Langsung ke konten utama

Sebuah Cerita : Flashback


Bila dalam proses kreatifnya Afrizal Malna menyatakan bila ia seorang yang negatif, maka saya akan mencoba untuk positif. Tentu saya berpositif terhadap tulisan yang saat ini sedang berada di hadapan para pembaca sekalian. Positif dalam arti saya tak ingin berumit-rumit dan beraneh-aneh dalam tulisan ini. Artinya saya mencoba untuk berbincang gamblang dan membuka perihal mengenai proses yang saya alami. Meski saya tahu, jika gamblang dalam kacamata saya belum tentu bagi para pembaca.

Sesungguhnya tulisan ini harus dinamai sebagai sebuah tulisan proses kreatif (sesuai tuntutan panitia). Tapi tidak. Saya tidak bernyali untuk memproklamirkan tulisan ini sebagai sebuah proses kreatif. Bisa jadi ia malah melantur ke sana ke mari, mengigau mirip orang mabuk, berteriak di segala tempat. Ujung-ujungnya pembaca akan tersesat dari jalan lurus menuju lorong pengap berliku.

Tapi tak apalah…. Anggap saja saya sedang mendongeng, bercerita mengenai sedikit dari masa lalu saya.

Maka membincang mengenai proses kreatif adalah hal yang bersifat personal. Setiap orang memiliki dunia, latar belakang dan ”kecelakaan” masing-masing. Bahkan secara ekstrim Sutardji Calzoum Bachri hanya membubuhkan titik-titik pada proses kreatifnya. Bisa jadi proses kreatif adalah sebuah hal yang tak terkatakan. Lalu bagaimana dengan beberapa tulisan pada buku antologi tunggal beberapa penyair yang pernah saya baca? Bisa jadi beberapa penyair sedang mengurai alur mundur proses kepenyairannya.

Sebutlah beberapa nama yang pernah saya nikmati perihal “proses kreatif”nya : Afrizal yang tergerak untuk membahasakan energi benda-benda yang bersliweran di sekitarnya, Mardiluhung yang menemu titik temu antara eksotisme masa kanak-kanak dalam komik dengan puisi-puisi Tardji serta kehidupan khas pesisir, atau mungkin Warih Wisatsana yang digoda oleh perasaan tersisih karena tak memunyai lingkungan dominasi yang jelas. Juga beberapa penyair semacam Faisal Kamandobat, Pranita Dewi, Mochtar Pabotingi maupun Indra Tjahyadi.

Yang jelas, ada satu motif yang mengikat mereka dalam mendedahkan proses kreatifnya : obsesi pada masa lalu. Seperti seorang kawan yang saat ini “menjabat” sebagai paus sastra facebook, Heru Susanto yang menulis puisi sebagai upaya untuk menebus kesalahan di masa lalu, yakni alpa menulis perihal kehidupannya pada buku harian.

Mau tidak mau saya harus memutar ingatan saya kembali. Apakah dalam petualangan kembali ke masa lalu, saya menemu titik temu atau tidak dengan proses yang saya jalani sekarang.

Saya tidak lahir pada keluarga yang memiliki darah seni. Mungkin keluarga saya hanya keluarga biasa yang suka mendengar lagu-lagu langgam jawa maupun keroncong. Tapi ada yang saya ingat ; mereka senantiasa membacakan dongeng pada saya sebelum tidur. Dan mereka membaca dongeng itu tanpa membaca buku teks sama sekali. Jadi, dongeng yang mereka bacakan murni karena hasil ingatan turun temurun (saya baru menyadari saat ini jika mereka mungkin adalah pelaku sastra lisan). Dan, saya rajin menghayalkan apa yang mereka dongengkan. Jadilah dody kecil sebagai anak yang memunyai daya khayal cukup gila.

Saya menyenangi diri saya di masa kecil. Sebab saya akhirnya terbiasa menjadi anak yang suka membaca. Catatlah majalah-majalah anak-anak semacam Bobo, Mentari, Ananda, Hoopla (almarhum) pernah saya baca. Cerita-cerita dalam majalah itu turut merangsang daya imajinasi saya.

