagai macam ihwal dan gejala yang dialaminya. Pada tiap benda dan peristiwa, manusia menyematkan nama dan cerita. Mitos pun tercipta, dan bersamanya dunia dirumuskan-kembali sebagai kehadiran yang akrab dan selaras dengan tata pemahaman manusia. Khaos berubah menjadi kosmos.
Melalui mitos, manusia mengorganisasi pengalamannya dan menstruktur dunia. Mitos ibarat pelita yang menerangi kepala manusia dalam kegelapan semesta yang penuh misteri.
Kreasi seni rupa Aripin Petruk dapat dipandang sebagai sebentuk serial “mitos pribadi”. Lewat karya-karya tiga dimensional, Aripin menggubah narasi personal untuk menata carut-marut pengalaman pribadinya, baik pengalaman lahir maupun batin, dalam upaya memahami eksistensi kehidupannya di dunia. Mitos-mitos pribadi Aripin diciptakan sebagai ikhtiar untuk mencari dan memaknai hakikat perjalanan hidupnya. Dengan sadar, Aripin melakukan “pembocoran otobiografi” demi menjawab pertanyaan gawat tentang apa artinya “menjadi manusia” yang eksis di dunia ini, dengan segenap kekuatan dan kelemahannya, keagungan dan kehinaannya.
Penciptaan mitos-mitos pribadi Aripin bersumber dari suatu interogasi intensif terhadap gugusan fakta historis-psikologis yang mengisi sejumlah babak kehidupannya, yang telah membentuk realitas dirinya sampai sekarang. Khazanah karyanya merupakan mozaik keping-keping sejarah personal yang dilakoni sang seniman. Itulah sejarah yang bergelimang pemberontakan, keliaran bahkan kegilaan di masa silam; berlumur lara dan penyesalan di masa kini. Karya Aripin mengungkapkan renungan tentang fragmen-fragmen pengalaman dari sesosok manusia yang dulu pernah nekat “bereksperimen” dengan hidupnya sendiri, dan sekarang harus menanggung segala akibat dan risikonya.
Dari karya ke karya, dari mitos ke mitos, Aripin seolah melakukan semacam upacara penebusan terhadap sejarah personalnya yang khaotik, agar dapat mengubahnya jadi kosmos yang bermakna. Di sana tersirat konfrontasi perih antara tuntutan akan rasionalitas kehidupan di satu sisi, dan realitas dunia yang irasional di sisi lain: suatu hasrat untuk meraih makna di sebuah dunia yang berputar tanpa makna, bagaikan siklus komedi-putar di pasar malam.
Dalam mitos-mitos pribadi yang dituturkan Aripin lewat karyanya, manusia selalu hadir sebagai sosok sentral yang naif dan heroik, sekaligus tragis dan ironis. Mereka seolah dilemparkan begitu saja ke panggung sirkus kehidupan yang absurd dan irasional. Manusia seolah tak punya pilihan lain kecuali hanyut dalam arus kehidupan yang tak masuk-akal, hampa dan sia-sia.
Mitos-mitos pribadi Aripin menyingkapkan sepenggal riwayat kelam manusia sebagai warga dunia absurd. Manusia bagaikan Sisyphus yang dikutuk untuk menanggung beratnya batu absurditas hidup sepanjang hayatnya (lihat karya “Semangat”, “Mangan Dewe-Dewe”, “Titik Point”). Mereka bersusah-payah memanjat menara miring yang tak menghadiahkan apapun di puncaknya (lihat karya “Kebebasan”), jatuh-bangun mendaki tangga yang hanya menyodorkan jurang terjal di ujungnya (lihat karya “Keinginan”), terus-menerus dihadang tembok fatamorgana yang memperdaya (lihat karya “Dua Kepala Batu”, “Menengok Masa Lalu”, “Perempuan I”, “Tanpa Lampu Merah”), pontang-panting dipermainkan pelbagai kekuatan irasional yang seganas binatang buas (lihat karya “Obsesi”, “Antara Bapak, Mainan dan Dirinya”, “Pulang Ngaji”, “Liar”, “Pagi di Bali”). Dan akhirnya terkapar tumbang sebagai korban sia-sia (lihat karya “Perempuan II”).
Ketegangan gestur figur manusia dalam karya-karya Aripin menyarankan bahwa manusia-manusia itu coba berontak dari nasib buruk yang mencengkeram kehidupan mereka. Tapi pemberontakan mereka percuma saja. Mereka telanjur dikutuk untuk menempuh ketidakmenentuan hidup, jungkir-balik menjalani peran mengenaskan sebagai pemain akrobat kehidupan. Manusia yang dikisahkan dalam mitos-mitos pribadi Aripin adalah tokoh-tokoh dalam drama kehidupan yang nonsens dan konyol.
Penampilan visual karya seni rupa Aripin memang pekat diresapi gagasan teater. Masing-masing karya terlihat seperti diorama yang menampilkan suatu adegan dari lakon tertentu. Efek dramatis peristiwa teatrikal terpancar dari elemen-elemen tiga dimensional yang diaransemen menyerupai sebuah pentas sandiwara. Pada setiap karya selalu terkesan adanya aktor yang tengah berakting, lengkap dengan tata panggung, bahkan tata pencahayaan. Hal ini kiranya tidak mengherankan, karena di sepanjang kariernya sebagai seniman, Aripin banyak berkiprah di dunia teater.
Mengaburkan batas antara akal dan naluri, antara yang beradab dan biadab, mitos-mitos pribadi Aripin bagaikan rekaman percakapan intim antara bagian-bagian yang waras/sadar dan gila/tak sadar dalam jiwa manusia. Inilah pula indikasi dari datangnya fase kematangan kepribadian, ketika kedewasaan berarti mampu bersikap ironis terhadap diri sendiri, berani meledek sisi gelap diri sendiri. Dengan menciptakan mitos, Aripin justru melancarkan semacam demitologisasi: bahwa manusia pada dasarnya selalu condong kepada ketakstabilan, dan sama sekali bukan dewa.
Menghadirkan dunia absurd yang mengambang di antara mimpi dan realitas, seni rupa Aripin menawarkan pelbagai kosakata alternatif dari pengalaman di masa silam sebagai instrumen bagi terjadinya perubahan di masa depan. Seperti halnya pada teater absurd Beckett atau Ionesco, absurditas panggung kehidupan yang ditampilkan oleh seni rupa Aripin merupakan semacam himbauan untuk mencari kehidupan yang lebih sejati dan esensial.
______________________________
ARIF BAGUS PRASETYO adalah kurator, kritikus seni rupa dan sastra, penyair; alumni International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Tinggal di Denpasar, Bali. Bukunya antara lain Mahasukka, Mangu Putra: Nature, Culture, Tension, Melampaui Rupa, Octavio Paz: Puisi dan Esai Terpilih, Stephan Spicher: Eternal Line on Paper, Epifenomenon.
Alamat : Pondok Purnawira.
Jl : Purnawira VIII / 5 Padangsambian Klod
Denpasar – Bali ( 80117 )
*untuk katalog pameran tunggal aripin petruk "personal myths" di sika gallery,ubud,bali,10-17 februari 2007.
Komentar