Lalu dengan puisi? Ini yang saya herankan. Sebenarnya saya (mungkin) kurang tertarik dengan puisi. Karena ketika ada PR membuat puisi, saya tak pernah bisa mengerjakan tugas ini.

Kalau perkenalan dengan puisi? Bisalah puisi Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul ' Pahlawan Tak Dikenal' menjadi gerbang. Mengapa? Karena ada kata 'sayang' dalam puisi itu (sepuluh tahun yang lalu ia terbaring/ tetapi bukan tidur sayang/ sebuah lubang peluru bundar di dadanya/ senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang). Bagi saya yang (kalau tidak salah) masih kelas empat SD, kata 'sayang' adalah kata yang amat genit. Dan saya merasa aneh dengan teks semacam ini.

Lalu kebiasaan beriseng-iseng ria dengan puisi ini berlanjut ketika SMP. Saya saat itu rajin untuk menyalin puisi-puisi dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia ke dalam buku harian saya. Hal itu saya lakukan semata-mata karena saya tidak ingin kehilangan puisi-puisi tersebut. Tentunya patut dicatat bila dalam buku-buku pelajaran itu ada juga gambar yang menyertai setiap teks puisi. Setelah saya melihat gambar yang menarik, saya juga tertarik dengan puisi di dalamnya.

Hasilnya lumayan. Dari buku harian butut itu saya mengenal Rendra, Sapardi Djoko Damono, Ramadhan KH, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan beberapa penyair yang lain. Saya mulai jatuh cinta. Terutama pada “gambar ilustrasi” dalam puisi'Tanah Kelahiran' Ramadhan KH. Saya juga menghubungkan gambar tersebut dengan lirik puisinya : Seruling di ipis, merdu/ antara gundukan pohon pina/ tembang menggema di dua kaki/ Barangrang-Tangkubanprahu// Jamrut di pucuk-pucuk/ Jamrut di air tipis menurun… terus terang saya jadi membayangkan keelokan alam yang ditulis oleh Ramadhan KH. Saya jadi tertarik oleh pesona tanah Pasundan, meski melalui puisi.

“Kecelakaan” dating kala saya menginjak kelas dua SMA. Saat itu saya membaca puisi (yang oleh Binhad Nurohmat) sebagai puisi Mazhab Gapus. Tepatnya saya membaca puisi Mashuri yang berjudul 'Seperti Khidir' : di atas rumpun bambu/ duri-duri memberi mimpi/ tentang rasa sakit,/ berdarah dan ketakutan untuk melangkah. Atau juga puisi Dheny Jatmiko 'Hujan III' : bapak,/ malaikat-malaikat/ merangkum darah/ darah kemungilanku/ dengan tusukan/ dan kutukku/ melebihi dendam ikan/ di antara hujan. Puisi-puisi itu saya baca secara kebetulan di salah satu media di Surabaya. Dan tak hanya puisi dua orang itu, saya juga membaca puisi F Aziz Manna dan Deny Tri Aryanti juga di media yang sama. Di kemudian hari, saya mengetahui bila mereka tergabung dalam satu komunitas.

Apa yang saya baca pada puisi-puisi penulis puisi tersebut benar-benar berbeda dengan yang saya dapat di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Membaca puisi para penulis puisi tersebut, imajinasi saya yang liar seolah mendapat tempat. Dan saya mulai gemar menulis puisi (atau tepatnya sesuatu yang saya klaim sebagai puisi). Meski puisi yang saya tulis ketika SMA lebih didasarkan pada perasaan saya. Pada hal-hal yang saya alami dan amati. Dan tentu masih sangat mentah dan masturbatif.

Lalu ketika SMA pula saya berpikir untuk melanjutkan pendidikan saya ke Sastra Indonesia. Barangkali di jurusan itu saya dapat lebih sering menulis puisi dan mengetahui cara menulis puisi yang baik dan benar.

Alangkah kecewanya saya (hal ini mungkin juga dialami oleh kawan-kawan saya semacam Fauzi atau pun Bang Taqin). Bahwa di ruang perkuliahan, saya tidak mendapatkan perkuliahan mengenai cara menulis puisi. Jadinya saya mulai berhenti untuk menulis puisi dan lebih suka berkutat dengan materi-materi linguistik.

Satu ketika, waktu BEM JBSI Unesa mengadakan pameran puisi, secara tidak sengaja saya membaca puisi kawan Angga Priandi :

AKU TERPAKSA MENUNDA KEMATIAN

Hanya begitu. Dan entah mengapa saya begitu tertarik oleh sajak Angga tersebut. Maka saya mulai menulis puisi kembali. Dan imajinasi untuk menulis liar juga sekonyong-konyong bergolak. Saya akhirnya larut untuk menulis puisi yang gelap (atau tepatnya saya gelap-gelapkan). Hal ini berlangsung selama setahun sampai akhirnya saya berkenalan dengan Bang Alek Subairi maupun Cak Muttaqin di Komunitas Rabo Sore (KRS).

Di komunitas itulah saya mulai belajar untuk membenturkan puisi-puisi saya dengan pendapat kawan-kawan yang sebelumnya memiliki jam terbang tinggi di ranah dunia penulisan. Saya mendapat pelajaran bila puisi yang saya tulis saat itu terlalu membabi buta dan tidak terkendali.

Saya kemudian menyadari bila perlu untuk mengontrol imaji. Sebab puisi-puisi saya hanya berupa karnaval imaji yang bertabrakan tidak terkontrol. Hal inilah yang kemudian membuat saya menulis cerpen. Mengapa? Karena dari cerpen saya bisa mengontrol imaji dan membuat suatu alur jelas terhadap imaji saya. Jadi saya menulis cerpen untuk menyeimbangkan diri.

Beberapa kawan (saat itu) ada yang mengaitkan puisi-puisi saya dengan Indra Tjahyadi, W Haryanto, maupun Kriapur. Saya berpikir hal tersebut cukup wajar. Karena seorang penyair pasti diciptakan oleh penyair pendahulunya. Hal ini seperti yang pernah saya pikirkan bila tidak ada orisinalitas. Orisinalitas pertama mungkin kitab suci yang diciptakan oleh Tuhan dan diwahyukan pada nabi-nabi.

Bila ditelisik, saya menemu jejak Kriapur pada puisi-puisi Indra Tjahyadi maupun W Haryanto. Begitu juga pengaruh Goenawan Mohamad yang saya rasakan pada puisi-puisi Kriapur. Dan bila ditelusuri saling memengaruhi ini adalah sesuatu yang wajar adanya dan lumrah. Bahkan “saking” lumrahnya, saling pengaruh ini bisa mewujud menjadi plagiator, epigon, pengikut dan hal-hal sebangsanya. Sebab, penyair memang menjadi penyair karena membaca penyair lain atau penyair terdahulu.

Sebagai rekan satu komunitas, jujur saya juga kagum dan sedikit banyak terpengaruh oleh puisi-puisi Muttaqin. Tapi di sisi lain, saya tentu tak bisa membiarkan keliaran yang ada pada diri saya meluap. Sebab keliaran itu saya yakini sebagai potensi yang telah saya miliki sebelumnya.

Sebagai jalan tengah, saya mencoba bagaimana sesuatu yang liris melantur semacam puisi-puisi Muttaqin saya pertemukan dengan keliaran yang mengendap pada diri saya. Hal ini saya rasakan sebagai hal yang positif dan negative. Di satu sisi, saya bisa terus berkembang tanpa harus terkungkung oleh satu estetika tertentu. Dengan demikian, saya bisa terus mengeksplorasi bentuk. Akan tetapi di sisi lain, saya turut dituding tidak memiliki konsistensi. Puisi-puisi saya terkadang tampil manis. Tapi kadang pula sangat liar dan gelap. Apa boleh buat. Tapi saya memakluminya karena saya masih merasa awam dalam tulis menulis puisi. Tentu pengaruh-pengaruh dari luar yang cukup menggoda saya akan terus saya dalami. Sebab saya tidak ingin berhenti pada satu titik saja. Dan jalan ke depan (bisa jadi) masih sangat panjang.

Dody Kristianto, anggota Komunitas Rabo Sore (KRS) dan Group Wisata Kuliner Warung Door To Door!


NB : tulisan ini saya buat sebagai proses kreatif saya. tulisan ini juga termuat pada kumpulan puisi Rumah Kabut yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Surabaya tahun 2009. Antologi Rumah Kabut juga merupakan salah satu rangkaian antologi acara Halte Sastra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perihal Membaca Puisi

beberapa waktu lalu saya, entah beruntung atau untung, menjadi juri lomba baca puisi di beberapa tempat. yakni di kampus dan di departemen agama Sidoarjo. untungnya dari Depag saya mendapat honor juri (hehehe...) namun sangat disayangkan di kampus nihil. maksud saya nihil honor. apa boleh buat, saya harus menempatkannya sebagai nasionalisme. ternyata ada beberapa pokok yang harus saya garis bawahi. lomba baca puisi atawa deklamasi ternyata masih tetap diartikan sebagai parade teriak-teriak. mengapa? sungguh sebagian besar peserta edan dengan cara berteriak. ya mungkin mitos bahwa baca puisi harus diselingi dengan teriak itulah yang masih tertanam di sebagian pikiran peserta. lantas, bagaimana dengan peserta yang tidak bengok-bengok? bagus. katakanlah ada suatu penempatan situasi. kapan puisi harus dibaca keras dan pelan. sebagian peserta baca puisi abai dengan hal ini. selanjutnya ada pola yang sama yang saya perhatikan. bagaimana sebagian peserta selalu mengucapkan kata...puisi X...bu

DODOLIT DODOLTOLSTOY: Catatan Singkat Atas Cerpen Terbaik Kompas 2010

Oleh Akmal Nasery Basral* I/              SEPASANG pembawa acara pada  Malam Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2011  yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta semalam (Senin, 27 Juni) membacakan profil para cerpenis yang karyanya terpilih masuk ke dalam antologi  Cerpen Pilihan Kompas 2010 . Sebuah layar besar memampangkan foto mereka dengan sinopsis cerpen masing-masing.             Saat  Dodolit Dodolit Dodolibret  (selanjutnya ditulis  Dodolit ) karya Dr. Seno Gumira Ajidarma ditampilkan, yang terbaca oleh saya ’kisah Guru Kiplik yang mengajari penduduk sebuah pulau terpencil cara berdoa yang benar. Usai mengajar guru itu pergi dari pulau. Penduduk yang merasa belum bisa memahami cara berdoa yang benar, mengejar perahu sang guru dengan cara berlari di atas air.’ Kira-kira seperti itulah sinopsis yang tersaji di layar. Dari informasi sesingkat itu -- selain saya juga belum membaca versi lengkap  Dodolit  – pikiran saya secara spontan teringat nama seorang penulis Rusi

Puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany (puisi lama)

MISA SEPANJANG HARI setelah letih merentang perjalanan, kita sampai di perempatan sejarah. menghitung masasilam dan merekareka masadatang. segala yang telah kita lakukan sebagai dosa, berhimpithimpitan dalam album. berebut di antara mazmurmazmur dan doa. dan kita pun belum putuskan perjalanan atau kembali pulang. katakata gugur jadi rintihan. percakapan berdesis dalam isakan. keringat anyir dan darah bersatu menawar dahagamu yang terlampau kental. engkau imani taubatku yang mengering di antara dengkur dan igauan. tubuh beku di antara altaraltar dan bangkupanjang. di antara mazmur dan suara anggur dituangkan. di seberang mimpi, pancuran dan sungai mati dengan sendirinya. tibatiba kaupadamkan cahaya itu. ruang ini gelap. aku raba dan kucaricari tongkat si buta. kutemukan cahaya dalam fikiranku sendiri. pejalan beriringan di antara gang dan musim yang tersesat. kunyalakan cahaya dalam hatiku. biarlah jika akhirnya membakar seluruh ayat dan syair yang lupa kukemasi. 1992 IBADAH SEPAROH USI